x

Massa yang tergabung dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi teatrikal saat menggelar aksi dukungan untuk KPK di Jakarta, 31 Agustus 2017. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Koruptor dan Ruang Gelap Pemberantasan Korupsi

Fenomena politik koruptor saya kira sangat jelas, disaat adanya sebuah kekuatan yang terus menerus mempreteli legitimasi lembaga antirasuah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika politik diartikan sebagai seni dalam hal memperoleh kekuasaan yang tentu saja bisa dilakukan dengan beragam cara, maka “politik koruptor” berarti bagaimana kekuasaan yang cenderung korup itu dipertahankan, dirawat, dan bahkan dibela tanpa harus peduli bahwa mentalitas kekuasaan korup sebenarnya telah menghancurkan sendi-sendi kekuasaan itu sendiri. Seni memberantas korupsi bagi koruptor bukan terletak pada soal berapa banyak uang yang sudah diambil dari negara, tetapi bagaimana caranya agar uang negara yang sudah ia dapatkan, dipertahankan karena itu merupakan “keuntungan” yang sudah semestinya diberikan negara kepada mereka. Para koruptor jelas gila kuasa dan tak mau kekuasaan itu lepas, dialihtangankan kepada pihak lain, atau dikendalikan oleh orang-orang jujur dan berintegritas.

Fenomena politik koruptor saya kira sangat jelas, disaat adanya sebuah kekuatan yang terus menerus mempreteli legitimasi lembaga antirasuah dari banyak sisi. Setelah para koruptor mulai merasa terancam kekuasaannya, maka beramai-ramai mereka membentuk formasi kekuatan penuh mencoba menggulingkan kekuatan antikorupsi melalui seni berpolitik: membuat seolah-olah terjadi konflik internal dalam lembaga antirasuah, membunuh karakter para orang-orang jujur di dalamnya dan menyingkirkan dengan cara apapun mereka yang memiliki integritas, termasuk siapa saja yang tak mau kompromi dalam hal korupsi, dilukai atau dibunuh agar bisa digantikan oleh orang lain yang pro-koruptor. Saya kira suasana ini dapat dirasakan belakangan ini, disaat lembaga antirasuah terus dimandulkan perannya, orang-orang didalamnya pun yang memiliki integritas mulai “dibersihkan”.

Saya beranggapan, sungguh teramat pilu nasib penyidik senior KPK Novel Baswedan, belum juga terungkap soal siapa yang menyiramkan air keras kepadanya, kini ia mulai “ditelanjangi” bahkan “dikuliti” integritasnya, menjadi seolah-olah dirinyalah yang membuat gaduh dan menghalang-halangi proses penegakkan hukum, terutama menyangkut soal praktik korupsi. Belum juga Novel pulih dari sakitnya akibat diserang antek-antek koruptor, dirinya harus berhadapan dengan beragam tuduhan yang menyudutkan bahkan mendiskreditkan dirinya sebagai penyidik senior yang telah malang-melintang membongkar beragam kasus korupsi. Novel, misalnya, dituding menekan dan memperlakukan tersangka korupsi dengan kasar, menyuruh orang lain membuat kesaksian palsu dan yang paling menyakitkan dituduh pura-pura sakit dan pengobatannya dibiayai asing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beragam cara untuk menutupi dan menyelamatkan kekuasaan korup sangat jelas nyata dirasakan, terutama melihat pada konteks kasus Novel Baswedan yang tak pernah kunjung selesai. Pelaporan atas dirinya yang dituduh mencemarkan nama baik pimpinannya, bahkan diumbar di depan khalayak ramai, bahwa Novel adalah “orang kuat” di lembaga antirasuah tetapi dianggap sebagai “duri” dalam lembaga tersebut. Bagaimana tidak, semua tuduhan seakan memposisikan Novel sebagai benalu bagi pemberantasan korupsi, bukan pahlawan penangkap koruptor. Yang menggelikan, kasus sarang walet yang dulu hampir saja memenjarakannya, kini dibuka dan dipertanyakan kembali, layaknya kasus baru yang harus perlu segera diselesaikan aparat penegak hukum.

Pemberantasan korupsi di negeri ini, selalu saja berujung di ruang gelap, karena setiap sebuah kasus besar diungkap, kegelapan selalu saja melingkupinya. Antusiasme masyarakat terhadap pemberantasan korupsi nampaknya tak berbanding lurus dengan para penguasa korup yang gila kekuasaan, kehormatan atau harga diri. Lalu, sampai kapan kita tetap berada di ruang gelap pemberantasan korupsi? Sampai tak ada lagi lembaga kuat yang memberantas korupsi? Atau haruskah menunggu para penguasa korup ini mati? Sulit sekali rasanya membayangkan, bahwa seluruh elemen masyarakat yang ada bersama-sama gigih memberantas korupsi di negeri ini.

Tak tanggung-tanggung, politik koruptor secara meyakinkan memainkan perannya secara rapi dan terstruktur, memenuhi lini-lini kekuasaan, termasuk bagaimana aparat penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan bisa menggunakan wewenangnya untuk membungkam lembaga antirasuah. Politik jelas adalah seni memperoleh dan melanggengkan kekuasaan, lalu siapa yang mau dengan rela melepas kekuasaannya? Atau memberikannya Cuma-cuma kepada pihak lain? Nanti dulu, kekuasaan tak semudah itu diberikan kepada pihak lain, walaupun para penguasa sadar betul bahwa Tuhan-lah yang berhak memberi dan mencabut kekuasaan manusia. Tetapi seni dalam mengolah, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, itu adalah cara politik yang harus dijalankan tanpa ada campur tangan Tuhan didalamnya.

Politik koruptor jelas tak akan menggunakan argumentasi Ketuhanan, apalagi harus berpikir segala hal “kedisanaan”, dimana segala yang diperbuatnya hari ini, akan mendapatkan keadilan nanti “disana” dengan seadil-adilnya. Terminologi “adil” dalam kacamata politik koruptor adalah bagaimana sebuah prinsip keadilan hanya berpihak kepadanya walaupun harus ada yang dikorbankan demi keadilan bagi mereka. Buktinya, mereka merasa terzalimi oleh ulah lembaga antirasuah yang mengungkap kasus-kasus korupsi tetapi justru “membahayakan” kekuasaan mereka. Lalu, ketika Novel Baswedan tampak dizalimi, dalam teori politik koruptor tidak demikian, kondisinya jelas diputarbalikkan, bahwa Novel-lah yang menzalimi mereka. Inilah praktik politik koruptor yang dengan cerdik memutarbalikkan sesuatu yang adil tampak zalim dan sebaliknya.

Banyak orang yang beranggapan bahwa politik itu “kotor” penuh kelicikan dan kebohongan bahkan selalu berada pada ruang penuh kegelapan. Ada benarnya memang, walaupun ada saja sedikit orang berpolitik untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Dulu, bapak saya pernah berujar, “kekuasaan itu ibarat ‘ngemut’ permen, dibuang sayang walaupun ‘diemut’ membosankan”. Fenomena politik koruptor sama halnya dengan “ngemut permen” karena saking enaknya mereka lupa, bahwa permen lama-lama akan habis dan kenikmatannya berangsur hilang. Bayangkan, jika anak kecil yang ngemut permen lalu diminta, betapa berontaknya dia dan tak mau begitu saja berbagi kenikmatannya dengan orang lain.

Saya khawatir, seni berpolitik korup justru lebih kuat mewarnai praktik-praktik kekuasaan di negeri ini, sehingga benar-benar menghapus praktik berkesenian politik yang baik, dengan mengedepankan kejujuran dan keadilan. Jangankan bermimpi menjadi penyokong kekuatan demokrasi, melek soal kejujuran dan keadilan saja belum pernah. Hal inilah kemudian yang berakibat pada sulitnya memberantas korupsi, kalaupun ada yang terungkap, cukup hanya mengisi ruang-ruang gelap kekuasaan, tak pernah ada kejelasan atau kelanjutannya bahkan hilang tanpa bekas. Tak cukup rasanya kita berdoa saja atau berunjuk rasa berkoar-koar menunjukkan pembelaan kepada lembaga antirasuah, karena kita dituntut untuk berani membongkar ruang-ruang gelap pemberantasan korupsi, agar jelas dan terang benderang, mana politik koruptor dan mana politik anti-korupsi.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler