x

12_iptek_polusi

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manusia dan Masa Depan yang Tak Terkendali

Di era disrupsi seperti sekarang ini banyak orang atau institusi yang mengalami situasi kekacauan, bahkan kebingungan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin*

Di era disrupsi seperti sekarang ini banyak orang atau institusi yang mengalami situasi kekacauan, bahkan kebingungan. Tiba-tiba kita dilangkahi, disalib oleh cara kerja baru, cara pandang baru, cara bertindak baru, yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kita kemudian menyadari bahwa dunia kehidupan kita telah berubah menjadi "Tomorrow is another today", kata Daniel Franklin (2017). Apa yang kita bayangkan akan terjadi esok lusa ternyata sudah terjadi sekarang ini dihadapan kita. Apa yang dirasakan belum akan terjadi, ternyata hadir dalam praktik kehidupan kita bersama.

Dalam beberapa catatan kehidupan di era disruptif mengingatkan kita bahwa adagium masa depan sudah ada di depan kita telah lama dikumandangkan. Kita tak bisa lagi bekerja menggunakan logika kemarin atau yang dulu-dulu seperti orang sering mengatakannya: "seperti pengalaman yang lalu". Pengalaman yang lalu ternyata telah berlalu. Ia tak bisa dihadirkan lagi sekarang. Ia telah menjadi sejarah yang hanya berguna bagi perbandingan praktik kehidupan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa depan telah hadir di dalam kehidupan kita sekarang, di sini. Masa depan tak lagi berada di sana, yang membutuhkan waktu lama untuk menggapainya. Masa depan ternyata telah terdistribusikan kepada semua elemen masyarakat, semua level komunitas, bahkan teraratakan tanpa mengenal batas yang bersifat segmentasi. Itulah inovasi, invensi baru yang langsung memprovokasi kehidupan kita, baik kehidupan sosial kita, maupun kehidupan pribadi kita semua.

Batas antara apa yang sosial dengan apa yang pribadi tak bisa lagi dipilah dengan tegas. Tak bisa lagi ditarik garis demarkasinya dengan tebal. Semuanya bergulir, melebur, terdistribusi. Terkadang invensi baru, inovasi merusak kedigdayaan kemapanan, baik kemapanan cara berpikir, kemapanan pandangan, maupun kemapanan perasaan aman atau perasaan nyaman. Teknologi baru telah menghasilkan “hari esok" menjadi "hari ini". Seolah rangkaian hari itu telah mengalami "genetic modification" dalam sebuah intelegensi buatan.

Dalam situasi semacam itu, hari esok yang dianggap sebagai "science fiction", telah menjadi hari ini yang diperlakukan sebagai fakta kehidupan.

Kadangkala perubahan seperti itu terjadi laiknya "genetic self-modification", modifikasi genetik hari esok ke hari ini dengan sendirinya. Ia terjadi tak dalam framing. Bahkan ia mungkin saja tak memerlukan "anti-ageing treatment". Semuanya berlangsung dengan menggunakan skema lajur-lajur utama serba kemungkinan. Apa yang terjadi, maka terjadilah. Apa yang telah ditakdirkan, maka terjadilah. Kemungkinan menjadi kehidupan masa depan kita bersama. Dalam kemungkinan itu tak akan dikenal ketidakbolehan. Semuanya boleh. Semuanya bisa terjadi. Semuanya terbuka peluang untuk mendefinisikan masa depannya.

Masa depan tak bisa lagi didefinisikan oleh satu orang atau dirumuskan oleh sekelompok orang. Kehidupan bersama harus didefinisikan bersama (bukan dengan b besar), tetapi kehidupan bersama didefinisikan bersama (dengan b kecil). Sehingga setiap orang mampu mendefinisikan masa depan kehidupannya sendiri, untuk dirinya sendiri, untuk komunitasnya sendiri, tak tergantung dengan orang lain. Masa depan itu ada di sini, bukan ada di sana. Masa depan itu kita yang menentukan, bukan mereka yang menentukan. Masa depan itu bersifat disruptif, mengganggu, menggoda, menggugat kehidupan kita.

Tetapi inovasi, invensi tak berdiri sendirian. Ia tak hadir dalam sebuah ruang kosong. Inovasi dan invensi membawa kulturnya sendiri. Bahkan dalam sesuatu yang baru itu selalu ada apa yang disebut sebagai "the new form of business model", ada pula yang disebut sebagai "the new form of behavior". Perilaku baru akan menyertai tuntutan girah model baru (tata hidup) dan sebaliknya. Itu sebabnya, ketika kita akan mendefinisikan masa depan yang akan kita hadapi, kita tak cukup memandang atau mengingat masa lalu, masa sekarang, tetapi kita harus bisa membayangkan masa depan. Usaha membayangkan seperti model "future of science fiction". Fiksi ilmiah yang awalnya kita anggap tak mungkin dan hanya sebagai fiksi saja, kemudian menjelma menjadi bagian tak terhindarkan dari bagian kehidupan harian kita.

Mari kita perhatikan contoh perubahan-perubahan itu. Anak-anak muda sudah mulai bekerja rutin dengan asyik di malam hari. Bergaul dengan tombol-tombol komputer dan gadget, berkomunikasi lintas generasi, melampuai batas-batas waktu, menihilkan batas konvensional negara, mendegradasi batas-batas emosi dan perasaan. Anak-anak itu telah membentuk generasi baru sebagai apa yang sering kita sebut "nigh society". Masyarakat yang mendekat, didekatkan, disatukan oleh sebuah alat yang oleh Hawking dan Elon Musk (2017) disebut sebagai "Might ultra-intelligent machines", yang kemudian kita kenal sebagai kecerdasan artifisial.

Itu sebabnya, tak ada cara untuk menghindar. Tak ada lagi argumen untuk membenarkan. Tak ada lagi ruang untuk bersembunyi. Kehidupan tak bisa lagi kita kendalikan sendiri, oleh diri kita sendiri. Kehidupan telah milik bersama. Dikendalikan secara bersama-sama. Didefinisikan secara bersama. Didedikasikan untuk (kemakmuran) kehidupan bersama. Oleh karena itu, apa yang patut dan apa yang tak patut diukur oleh kepentingan bersama. Dinilai oleh "kepatutan kolektif". Diposisikan oleh norma-norma yang diakui bersama, yaitu norma universal.

Dalam praktik kehidupan kini, memang, akan selalu ada kegamangan untuk beradaptasi dengan corak kehidupan baru yang sangat disruptif. Tetapi, apapun yang akan terjadi kemudian, kita harus bisa menghadapinya. Kita harus terampil membaca tanda-tanda zaman. Kita harus berada dalam kondisi terjaga terus, karena perubahan itu tak pernah mengenal lelah, apalagi berhenti. Mari kita menyiapkan diri untuk selalu mampu beradaptasi dengan perubahan, sekecil apapun perubahan itu. Karena perubahan itu merupakan sunnatullah!

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi-Wakil Rektor I Universitas Negeri Jakarta

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler