x

Presiden Donald Trump menunjukan kacamata khusus saat akan menyaksikan gerhana matahari total di Gedung Putih, Washington, 21 Agustus 2017. AP/Andrew Harnik

Iklan

Smith Alhadar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Amerika di Antara Iran dan Korea Utara ~ Smith Alhadar

Jalan keluar dari dua krisis ini sulit ditemukan, tanpa kesediaan Amerika mencari solusi dengan mempertimbangkan kepentingan Iran dan Korea Utara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Smith Alhadar

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penasihat pada Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

 

Di tengah krisis Semenanjung Korea yang terus meningkat, Kongres Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada Iran dalam kaitan uji coba rudal balistik dan tuduhan bahwa Garda Revolusi Iran (Pasdaran) mendukung terorisme global. Parlemen Iran pun merespons dengan menyetujui secara aklamasi peningkatan jumlah anggaran bagi pengembangan rudal dan program Pasdaran.

Amerika menekan Korea Utara melalui Cina, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan kehadiran militernya di sekitar Semenanjung Korea. Ini untuk memaksa Korea Utara menghentikan uji coba rudal balistik dan nuklir, tapi dijawab Pyongyang dengan ancaman menembakkan rudal balistik ke dekat pangkalan militer Amerika terbesar di Guam.

Jalan keluar dari dua krisis ini tentu sulit ditemukan, tanpa kesediaan Washington mencari solusi yang adil dengan mempertimbangkan kepentingan nasional Iran dan Korea Utara. Uji coba rudal balistik Iran tidak menyalahi kesepakatan nuklir yang dicapai antara Iran dan lima anggota Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina) ditambah Jerman (P5+1).

Amerika, yang mendapat laporan dan Badan Energi Atom Internasional, mengakui hal itu. Dalam kesepakatan tersebut, Iran setuju membatasi pengayaan uranium hingga ke tingkat yang tidak memungkinkannya membuat bom nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi dan keuangan internasional. Tapi rudal balistik yang dikembangkan Iran ditengarai bisa mengangkut hulu ledak nuklir dan, karena itu, dianggap mencederai semangat kesepakatan.

Namun penjatuhan sanksi Amerika terhadap pihak yang melakukan transaksi terkait dengan program rudal Iran dan orang-orang yang berbisnis dengan negara itu sama sekali tidak adil. Sebab, pada saat yang sama Amerika menjual senjata ke Arab Saudi, musuh utama Iran di Timur Tengah, senilai US$ 110 miliar. Washington pun meningkatkan bantuan militer ke Israel, musuh bebuyutan Iran, yang terus mengancam akan menyerang situs-situs nuklir Iran. Hal itu meyakinkan Teheran bahwa ia harus membangun pertahanan yang kuat. Dengan kata lain, perlombaan senjata di Timur Tengah saat ini dipicu oleh dinamika politik-militer kawasan dengan andil besar Amerika.

Korea Utara, yang bertetangga dengan dua negara nuklir (Cina dan Rusia); serta Korea Selatan, yang menampung puluhan ribu tentara Amerika, tercengkeram oleh perasaan tidak aman. Komunisme yang dipraktikkan di sana di tengah hegemoni kapitalis Amerika ikut menambah kecurigaan Pyongyang terhadap perangai Washington, yang rutin menyelenggarakan latihan militer bersama Korea Selatan. Memaksa Korea Utara menghentikan program rudal balistik dan nuklir tanpa konsesi tidak akan diterima Pyongyang.

Namun sikap Amerika yang tidak akan mengakui Korea Utara sebagai negara nuklir bisa dipahami karena hal itu mengancam keamanan Amerika dan memacu lomba nuklir, bukan hanya di kawasan, tapi juga di dunia, termasuk melemahkan posisi Amerika terhadap Iran.

Bagaimanapun, Amerika tidak dapat menyelesaikan isu Iran dan Korea Utara dengan menjalankan politik belah bambu. Menginjak Iran untuk mengisolasi dan melemahkan militernya tidaklah mungkin. Secara geografis, Iran sangat strategis. Negeri para mullah ini kaya akan sumber energi dan menguasai teknologi militer. Sudah terbukti bahwa ketika terkena embargo senjata oleh Amerika dan Eropa sejak 1979, Iran bisa mengembangkan kebutuhan militernya secara mandiri. Kesepakatan nuklir juga merupakan kesepakatan internasional, yang tidak dapat dibatalkan ataupun diutak-atik begitu saja oleh Amerika. Terlalu menekan Iran akan membuat Teheran semakin merapat ke Rusia dan Cina, yang tentu tidak sesuai dengan sasaran Amerika.

Menghadapi Korea Utara pun tidak dapat dilakukan dengan ancaman militer. Negeri itu terlalu kuat dan tidak akan ditinggalkan Cina, sekutunya, bila rezim Kim Jong-un terancam jatuh. Diperlukan akal sehat, pembangunan kepercayaan, dan sikap menghormati martabat lawan sebagai prasyarat bagi dimulainya dialog yang sepadan untuk mencari solusi. Toh, Washington juga butuh kerja sama Iran untuk mengatasi krisis Afganistan, serta perang di Yaman, Suriah, dan Irak. Dan, Amerika membutuhkan Korea Utara untuk proses unifikasi dengan Korea Selatan, yang akan memberi Amerika pijakan yang kuat di Semenanjung Korea untuk mengimbangi Cina di kawasan tersebut.

Ikuti tulisan menarik Smith Alhadar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler