x

Iklan

Dudi Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Peta Politik dan Dinamika Pilkada Jawa Barat 2018

Mengupas Kontestasi Pilkada Jawa Barat dari berbagai perspektif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : M. Dudi Hari Saputra

Direktur Eksekutif Moderate Institute

HALO-HALO Bandung, sekarang sudah menjadi lautan api, mari bung rebut kembali. Epos lagu para pejuang 1945 menggambarkan betapa strategisnya kota Bandung dan wilayah Jawa Barat bagi pasukan sekutu Inggris dan NICA Belanda, peristiwa Bandung Lautan Api sendiri adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada 23 maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam perang Kemerdekaan Indonesia (http://nationalgeographic.co.id/: 2017).

Strategisnya kota Bandung secara khusus dan Jawa Barat secara umum untuk menjadi ajang perebutan pun masih berlanjut di era republik Indonesia yang menganut sistem demokrasi, kompetitif yang tinggi itu di karenakan beberapa faktor: (1) Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah pemilih terbesar dalam skala nasional, data KPU menunjukkan dalam pilpres 2014 pemilih Jawa Barat mencapai angka 33 juta orang atau hampir menyentuh 20% dari pemilih nasional dan di prediksi akan terus meningkat mencapai 37-38 juta pemilih di tahun 2018 dan 2019 (KPU, 2017). Hasil ini kemudian diperkuat survei Indo Riset Konsultan yang menjelaskan bahwa hampir lebih dari 66% pemilih Jawa Barat akan memilih kandidat asal Jawa Barat jika diusung menjadi RI 1 atau RI 2 (IRK, 2016).

(2) Jawa Barat selain menjadi barometer kandidat perseorangan, juga menjadi barometer nasional bagi partai politik dan menjadi catatan khusus bahwa dalam setiap pileg, parpol yang bisa memenangkan suara secara mayoritas di Jawa Barat maka akan memiliki kans sangat besar bahkan mendekati sebuah kepastian untuk menjadi pemenang di tingkat nasional, tren ini di mulai sejak 1999 oleh PDIP, 2004 oleh Golkar, 2009 oleh Demokrat dan terakhir di 2014 kembali oleh PDIP, sehingga dapat disimpulkan bahwa Jawa Barat adalah kawasan yang niscaya penting bagi partai politik untuk dimenangkan (Kedaulatan Rakyat, 2014).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

(3) Jawa Barat tetap menjadi salah satu provinsi penopang perekonomian nasional, dengan pangsanya yang mencapai 13,32%, yaitu tertinggi ketiga setelah DKI Jakarta (17,55%) dan Jawa Timur (14,95%). Dan sumbangan PDRB Jawa Barat terhadap perekonomian nasional mengalami peningkatan 13,22% di tahun 2016, membesarnya kontribusi perekonomian Jawa Barat terhadap nasional karena di topang basis ekonomi yang fokus pada usaha industri produktif dan utamanya industri pengolahan, pertanian dan perdagangan. Khusus pada lapangan usaha industri pengolahan, pangsa Jawa Barat terhadap nasional menduduki peringkat pertama yaitu 27,6% (Bank Indonesia: 2017).

(4). Jawa Barat adalah daerah penyangga ibu kota Indonesia DKI Jakarta, Jumlah penduduk di daerah penyangga yaitu di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kota Depok sebesar 31,20% dari jumlah penduduk Jawa Barat atau seperempatnya tinggal di daerah penyangga ibu kota (BPS, 2017). Jumlah penduduk Jawa Barat yang besar di kawasan penyangga ibu kota negara akan memberikan dampak dan efek yang besar bagi hubungan Jawa Barat dengan politik nasional di Jakarta, baik dari sisi strategi, demografi dan etnografi.

Dengan melihat besarnya potensi yang dimiliki oleh Jawa Barat dalam skala nasional, tidak aneh jika banyak partai politik berebut untuk meraih suara terbanyak dan memenangkan setiap pertarungan politik di pemilihan umum, baik itu pilpres (pemilihan presiden), pileg (pemilihan legislatif) serta pilkada bupati/walikota dan gubernur, karena Jawa Barat bisa menjadi instrumentasi utama bagi kepentingan partai politik yang mampu merubah peta politik dan ekonomi nasional. Setidaknya ketua DPP PKS Sohibul Iman sebagaimana yang di kutip oleh Kompas memaparkan bahwa Jawa Barat sebagai wilayah strategis dalam pemenangan pemilu nasional, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden (Kompas, 2017).

Kontestasi pemilihan di Jabar selalu menempatkan partai berhaluan nasionalis bersaing keras merebut kantong-kantong suara, setidaknya ada 3 partai berhaluan nasionalis yang menempati peringkat 3 besar, yaitu PDI-P, Golkar dan Gerindra. Tapi dalam pemilihan gubernur Jawa Barat di tahun 2013 terjadi turbulensi yang terbalik di mana kandidat gubernur dari partai Islam yang suaranya cuma di peringkat tengah dan kecil seperti PKS dan PPP (kecuali Hanura sebagai partai berhaluan nasionalis yang mendukung Ahmad Heryawan) malah mampu memenangkan pertarungan ketika mengusung pasangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar, fenomena ini menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas kandidat dan parpol di Jawa Barat sangat fleksibel.

 

Menakar Peluang Kursi Kekuasaan Jawa Barat

Cairnya suara pemilihan di Jawa Barat, membuat kita harus melihatnya di luar perspektif ego partai dan kelompok, pendekatan ilmiah-objektif harus di gunakan untuk menyentuh bagaimana realitas sebenarnya dari logika dan perasaan pemilih di Jawa Barat. Salah satunya tentu dengan menggunakan data-data metodologi survei yang empirikal, merupakan satu pilihan yang bijak oleh para pengambil keputusan di level elite partai untuk decision making process dan menetapkan keputusan yang tepat sasaran, rasional dan tidak membuang energi pikiran serta logistik terlalu besar (Clinton J. Andrews, 2007), selain itu pendekatan ini sudah di bakukan oleh banyak partai politik untuk menentukan siapa kandidat yang akan di usung.

Pemilihan Gubernur Jawa Barat saat ini sudah menjadi lokus perhatian banyak partai politik, media massa dan pengamat politik. Setidaknya partai Nasdem sudah melakukan gerak lebih cepat dengan mengusung walikota Bandung Ridwan Kamil sebagai kandidat calon gubernur Jawa Barat 2018-2023. Pilihan ini cukup rasional dan tepat, mengingat popularitas dan elektabilitas Ridwan Kamil adalah peringkat pertama menurut lembaga survei Indo Riset Konsultan. Ridwan Kamil disebut sebagai calon Gubernur Jawa Barat dengan tingkat elektabilitas tertinggi yaitu 37,50 persen, kemudian disusul secara berturut-turut oleh Deddy Mizwar (29,17%), Dede Yusuf (15,25%), dan Dedy Mulyadi (4,42%) di posisi empat besar (Pikiran Rakyat, 2017).

Banyak analisis pengamat menunjukkan bahwa persaingan akan terjadi di 4 nama besar, yaitu Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, Dede Yusuf dan Dedi Mulyadi. Keputusan ke empat orang ini untuk maju sebagai calon gubernur akan sangat mempengaruhi kontestasi pilgub Jawa Barat. Tapi bukan berarti menihilkan peranan partai politik, setidaknya partai politik yang bisa merubah pendulum di pertarungan sengit Jawa Barat adalah Golkar, karena selain bermodalkan jumlah kursi yang besar di DPRD Jawa Barat yaitu 17 kursi, partai ini juga memiliki banyak figur yang bisa di usung, salah satu nya adalah ketua DPD Golkar sekaligus Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang elektabilitasnya cukup tinggi.

Menurut hasil survei Indonesia Strategic Institute (Instrat) di Januari 2017 secara berurutan menempatkan wali kota Bandung Ridwan Kamil sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi pada Pilgub Jabar 2018 sebesar 31,5 persen, kemudian di ikuti wakil gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar (17,4 persen) dan bupati Purwakarta Dedi Mulyadi (10,9 persen). Menjadi catatan tersendiri bagi Dedi Mulyadi bahwa dalam rentang waktu 1 bulan dari survei yang dilakukan oleh Indo Riset Konsultan di bulan Desember 2016, elektabilitas Dedi Mulyadi masih di urutan ke 4 dengan besaran 4,17% dan kemudian secara cepat meningkat di bulan Januari 2017 berdasarkan survei lembaga Instrat ke angka 10,9% atau surplus sebesar 6,8% dan ini menjadi objek analisis tersendiri mengapa dalam waktu 1 bulan saja sudah bisa menciptakankenaikan yang tinggi.

Walau hasil survei tersebut dari dua lembaga yang berbeda dan lembaga Instrat tidak menyebutkan secara lengkap alasan kenaikannya, sehingga  ini menjadi begitu penting bagi lembaga Instrat untuk menjelaskan kepada publik secara lebih rinci lagi apa alasan kenaikan secara signifikan Dedi Mulyadi kepada publik, agar masyarakat Jawa Barat memiliki materi yang cukup jelas dan lengkap untuk menentukan pilihan Gubernur nya nanti.

Tapi kunci yang perlu kita perhatikan dalam memahami hasil survei adalah cepat nya terjadi perubahan dari waktu ke waktu, selain perbedaan yang terjadi antar lembaga survei yang mengambil sampel data, misal survei terakhir oleh Indobarometer pimpinan M Qodari (survei dilakukan bulan Maret 2017), menunjukkan elektabilitas terkuat masih di pegang oleh Ridwan Kamil (25,3%), Deddy Mizwar (19,3%), Dede Yusuf (14,2%) dan Dedi Mulyadi (8,1%).

Walaupun terjadi perubahan persentase jumlah elektabilitas, dalam menganalisis kita jangan terjebak pada angka persentase yang berbeda-beda tiap bulan dan tiap lembaga survei, melainkan kita perhatikan tren secara umum nya bagaimana, dan sejauh ini tren tetap tidak berubah bahwa Ridwan Kamil diurutan pertama, Deddy Mizwar urutan kedua, Dede Yusuf urutan ketiga dan Dedi Mulyadi ke empat.

Jika kita perhatikan analisis terakhir di bulan April oleh Lili Asdjudiredja (2017) terkait peta politik pilgub Jabar, ada beberapa poin penting yang harus kita perhatikan, pertama adalah ketidakinginan atau keengganan Dede Yusuf untuk maju kembali dalam kontestasi pilgub Jabar, tentu ini akan menjadi nilai plus bagi Dedi Mulyadi, karena tren Dede Yusuf di urutan ke tiga secara elektabilitas akan mundur dan di isi oleh Dedi Mulyadi yang sebelum nya diurutan ke empat (dalam hasil dua survei, Indo Riset Konsultan dan Indobarometer).

Kedua adalah peta politik pilgub Jabar akan menyisakan 3 pertarungan, yaitu Ridwan Kamil yang sudah secara resmi diusung oleh Nasdem, yang kemungkinan juga akan di usung oleh koalisi PKB, PPP, PAN bahkan PDIP, karena calon internal PDIP TB Hasanudin masih memiliki elektabilitas yang cukup rendah. Kemudian Deddy Mizwar yang kemungkinan akan di usung koalisi Gerindra dan PKS, tapi Deddy Mizwar tidak memiliki basis akar rumput dan mesin politik, mengingat dia bukan kader yang dibesarkan oleh partai, walau sebagai artis nilai positif nya adalah kemudahan bersosialisasi dengan masyarakat, hanya saja di Jabar memiliki tren tersendiri bahwa jika calon dari kalangan artis maju sebagai Cagub sejauh ini selalu kalah, beda jika menempatkan nya sebagai Cawagub yang akan bisa mendongkrak suara, setidaknya strategi ini dilakukan Gubernur Jabar saat ini Ahmad Heryawan selama dua kali dan selalu berhasil menjadi pemenang.

Maka kita bisa berhipotesa dalam analisis poin ketiga, yakni Dedi Mulyadi, deklarasi terakhir oleh seluruh DPD 2 Golkar Jabar untuk mengusung Dedi Mulyadi sebagai Cagub Jabar di acara Rapimda Golkar Jabar bulan April, menjadi modal kekuatan Dedi Mulyadi di 27 kota/kabupaten se-Jabar plus elektabilitas nya yang cukup tinggi dan pendekatan kultural sunda dan kepedulian sosial yang selama ini dibangunnya, akan membuatnya mudah menyentuh akar rumput dan bersosialisasi kepada masyarakat Jabar, hanya Dedi Mulyadi dan Golkar nya harus realistis karena batas suara Golkar untuk mengusung kandidat Cagub masih belum cukup, karena nya harus membangun koalisi dengan partai lain.

Misalnya Hanura atau Demokrat. Melihat peta ini, dengan asumsi bahwa Gerindra dan PKS akan cukup kesulitan untuk memaksakan mengusung Dedy Mizwar sebagai cagub karena latar belakang nya sebagai artis, maka Dedy Mizwar di rasa harus cukup legowo untuk kembali menjadi cawagub, apalagi menurut survei Indobarometer tingkat kepuasan masyarakat terhadap Wakil Gubernur Deddy Mizwar hanya 42%, menurut M Qodari jika seorang incumbent tingkat kepuasannya di bawah 50% maka akan sulit untuk menang, maka otomatis persaingan tinggal menyisakan antara Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi, sekarang pendulum nya ada di Gerindra dan PKS, jika Golkar melakukan pendekatan politik lebih baik.

Maka pasangan Cagub-Cawagub Dedi Mulyadi dan Deddy Mizwar bisa terwujud, ini kekuatan yang besar karena total kursi nya 40%, plus figur yang bisa saling mengisi, jika Dedi Mulyadi adalah politisi-birokrat maka Deddy Mizwar adalah politisi-artis, dan jika Dedi Mulyadi figur nya adalah kesundaan maka Deddy Mizwar adalah keislaman, di tambah mesin politik yang luar biasa dimiliki oleh Golkar, Gerindra dan PKS, dan menurut survei Indobarometer terakhir di bulan Maret 2017 untuk partai politik dengan pilihan tertinggi jika pemilihan legislatif dilaksanakan hari ini adalah PDIP dengan 18,3% , disusul Golkar 14,2%, Gerindra 7,2%, dan PKS 4,9%, maka modal koalisi Golkar – Gerindra dan PKS jika di gabung adalah 35% suara.

Selain itu, untuk kontestasi wakil gubernur, daya tawar Golkar pun sama besar nya, pendekatan alternatif untuk mengusung Dedi Mulyadi menjadi wakil dari salah satu calon gubernur dengan suara survei tertinggi katakanlah untuk saat ini adalah Ridwan Kamil, plus dengan modal Golkar Jabar 17 kursi di DPRD dan mesin partai yang besar akan menjadi magnet tersendiri yang akan menarik banyak kekuatan untuk melamarnya, apalagi berkoalisi dengan Nasdem (Nasional Demokrat) sudah cukup untuk memenuhi 25% suara sebagai batasan elektoral mengusung pasangan cagub dan cawagub, walau banyak harapan PDI-Perjuangan pun akan ikut berkoalisi seperti di pilkada DKI Jakarta (Kompas, 2017).

Karena penting bagi kekuatan partai politik saat ini untuk bisa merekapitulasi suara dan memaksimalkan kemenangan, karena ongkos politik yang ditanggung cukup besar jika calon yang di usung kalah, baik dari sisi biaya logistik maupun biaya strategis dalam menghadapi pilpres 2019, apalagi di gadang-gadang juara di Jabar akan memiliki kans besar untuk menduduki jabatan nasional sebagai menteri kabinet bahkan RI 1 atau RI 2.

Dan Jawa Barat memiliki catatan unik tersendiri, karena selama ini cagub yang terpilih menjadi gubernur memilih cawagub dari kalangan artis yang populer di masyarakat, seperti pilgub sebelumnya yaitu Dede Yusuf dan Deddy Mizwar, maka dengan ini peluang wakil gubernur alternatif pun bisa bermunculan seperti nama Desy Ratnasari dan artis sekaligus politisi perempuan Golkar Jawa Barat Nurul Arifin, dan yang terpenting lagi cawagub harus bisa mendongkrak suara dan memiliki chemistry yang cocok dengan cagub yang akan maju dalam kontes demokrasi.

 

Berkaca pada pilkada Jakarta

Setelah selesainya pilkada DKI Jakarta yang dari hasil quick count memenangkan pasangan Anies - Sandi yang mengalahkan pasangan Ahok - Djarot, membuat banyak analis dan praktisi mulai mengevaluasi sudut pandang terkait trend survei dari jauh hari yang bisa berubah drastis menjelang pemilu. Pada tahun 2016 elektabilitas bakal calon petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (atau sering di sapa sebagai Ahok) pada Pilkada DKI 2017 sangat tinggi. Hal itu diketahui berdasarkan survei yang dilakukan Populi Center pada Juni 2016. Berdasarkan survei top of mind, elektabilitas Ahok imencapai 51,2 persen atau sedikit meningkat dari hasil survei pada April 2016 dengan elektabilitas 50,8 persen (Kompas, 2016).

Tingginya elektabilitas Ahok saat itu dikarenakan beberapa faktor, antara lain dari hasil survei Sinergi Data Indonesia (SDI) menyebutkan; yaitu pertama tingkat popularitas paling tinggi yaitu mencapai 97,2%, kedua tingkat kesuksesan dalam pembangunan DKI 74,2%, ketiga dalam pelaksanaan pemerintaan juga dinilai baik mencapai 72,20% dan keempat unsur kepribadian Ahok dilihat dari ketegasan dan kejujuran tinggi mencapai 81,0% (Antaranews: 2016).

Namun pada periodik bulan Oktober 2016, Ahok tidak mampu mempertahankan tinggi elektabilitas nya yang terus menurun, menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ada 4 faktor utama penyebab turunnya elektabilitas Ahok dari sebelumnya 59,3 persen pada Maret menjadi 31,4 persen pada Oktober 2016, antara lain; Penyebab pertama adalah adanya polemik Rumah Sakit Sumber Waras dan isu suap reklamasi. Pada Oktober ini elektabilitas Ahok anjlok menjadi 31,4 persen karena gencarnya pemberitaan miring tentang dia. Penyebab kedua, yakni sikap pribadi Ahok yang kerap marah-marah di muka publik, membuat masyarakat kecewa. Masyarakat menganggap Ahok sebagai pribadi yang kasar, congkak, arogan, dan inkonsisten saat mengambil sikap. Puncak kekecewaan masyarakat saat ia memilih melalui jalur partai, meski ia sebelumnya mengkritik partai yang memelihara budaya mahar.

Penyebab ketiga, ada sekitar 40 persen warga yang menolak pemimpin non-muslim. Menurut LSI, jika isu ini dimainkan oleh lawan politik Ahok, maka akan mempengaruhi elektabilitasnya. Tapi, hal ini belum tentu mengubah pendirian masyarakat yang sudah memilih Ahok. Penyebab keempat, masyarakat membutuhkan figur baru yang lebih segar dan muda. Apalagi dengan munculnya pasangan Anies - Sandi, pasangan itu dianggap bersih dari korupsi dan bisa memimpin Jakarta (Tempo, 2016). Dan hasil survei ini akhirnya terjadi di mana Ahok - Djarot kalah dan tertinggal hampir 15% lebih dari Anies - Sandi di hasil quick count pilkada DKI Jakarta 2017.

Dari fenomena pilkada DKI Jakarta, ada dua hal yang bisa kita pahami, pertama adalah Placebo dan kedua adalah sindrom Don Quixote. Placebo menurut kamus Oxford adalah “a harmless pill, medicine, or procedure prescribed more for the psychological benefit to the patient than for any physiological effect” atau obat yang lebih menyembuhkan pasien dari sisi psikologi daripada fisik, jadi ini sebenarnya adalah terapi pemikiran yang seolah-olah menyembuhkan padahal nyatanya tidak, hal inilah yang dialami Ahok bahwa dia merasa dipikiran akan menang, faktanya malah akan kalah.

Peristiwa ini jangan sampai menimpa analisis kita di Jawa Barat, memang saat ini Ridwan Kamil unggul menurut lembaga survei Indo Riset Konsultan di periode Desember 2016, Instrat di Januari 2017 dan Indobarometer di Maret 2017 dari sisi elektabilitas, tapi hal ini tidak menjamin bahwa Ridwan Kamil akan selalu unggul hingga di masa pencoblosan pilgub Jabar yang akan dilaksanakan 1 tahun lagi di pertengan bulan Juni 2018, karena faktor kerja mesin politik, tim relawan, wacana yang berkembang di media massa dan sosial akan sangat berpengaruh dalam menentukan arah suara pemilih kelak.

Kemudian, kita juga harus terhindar dari Don Quixote sindrom, sindrom ini diawali dari cerita yang di tulis oleh Cervantes pada abad 16 di Eropa yang menceritakan kisah kepahlawanan, salah satu bait cerita paling penting terkait dengan “Inclinacion en molinos de viento” atau Tilting with the Windmills yang oleh sejahrawan Indonesia Frances Gouda dipahami sebagai sebuah usaha yang sia-sia dan tidak perlu karena pasukan kesatria berkuda itu ingin melawan naga terbang yang sebenarnya hanyalah kincir angin. Dari gambaran ini maka kita perlu memetakan permasalahan nyata apa saja yang dialami oleh masyarakat Jawa Barat kemudian dilakukan pemetaan, agar solusi yang ditawarkan pun bisa tepat sasaran, tidak keliru serta sia-sia dan yang terpenting mampu menarik suara pemilih.

Dari survei Indo Riset Konsultan, faktor utama yang menjadi pertimbangan memilih calon Gubernur Jawa Barat mendatang antar lain adalah kemampuan merakyat (21,3%), jujur – amanah dan merakyat (12, 6%), berkinerja bagus (8,4%), adil – bijaksana dan bertanggung jawab (5,6%), tegas berwibawa (5,3%), agama (4,6%), baik (3,9%) dan sopan (0,4%). Survei Sedangkan survei Indo Barometer juga mengungkap lima alasan responden dalam memilih calon gubernur, yakni dekat dengan rakyat (13.7 persen), kinerjanya bagus (10.8 persen), pintar/intelektual (9.0 persen), orangnya tegas (8.8 persen), dan berwibawa (7.9 persen). 

Dari angka ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pemilih Jawa Barat lebih mencari figur pemimpin yang dekat dengan rakyat dan tidak memiliki catatan buruk terkait tindak kejahatan korupsi dan berkinerja bagus, walau tentu kita harus mencari figur yang holistik, yaitu yang setidaknya mampu memenuhi mayoritas ekspektasi masyarakat terkait kepemimpinan, karena kita harus menghindari kandidat yang bisa menciptakan isu tidak baik terkait apa saja yang bisa menjadi bahan kampanye politik negatif serta hitam.

Dari pemetaan program yang diprioritaskan, kandidat harus mampu memiliki program yang jelas dan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, berdasarkan data survei Indo Riset Konsultan, sebagian besar sampel wawancara menginginkan program untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (33,7%), pembukaan lapangan kerja (26,3%), pendidikan (20,9%), kesehatan (7,0%), sedangkan untuk pemberantasan korupsi, pembangunan infrastruktur, kemudahan perijinan hanya di bawah angka 5%. Sedangkan dari survei Indobarometer, ada lima prioritas harapan masyarakat untuk dibenahi oleh gubernur periode mendatang, yakni menciptakan lapangan kerja yang luas (19%), pembangunan infrastruktur (14.4%), pendidikan murah/gratis (6.8%), mengentaskan kemiskinan (6%), dan mengendalikan harga kebutuhan pokok (5.4%).

Pada dasarnya mayoritas pemilih di Jawa Barat berharap mendapatkan tawaran program yang langsung menyentuh hajat hidup dasar mereka, yaitu problem kesejahteraan, pembangunan, pekerjaan dan pendidikan (di atas 20%). Hal ini di nilai rasional mengingat Jawa Barat adalah peringkat tertinggi untuk jumlah penduduk miskin perkotaan secara nasional di angka 2,7 juta jiwa (Kompas, 2016) dan jika di total dengan jumlah kemiskinan di desa akan mencapai 4,7 juta jiwa atau rata-rata 8,7% dari keseluruhan jumlah penduduk Jawa Barat. Tingkat ketimpangan pun tinggi (goeffesien gini) antara penduduk kaya dan miskin di kawasan perkotaan yang mencapai 0,4 dan di perparah jumlah pengangguran terbuka yang mencapai 1,9 juta jiwa (Ibid). Jadi wajar jika penduduk Jawa Barat lebih berorientasi kepada kesejahteraan, pembangunan infrastruktur dan SDM, dan bagi siapapun calon gubernur Jawa Barat yang bisa menjawab permasalahan ini, maka bisa kita anggap akan besar kans nya untuk dipilih oleh masyarakat.

Ikuti tulisan menarik Dudi Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler