x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dua yang tak Terpisah: Sarton dan Sejarah Sains

George Sarton merintis jalan bagi tegaknya disiplin sejarah sains sejak awal, bahkan jurnal yang ia terbitkan mampu bertahan lebih dari 100 tahun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di ranah sejarah sains, nama George Alfred Leo Sarton selalu disebut dengan takzim. Meski hanya sedikit pihak mendukungnya, Sarton tak gentar untuk terus mengonstruksi sejarah sains hingga diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Dalam esai George Sarton: The Father of the History of Science, Eugene Garfield menggambarkan Sarton sebagai figur penting pembentukan sejarah sains sebagai disiplin ilmu.

Karya babon Sarton, Introduction to the History of Science, sangat berpengaruh dan menjadi bacaan wajib bagi mereka yang bertekad memelajari sejarah sains. Tiga jilid—dari 9 jilid yang ia niatkan namun tak selesai karena keburu meninggal—dengan tebal hampir 4.300 halaman sudah cukup menunjukkan kesungguhan sekaligus kecintaan Sarton dalam ikhtiarnya mengonstruksi bangunan disiplin sejarah sains.  Sarton mengulas sumbangan keilmuan dan kultural dari setiap peradaban, sejak zaman kuno hingga abad ke-14 Masehi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun menempatkan sejarah sains sebagai disiplin yang penting, tujuan akhir Sarton adalah filsafat sains terintegrasi yang menjembatani kesenjangan antara sains dan humaniora—suatu ideal yang ia sebut sebagai ‘new humanism’. Andaikan Sarton berusia panjang, 31 Agustus lalu ia berusia 133 tahun. Saat usianya kurang dari satu tahun, ayah Sarton—Alfred Sarton, direktur dan insinyur utama di perusahaan negara kereta api Belgia—meninggal.

Sarton sempat satu tahun kuliah di jurusan filsafat, lalu pindah ke kampus lain dan memelajari matematika dan fisika, namun kemudian sejarah menjadi minat terbesarnya—sejarah yang berbeda dari yang umum dipelajari masa itu, sejarah sains. Dari pernikahannya dengan Eleanor Mabel Elwes, Sarton menyebut punya dua anak kembar yang asing: May dan Isis. May adalah panggilan untuk anak perempuannya, Eleanore Marie, sedangkan Isis adalah jurnal yang ia terbitkan untuk merintis jalan bagi disiplin sejarah sains.

Jurnal Isis yang terbit pertama kali pada 1912 itu masih terbit hingga kini. Menurut mendiang Bernard Cohen, akademisi Harvard University dan pengganti Sarton sebagai editor utama Isis, sejarah sains ‘berutang budi’ kepada Mabel. Dialah yang membantu Sarton menerbitkan jurnal ini pada tahun pertamanya, bahkan hingga membungkus jurnal dengan plastik dan mengirimnya ke pembaca. Untuk memberi bobot jurnal ini, sejak awal Sarton melibatkan figur seperti matematika-fisikawan Henri Poincaré dan sosiolog Émile Durkheim—dua figur yang mewakili dua dunia yang ingin dijembatani oleh sejarah sains. Sarton sendiri menjadi chief editor selama beberapa dekade.

Isis tergolong jurnal langka yang mampu bertahan terbit lebih dari satu abad hingga tahun ini dan kini diterbitkan oleh University of Chicago Press. Edisi terbaru jurnal ini, Volume 108 Nomor 2, yang terbit Juni 2017, mengangkat isu utama museum dan sejarah sains. Para penerus Sarton agaknya menunjukkan penghargaan kepada pendahulunya dengan berusaha mempertahankan publikasi ini, yang dalam banyak hal telah berkontribusi dalam pengembangan disiplin sejarah sains.

Salah satu pikiran pokok Sarton yang menarik ialah pengakuannya bahwa setiap peradaban memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi kemajuan kemanusiaan. Ia tidak setuju dengan pandangan bahwa Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat, dan keduanya tak akan pernah bertemu. Bagi Sarton, bukti-bukti historis telah menunjukkan kontribusi penting peradaban Timur maupun lainnya.

Pencapaian terbesar di masa kuno, menurut Sarton, adalah berkat kecerdasan Yunani, sedangkan pencapaian terbesar di Abad Pertengahan adalah berkat kecerdasan kaum Muslim. Karena itu, Abad Pertengah memang abad kegelapan dan penuh peperangan bagi Barat, namun merupakan abad kegemilangan dan penuh cahaya pengetahuan bagi Muslim di Timur. Sarton juga menunjukkan bahwa pencapaian keilmuan Muslim jauh di atas pencapaian Yunani dan Bahasa Arab menjadi bahasa sains utama yang bersifat progresif, terutama pada abad ke-8 hingga abad ke-11 Masehi. Keilmuan Muslim melampaui tataran teoritis mengingat dukungan eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwannya.

Sarton, dengan sikapnya yang tidak bias terhadap peradaban tertentu maupun sains tertentu, telah berusaha keras meletakkan sejarah sains pada tempat yang tepat. Sikap inilah yang agaknya semakin diikuti oleh sejarawan sains Barat dengan semakin memberi porsi yang selayaknya terhadap kontribusi ilmuwan Muslim, khususnya di masa lampau, kepada kemanusiaan. Meskipun, di Indonesia sendiri, para ilmuwan Muslim ini belum memperoleh tempat yang layak dalam pengajaran di sekolah maupun kampus. Guru dan murid lebih mengenal Isaac Newton ketimbang al-Hasan ibn al-Haytham, padahal ilmuwan ini telah mendahului Newton dalam beberapa gagasannya. (Foto: George Sarton dan jurnal Isis terbaru, Vol 108 No 2017. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler