x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kontroversi Sejarah Perang Padri

Sanggahan Hamka terhadap buku Tuanku Rao karya Parlindungan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao

Penulis: HAMKA

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Republika Penerbit

Tebal: viii + 479

ISBN:  978-602-424-275-6

 

Terbitnya buku “Tuanku Rao” karangan Mangaradja Onggang Parlindungan yang terbit pada tahun 1964 menimbulkan kehebohan sejarah. Sebab buku ini membeberkan kekejaman tentara Padri saat menyerang Tanah Batak. Bahkan HAMKA yang saat itu dipenjara, awalnya mengaguminya. Namun setelah membaca dengan lebih teliti, HAMKA menemukan beberapa kesalahan yang ada di buku ini. Maka disusunnyalah buku “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” sebagai tanggapan terhadap buku Parlindungan tersebut. Buku ini pernah terbit tahun 1974 oleh penerbit Bulan Bintang dan kini diterbitkan ulang oleh Penerbit Republika pada tahun 2017.

Buku Tuanku Rao telah menimbulkan polemik. Polemik antara HAMKA dengan Parlindungan pernah dibawa dalam sebuah seminar di Universitas Andalas Padang pada Bulan Juli tahun 1969. Polemik antara HAMKA dengan Parlindungan berlanjut di Harian HALUAN Padang pada tahun 1970.

HAMKA menyatakan bahwa 80% buku Tuanku Rao adalah dusta (hal. 1) dan 20% lainnya diragukan kebenarannya. Argumen yang digunakan oleh HAMKA dalam menanggapi buku Tuanku Rao adalah: (1) peristiwa-peristiwa yang digunakan oleh parlindungan tidak tepat dan bahkan beberapa salah, (2) tahun-tahun yang digunakan di buku Tuanku Rao salah, (3) nama-nama yang diacu oleh Parlindungan banyak yang tidak ada, (4) kekacauan dalam menggunakan kaidah Bahasa Arab dalam penamaan para tokoh, dan yang lebih parah lagi, (5) Parlindungan mengatakan bahwa bukti-bukti yang dipakainya untuk menyusun buku telah hilang dibakar!

HAMKA membuktikan bahwa tidak benar Tanah Minang dikuasai oleh Islam aliran Syi’ah Qaramithah. Bukti bahwa Tanah Minang beraliran Syi’ah tidaklah kuat. Alasan bahwa di Tanah Minang ada ziarah BASAPAH dan perayaan TABUIK tidaklah cukup kuat untuk menyatakan bahwa Tanah Minang dikuasai Islam aliran Syi’ah selama 300 tahun. Sebab hubungan antara Syi’ah dengan ziarah BASAPAH dan perayaan TABUIK adalah hanya dugaan dari sarjana Barat (hal. 94). Lagi pula BASAPAH bukanlah budaya Syi’ah. HAMKA juga membuktikan bahwa Kerajaan Minangkabau tidak bermahzab Syi’ah (hal. 102). Kerajaan Minangkabau dari dulu bermahzab Syafi’i.

Tokoh Haji Piobang yang ditonjolkan dalam buku Tuanku Rao bukanlah mantan tentara Yanitsar yang dipimpin Muhammad Ali Pasya. Sebab tahun yang disebutkan oleh Parlindungan untuk menunjukkan bahwa Haji Piobang adalah tentara Muhammad Ali Pasya yang ikut perang melawan Napoleon kacau balau. Perang Pyramid terjadi pada tahun 1798 dan Muhammad Ali Pasya baru berkuasa pada tahun 1805, sementara Haji Piobang sudah kembali ke Tanah Minang pada tahun 1803 (hal. 27). Jadi mana mungkin Haji Piobang bertemu dengan Ali Pasya? Lagi pula Muhammad Ali Pasya justru memimpin tentara yang memerangi aliran Wahabi pada tahun 1813. Bagaimana mungkin mantan tentara yang anti Wahabi bisa kembali ke Tanah Minang untuk mengobarkan ajaran Wahabi?

Tokoh Tuanku Rao diklaim oleh Parlindungan sebagai seorang Batak keturunan Sisingamangaraja. Nama kecil Tuanku Rao adalah si Pongki Na Ngol-Ngolan. HAMKA secara cerdik mengatakan bahwa Na Ngol-ngolan berarti menunggu-nunggu dengan tidak sabar (281). Ketidak-sabaran Tuanku Rao untuk kembali/menyerang Tanah Batak adalah saat ia sudah menjadi tentara Padri. Jadi bagaimana mungkin nama ini sudah dipakai oleh Tuanku Rao pada saat ia masih kecil? Selanjutnya HAMKA memaparkan beberapa bukti bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi (hal. 295). Namun sumber yang dipakai oleh HAMKA dalam menolak Tuanku Rao sebagai orang Batak tidak sekuat sumber dan argument yang dipakainya untuk menanggapi topik-topik pada bagian lain dari buku ini. HAMKA hanya mengambil catatan J.B. Neumann seorang kontrolir (1866) yang diambil dari karangan Residen T.J Willer yang berada di Tapanuli pada tahun 1835 (hal. 295), dan keterangan Asrul Sani (hal 296). Keterangan bahwa Tuanku Rao pernah belajar perang ke Turki juga dibantahnya (hal. 299).

Meski HAMKA banyak mengritik dan membongkar ketidak-akuratan buku Tuanku Rao, namun beliau tidak banyak membahas serangan Padri ke Tanah Batak dan peran Tuanku Lelo yang sebenarnya menjadi inti dari buku Tuanku Rao. HAMKA hanya menolak deskripsi kekerasan seksual yang berlebihan yang ada di buku Tuanku Rao (hal. 82). HAMKA juga meragukan ada tokoh Tuanku Lelo yang bernama asli Idris Nasution (hal. 337). Apakah bagian ini yang dimaksud oleh HAMKA sebagai 20% yang masih diragukan?

Buku ini dilengkapi dengan makalah Parlindungan yang dibacakannya di Seminar di Universitas Negeri padang pada Bulan Juli Tahun 1969 (Lampiran II hal. 412), dan Surat Tanggapan Parlindungan terhadap polemiknya dengan HAMKA (hal. 462). Kedua dokumen ini menjadi penting untuk memperkuat fakta dan argument HAMKA dalam menyanggah kisah-kisah yang dianggap fakta oleh Parlindungan.

Membaca dua buku ini secara bersama-sama, yakni buku “Tuanku Rao” dan “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” sangatlah menarik. Sebab dengan menjejerkannya kita menjadi terangsang untuk ikut meneliti sejarah Padri. Apalagi dalam buku HAMKA dicantumkan cuplikan bagian-bagian yang ditanggapinya lengkap dengan halaman dan barisnya. Memang seharusnyalah proses penulisan sejarah berjalan demikian. Satu pendapat yang disusun dalam sebuah buku atau karya ilmiah harus ditanggapi dengan pendapat lain yang juga disusun secara ilmiah. Dengan demikian fakta-fakta sejarah akan semakin tersaring dan semakin jelas kebenarannya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler