x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengungsi Rohingya

Pemandangan yang membuat miris itu terjadi bukan di abad ke-19 atau qurun ke-20, tapi di tahun 2017, di awal abad ke-21.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa anak terlihat digendong turun dari perahu ke pantai. Perahunya tanpa mesin dan tanpa layar. Tak jelas datang berlayar dari mana. Tak pula jelas perahu berlabuh di daratan mana. Mungkin di suatu pantai yang menghadap ke Laut Andaman atau Teluk Bengal di bagian utara Samudera Hindia.

Lalu, seorang nenek tua digendong seorang pria dewasa, mungkin anak sang nenek, mungkin cucunya, barangkali tetangganya, mungkin pria dewasa itu sekedar ingin menolong Sang nenek. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak. Di depannya, di belakangnya, ibu-ibu dan anak-anak berjalan dengan wajah memelas, tanpa senyum. Tak jelas juga dari titik mana mereka berangkat dan ke titik mana pula mereka berjalan.

Semua pengungsi, nyaris tanpa kecuali, memperagakan tanda-tanda kemiskinan: baju dan celana atau sarung yang kusut. Alas kaki seadanya. Anak-anak mengenakan pakaian lusuh robek compang-camping. Menenteng buntalan pakaian yang juga lusuh. Hanya satu dua yang membawa kopor yang juga sudah tua. Para lelaki dewasa rambutnya tak klimis, mungkin sudah beberapa hari tak mandi dan tidak shampoan. Para wanitanya mungkin belum mengenal salon kecantikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka terusir dari tanah kelahiran, dan kepada mereka yang bertahan diultimatum: pergi, sebab tanah kelahiranmu bukan tanahmu atau kalian akan kami usir paksa atau terbunuh. Ras kalian dan ras kami berbeda. Kami berkulit putih, kalian berkulit gelap.

Kemudian kamera menyorot gelimpangan mayat yang berderet tak beraturan di tanah, dan yang terapung di kubangan air: lelaki dewasa, anak-anak, ibu-ibu. Seorang lelaki dewasa menggali tanah, mungkin untuk pekuburan massal. Lalu sederet rumah di suatu kampung yang terbakar, dengan api yang sedang menyala.

Beberapa hari kemudian, sejumlah pejabat negeri lain mulai bersuara keras mengecam. Satu negara nan jauh malah mengancam akan mengirim pasukan khusus. Negara lainnya membalas akan melindungi negeri pengusir. Pegiat kemanusiaan memperingatkan eskalasi tragedi.

Kofi Annan, mantan Sekjen PBB memberi warning tentang radikalisasi di kalangan pengungsi. Para pemuka agama di negeri yang majemuk me-release pernyataan guna meredam pro kontra dan agar semua pihak bereaksi secara terukur.

Dan para pengungsi berjalan dan tetap berjalan berombongan tanpa tujuan yang pasti. Mencoba menyeberang sungai. Tapi otoritas di seberang sungai juga menolak mereka. Terlihat beberapa anak bermain di depan penjaga perbatasan yang bersenjata laras panjang. Menendangkan kaki mereka ke air setinggi setengah betis. Tempat penampungan pengungsi di mana-mana sudah penuh.

Pemandangan yang membuat miris itu terjadi bukan di abad ke-19 atau qurun ke-20, tapi di tahun 2017, di awal abad ke-21. Di sebuah titik di Asia Tenggara, yang tampaknya belum terjamah oleh Medsos.

Syarifuddin Abdullah | 08 September 2017 / 17 Dzul-hijjah 1438.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB