x

Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kemenhub Antonius Tonny Budiono mengenakan rompi tahanan berjalan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (25/8) dini hari. KPK mengamankan barang bukti uang lebih dari Rp 20 miliar dari kedua tersan

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kekuasaan dan Mentalitas Korup

Bisa jadi benar apa yang pernah diungkapkan Lord Acton di abad 19, bahwa “kekuasaan itu cenderung korup”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bisa jadi benar apa yang pernah diungkapkan Lord Acton di abad 19, bahwa “kekuasaan itu cenderung korup”. Acton bisa jadi melihat prilaku para penguasa waktu itu yang memiliki kekuasaan absolut sehingga mudah sekali menyalahgunakan kekuasaannya. Paling tidak, apa yang diungkapkan Acton memberikan gambaran semakin sulitnya menemukan para penguasa yang bermental tulus dan jujur, karena sesungguhnya proses dalam memperoleh kekuasaan-pun pada kenyataannya didasari oleh ambisi dan keserakahan. Mental korup tentu saja berasal dari motivasi berkuasa atas dasar ambisi berlebihan dan justru secara tak langsung juga difasilitasi oleh kondisi sistem politik yang ada. Saya kira cukup sederhana, ketika seseorang yang ingin naik jabatan ke jenjang yang lebih tinggi, para ”mafia jabatan” telah menyediakan akses kemudahan melalui jalur-jalur korup yang demikian terbuka dan sudah menjadi rahasia umum bagi publik.

Sesorang yang ingin mencapai kekuasaan yang lebih tinggi, harus pandai “bermain” dan menguasai jalur-jalur korup yang ada, karena tanpa itu, tak akan ada “makan siang gratis”. Kekuasaan cenderung korup, karena hampir dipastikan jika ingin mendapatkannya tak perlu harus berprestasi, bekerja keras atau berotak cerdas, cukup punya kedekatan dengan penguasa atau membayar sejumlah uang dengan jumlah tertentu, jadilah ia penguasa! Saya kira bukan sekadar isapan jempol, bahwa praktik jual-beli jabatan memang benar-benar terjadi, bukan lagi persoalan prestasi. Praktik korup memang selalu didentikkan dengan uang, sehingga dipastikan apapun akan berjalan mulus tergantung berapa banyaknya nilai fulus.

Sudah hampir setiap hari, publik disuguhi berita-berita soal korupsi yang notabene dilakukan oleh mereka yang memiliki akses kekuasaan lebih tinggi. Gambaran mental korup para penguasa ini tentu saja dibentuk dan dibina oleh iklim kinerja yang mengajarkan korupsi. Bahkan, saking lekatnya dengan praktik korupsi ini, Dirjen Perhubungan Laut, Antonius Tonny Budiono, salah satu penguasa di Kementrian Perhubungan, mengaku kebingungan ketika KPK menemukan banyak tas ransel berisikan uang di kediamannya. Antonius tak bisa lagi mengingat dari mana saja tas-tas itu berasal, karena bisa saja hal ini menjadi suatu tradisi yang dibiasakan. Gambaran media tentang Antonius yang dicokok KPK karena korupsi, justru menyuguhkan serentetan karir dan jenjang jabatannya yang cemerlang plus penghargaan yang diraihnya selama bekerja di pemerintahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang paling menggelikan tentu saja Antonius masuk dalam daftar Satuan Tugas (satgas) pemberantasan praktik pungli di lingkungan Kemenhub sejak 2016. Bukankah satgas pungli justru bertugas memberantas praktik korupsi dan membangun mentalitas kinerja di lingkungannya agar menjauhi praktik korup? Disinilah saya kira, kebenaran ungkapan Lord Acton menemukan momentumnya, dimana akses kekuasaan lebih tinggi terlebih proses perolehan kekuasaannya memang berasal dari skema praktik kotor korupsi, benar-benar telah membentuk seseorang bermental korup. Mentalitas korup tentu saja tidak hanya identik dengan bentuk sogokan dengan sejumlah uang, tetapi kebiasaan dalam segala proses yang cenderung mengorbankan pihak-pihak lain, menyakitinya, menghambat jenjang karirnya dengan cara-cara yang tidak fair.

Jika korupsi diartikan sebagai “hal yang merusak”, berarti mereka yang bermental korup tentu saja telah merusak seluruh tatanan sosial dan kemajuan peradaban manusia. Bagimana tidak, iklim korupsi yang mengakar di negeri ini pada akhirnya semakin membuat bangsa ini terpuruk, banyak mengalami kemunduran dalam banyak hal. Seperti yang seringkali kita lihat, baik dari soal ekonomi yang tidak stabil, kepolitikan yang penuh konflik kepentingan, menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah atau beragam konflik sosial-politik yang tak kunjung reda. Saya kira, semua adalah ekses dari mental korup para penguasanya yang semakin “merusak” sendi-sendi infrastruktur peradaban dan kemajuan.

Lalu, bagaimana cara penyelesaiannya? Apakah cukup dengan memperkuat lembaga anti rasuah saja? Atau menyemai pendidikan anti korupsi yang sejauh ini dicanangkan masuk kurikulum pendidikan? Saya kira, sudah banyak sekali paradigma yang ditawarkan para ahli untuk mengatasi praktik korup yang menjangkiti masyarakat, walaupun tentu saja seringkali menyasar sektor-sektor yang kurang tepat. Bagi saya, pengungkapan aktor-aktor terindikasi korupsi oleh lembaga anti rasuah, bukanlah sebuah prestasi kemajuan dalam pemberantasan korupsi, karena terbukti semakin banyak diungkap, semakin muncul praktik-praktik korupsi lainnya terkuak. Korupsi sejauh ini selalu dinilai dengan praktik uang, sehingga semakin besar jumlah uang yang dikorupsi, semakin ia menjadi perhatian fenomenal bagi publik.

Saya rasa, lembaga anti rasuah juga punya kepentingan untuk selalu menjaga citra dirinya di depan masyarakat, sehingga yang dibidik tentu saja praktik uang yang dikorupsi dalam nominal yang lebih besar. Pengungkapan korupsi atas nilai uang yang lebih besar, tentu saja akan memperkokoh citra lembaga anti rasuah, sebagai “agen penyelamat” negara dan tentu saja mendapat dukungan luas dari masyarakat. Walaupun sejujurnya, setelah beberapa kasus korupsi “uang” itu diungkap, selang beberapa hari muncul kembali kasus yang sama secara terus menerus tanpa penyelesaian yang berarti. Para penguasa yang bermental korup, tentu saja tak akan jera melihat koleganya di penjara, karena “mental baja” korup yang diyakininya mampu mengalahkan segalanya.

Saya seakan menjadi sangsi, jika pemberantasan korupsi hanya melalui pengungkapan praktik korupsi penguasa bermental korup yang tentu saja “ketahuan” aparat penindak korupsi. Terbukti dari berbagai pengungkapan kasus korupsi yang hanya sekadar bersifat “personifikasi” sehingga yang menjadi “pesakitan” hanyalah pribadi yang bertindak korup. Atau bisa saja, hal ini menjadi “perang” para penguasa korup untuk saling menjatuhkan koleganya yang sukses meraih kekuasaan dengan akses yang lebih tinggi. Sejauh ini, kita memang hanya mengetahui realitas “ketiga” saja dari media, jauh dari apa sebenarnya yang terjadi dalam lingkaran kekuasaan disana. Namun paling tidak, kita sendirilah yang selalu dapat diingatkan, bahwa korupsi bukan semata uang, tetapi mental yang terbentuk dari iklim kekuasaan yang membuka lebar-lebar akses menuju korupsi.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB