x

Iklan

Sherly Permatasari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sosok di Balik 'Komunitas Ngejah', Penerima Anugrah Nugra Jasadarma Pustaloka

Kecintaan akan kampung halaman ini pula yang membuat Opik (33), membentuk Komunitas Ngejah. melalui komunitas ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merantau memang bisa menjadi salah satu jalan untuk menemukan jati diri, menempa diri menjadi pribadi yang berbeda, menjadi sosok yang mau dan akan berusaha sebisanya menjajal dunia luar yang kaya akan tantangan dan petualangan. Namun, yang perlu diingat kemanapun seseorang pergi, tentu akan merindukan kampung halaman yang dicintainya.

Ya, seperti itulah yang dirasakan Opik penerima penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Kecintaan akan kampung halaman ini pula yang membuat Opik (33), membentuk Komunitas Ngejah. melalui komunitas ini, Opik membangun gerakan literasi, yakni Gerakan Kampung Membaca dan Pojok Baca. Diakuinya, hal ini tidak terlepas atas kegelisahannya melihat kondisi kampung halamannya yang jauh tertinggal secara ekonomi, pendidikan, hingga teknologi.

Kampung halaman Opik sendiri ternyata jauh dari Kota Garut. Bagaimana tidak, dibutuhkan lebih dari tiga jam perjalanan dari Kota Garut dengan kontur jalan naik turun bukit Untuk sampai ke kampungnya ini. Ya, kampung Cicampaka, Desa Sukawangi, merupakan desa terujung di Kabupaten Garut. Kampung tersebut perbatasan Taraju dan Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya. Jika menempuh perjalanan dari Kota Tasikmalaya pun, waktu yang ditempuh tidak jauh beda dengan kondisi jalan yang sama pula.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan latar belakang yang dimiliki Opik, tentunya bisa saja keluar dari kampung halamannya dan tinggal di Kota Tasikmalaya yang jadi tempatnya menuntut ilmu seusai menamatkan SMA di Kecamatan Taraju. Seperti dilansir Kompas.com, Ia menuturkan, “Sebenarnya berat balik ke kampung, karena di Tasik saya punya banyak teman dari mulai sastrawan, jurnalis, dan dari berbagai komunitas,”

Namun justru yang terjadi sebaliknya, Opik meneguhkan hati untuk pulang dan membangun kampung halamannya. Padahal saat itu ia belum tahu pasti akan berbuat apa untuk membangun kampung halamannya. Yang ia yakini, harus mengangkat masyarakat dari berbagai ketertinggalan. “Saya juga teringat akan sajak karya WS Rendra yang berjudul “Seonggok Jagung” yang bait terakhirnya sangat menginspirasi saya untuk pulang membangun kampung halaman,” Terangnya.

Budaya Membaca

Tahun 2005, setelah menyelesaikan jenjang kuliah D2, benih-benih pemikiran gerakan membangun kampung halaman muncul dalam diri Opik. Saat itu, ia menyadari pentingnya membaca. Padahal, sejak SD hingga SMA, dirinya sama sekali tidak suka membaca buku. Opik baru mulai membaca buku begitu meneruskan kuliah di Tasikmalaya. Dari aktivitasnya membaca pula pola pikirnya berubah hingga tumbuh kesadaran dalam dirinya untuk mendobrak ketertinggalan kampung halamannya dengan gerakan membaca.

“Pendiri bangsa ini juga orang yang gila membaca. Soekarno bertemu dengan pemikiran tokoh-tokoh dunia lewat buku. Saat sakit pun tetap membaca buku. Bung Hatta juga sama. Dalam pengasingan peti-peti berisi buku yang dibawanya. Mahar pernikahannya pun buku. Saya jadi makin sadar, semua orang hebat, punya kebiasaan membaca yang kuat,” katanya.

Menyadari pentingnya membaca, Opik berniat membangun sebuah perpustakaan di kampung halamannya. Sejak sat itu, ia menyisihkan uang untuk membeli berbagai buku bacaan. Bahkan ketika ia mulai mengajar dan menjadi PNS di tahun 2009, buku yang dibeli untuk koleksinya makin banyak. “Saat itu, saya lebih banyak belanja buku daripada membacanya. Karena saya ingin menabung buku meski tidak banyak,” tuturnya.

Dari hasil menabung buku, Opik berhasil mengumpulkan sekitar 3.000 buku dengan berbagai judul. Saat itulah, ia memberanikan diri membuka perpustakaan kecil di rumahnya. Perpustakaan inilah yang jadi embrio lahirnya Komunitas Ngejah.

Namun perjuangan tak berhenti sampai di sini. Meski sudah membuka perpustakaan, Opik tidak lantas mengkampanyekan literasi secara besar-besaran. Ia memulainya perlahan dengan mengajak keluarga dan teman-teman dekatnya di kampung. Itupun tidak langsung mengajak membaca buku tapi mengobrol santai di rumahnya.

"Lalu sengaja saya giring isu obrolannya tentang keberadaan pemuda untuk memajukan kampung halaman yang saat itu statusnya Garut masih daerah tertinggal,” katanya.

Dalam diskusi tersebut, Opik mulai memasukan gagasan-gagasannya untuk memajukan kampung halamannya lewat gerakan kampanye literasi. Gerakan literasi bisa menjadi gerbang kemajuan dalam bidang lainnya. Budaya membaca, bisa jadi pondasi memajukan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kesejahteraan masyarakat.

Opik melihat, salah satu penyebab desanya tertinggal karena budaya membacanya yang rendah. Dari obrolan tersebut, muncul pemahaman bersama. Hingga memasuki tahun 2011, ia dan relawan memberanikan diri menggelar pelatihan jurnalistik bagi pelajar.

Kegiatan untuk memperluas gerakan ini ditawarkan ke beberapa sekolah. Responsnya positif, hingga kegiatan digelar tiga hari dua malam dan diikuti 50 siswa SMP dan SMA dari Kecamatan Singajaya dan Banjarwangi, Kabupaten Garut. “Kegiatan ini dibantu oleh relawan dari luar kota yang juga penggiat literasi. Mereka jadi pemateri. Responsnya bagus, setiap tahun jumlah peserta meningkat. Alumni kegiatan ini pun banyak,” katanya.

Dari suksesnya kegiatan pelatihan jurnalistik, Opik mengembangkan ruang kreativitas bagi para alumni dalam wadah Jurnalis Pelajar Garut Selatan. Kesuksesan ini pun membuat langkahnya lebih ringan. Bahkan di 2012, jumlah relawan di Komunitas Ngejah naik signifikan. Mereka berasal dari kalangan pemuda, pelajar, dan santri.

"Awalnya mereka berkunjung untuk membaca dan meminjam buku. Saya mulai ajak mereka untuk menyebarkan virus gerakan membaca di lingkungannya masing-masing. Mereka kita ajak jadi relawan,” tuturnya.

Dengan banyaknya relawan, Opik lebih leluasa mengadakan kegiatan, seperti lomba puisi, pentas drama, memasak, hingga panggung hiburan. Tak puas sampai disitu, gerakan kampanye yang sama digelar di sekolah-sekolah hingga muncullah gerakan “Ngejah Ka Sakola”.

Banyaknya relawan membuat ia tak perlu repot memikirkan hal-hal kecil. Taman bacaan di rumahnya yang diberi nama AIUEO dikelola para relawan. Makin lama, kegiatannya makin banyak. Taman bacaan pun tak mampu menampung kegiatan. Akhirnya, ia membangun saung bambu berukuran 4x5 meter. Bangunan ini dijadikan pusat kegiatan Komunitas Ngejah.

Setelah membangun saung bambu berukuran 4x5 meter yang dijadikan pusat kegiatan Komunitas Ngejah, ia memperluas kampanye gerakan literasi ini ke Kecamatan Singajaya, hingga dibuatlah program Gerakan Kampung Membaca dan pembangunan pojok baca.

“Gerakannya kan mendatangi kampung-kampung di pelosok untuk mengajak masyarakat membudayakan membaca, terutama anak-anak dan remaja, kegiatannya ada membaca bersama, mewarnai, menggambar dan bermain,” tuturnya.

Jika di kampung tersebut minat membacanya tinggi, pihaknya akan membangun pojok baca. Caranya, dengan memberikan satu atau dua rak berikut bukunya sebanyak 150-300 buku. “Kita gandeng kader Posyandu, ustaz, dan pemilik warung yang siap membantu untuk kegiatan pojok baca. Nanti kita titipkan buku dan raknya untuk bisa dipinjamkan pada masyarakat,” Lanjutnya.

Opik mengakui, keberhasilan Komunitas Ngejah menyebarkan virus membaca bukan atas kerja kerasnya semata. Ada barisan relawan yang siap tempur turun ke lapangan menyukseskan berbagai kegiatan yang dilakukan komunitas Ngejah.

Selain itu, ada juga dermawan dari luar yang menyumbangkan buku atau ilmunya dengan datang langsung ke saung Komunitas Ngejah. “Ini hasil kerja keras para relawan. Mereka turun ke lapangan, mereka berbagi peran sesuai kapasitasnya masing-masing, bahu membahu membangun Komunitas Ngejah,” ucapnya.

Kerja keras relawan ini, menurut Opik, membuahkan hasil yang tak terkira. Karena tahun 2014, gerakannya mulai dikenal luas. Media mulai mempublikasikan kegiatan Komunitas Ngejah.

“Tadinya mereka hanya bilang untuk liputan berita saja, setelah enam hari liputan, mereka pulang dan sehari kemudian balik lagi langsung membawa kru dan juga pembawa acara talkshownya, Andi F Noya, saya dan relawan tentu kaget,” Ujarnya.

Lewat acara talkshow itu juga, Komunitas Ngejah menerima bantuan uang tunai Rp 100 juta. Uang itu digunakan untuk menata halaman saung, membeli kamera, infokus, dan menambah rak-rak yang akan disebarkan di pojok-pojok baca.

Komunitas Ngejah pun makin dikenal dan mendapat banyak yang mengapresiasi. Tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi bantuan dana hibah Rp 50 juta yang digunakan untuk menambah koleksi buku, rak buku, dan komputer. Ia pun membuat ruangan khusus untuk menyimpan koleksi buku komik yang diberi nama Rumah Komik. Bantuan buku dari berbagai pihak pun mulai mengalir.

Penghargaan

Penghargaan pun mengalir ke komunitas ini, di antaranya, penghargaan TBM Kreatif dan Rekreatif dari Kemendikbud diterima TBM AIUEO. Selain itu, Opik pun diganjar anugrah Pelopor Pemberdayaan Masyarakat dari Gubernur Jawa Barat dan anugrah Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional di tahun yang sama.

Komunitas Ngejah pun mendapat Anugrah Peduli Pendidikan dari Kemendikbud pada 2015. Penghargaan juga diraih Roni Nuroni, relawan Komunitas Ngejah yang menjadi juara kedua dalam ajang lomba pengelola taman bacaan di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

Penghargaan yang sama diterima relawan Budi Iskandar sebagai juara kedua lomba Inovasi Literasi yang digelar Kemendikbud tahun 2016. Komunitas Ngejah juga mendapatkan dua penghargaan dalam ajang Gramedia Reading Community Competition di tahun 2016, yaitu juara pertama dan juara favorit.

Terbaru dan menjadi kebanggan tersendiri bagi Opik, saat dirinya dirinya diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara bersama 38 orang penggiat literasi dari seluruh Indonesia untuk berdiskusi soal perkembangan literasi.

“Ini jadi kebanggaan tersendiri bagi saya dan teman-teman komunitas Ngejah. Tapi yang paling bahagia bagi saya adalah saat melihat anak-anak datang ke saung makin akrab dengan bacaan,” tuturnya.

Masyarakat pun kini merasakan manfaat dari gerakan yang dibangunnya bersama para relawan. “Yang paling membuat saya terharu, saat melihat anak-anak SD berebut cita-cita setelah membaca buku aneka profesi, dari membaca secara tidak langsung mereka menemukan mimpinya,” ungkapnya.

Opik sendiri masih memiliki mimpi untuk terus memperluas gerakan Komunitas Ngejah yang dibangunnya. Saat ini ia merasa punya pekerjaan rumah besar yang harus dikerjakannya sebagai pendiri, yaitu membangun usaha ekonomi agar kegiatan komunitas Ngejah bisa tetap berjalan dan relawannya bisa tercukupi kebutuhan ekonominya.

Komunitas Ngejah, sambung Opik, bukan sekadar ruang untuk membaca dan meminjam buku. Komunitas ini menjadi tempat aktualisasi diri, ruang, serta upaya beternak mimpi bagi anak-anak kampung. Dengan segala keterbatasan, Komunitas Ngejah akan terus belajar bersama, belajar berkarya, dan belajar berbagi untuk menghidupkan denyut jantung kampung halamannya.

Semoga apa yang dilakukan Opik ini bisa memotivasi kita semua, terutama anak-anak muda. Kita bisa memulai nya dari hal yang terkecil seperti yang dilakukan Opik. Jika Opik saja bisa memajukan kampung halamanya, kenapa kita tidak bisa. Ingat kita punya tanggung jawab bersama untuk mencerdaskan anak bangsa. Mari budayakan membaca!

Ikuti tulisan menarik Sherly Permatasari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler