Kematian Tiara Debora amat menyedihkan sekaligus mempertontonkan buruknya layanan gawat darurat di rumah sakit. Bayi 4 bulan ini meninggal setelah Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, diduga menolak merawatnya di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengancam akan mencabut izin rumah sakit yang masih menolak pasien pemegang kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, seperti yang terjadi dalam kasus Debora. "Ada, pasti ada sanksi. Kalau rumah sakit tipe C dan B non-pendidikan, itu izinnya ada di pemerintah provinsi," ujar Djarot di Balai Kota Jakarta, 12 September 2017.
Hanya, Kepala Dinas Kesehatan DKI Koesmedi Priharto bersikap berbeda. Dari pertemuanya dengan manajemen Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, ia menyimpulkan kematian Debora bukan disebabkan penundaan penangangan. “Jadi dari sisi medis tidak ada kesalahan atau penundaan tindakan penanganan,” ujar Koesmedi di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 11 September 2017.
Kesimpulan itu amat janggal karena kesaksian orangtua korban menunjukkan sebaliknya. Inilah 3 hal yang mengindikasikan rumah sakit lalai.
1. Tiara Debora dalam kondisi gawat
Lewat keterangan pers, manajemen RS Mitra Keluarga Kalideres menjelaskan bahwa awalnya Debora diterima instalasi gawat darurat sekitar pukul 03.40 WIB, 3 September 2017, dalam keadaan tidak sadar dan tubuh membiru. Dari hasil pemeriksaan, Debora memiliki riwayat lahir prematur, penyakit jantung bawaan, dan keadaan gizi kurang baik.
Kondisi Debora saat itu napas berat dan banyak dahak, dan suhu badan 39 derajat celcius. Setelah melakukan pertolongan antara lain dengan penyedotan lendir dan pemompaan oksigen, RS Mitra Keluarga menyarankan agar pasien dirawat di ruang PICU.
2. Mengabaikan Aturan
Orang tua bayi Debora, Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang, sebetulnya bersedia membayar tunai karena rumah sakit itu tidak menerima pasien BPJS. Petugas rumah sakit menyebut biaya perawatan Rp 19,8 juta, tapi tidak ada kesepakatan soal uang muka. "Saya mohon sama admin (bagian administrasi), saya punya uang Rp 5 juta. Saya akan lunasi sisanya. Mereka minta Rp 11 juta," ujar Henny (Ayah Bayi Debora Serahkan Rp 5 Juta, Admin RS Mitra Bilang Kurang).
Kendati bukan rekanan BPJS, rumah sakit seharusnya merawat Debora di ruang PICU, tanpa meributkan soal pembayaran. Setelah kondisi pasien benar-benar stabil, rumah sakit baru bisa membantukan mencarikan rumah sakit lain. Hak pasien gawat darurat ini dilindungi oleh Peraturan Presiden Nomor 12/2013 Jaminan Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71/2013 juga mengatur hal serupa.
BPJS Kesehatan pun telah mengedarkan panduan khusus mengenai layanan kesehatan darurat pada rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan lembaga ini. Intinya, pasien gawat darurat harus mendapat perawatan maksimal di rumah sakit manapun sebelum dirujuk ke rumah sakit yang berpartner dengan BPJS.
3. Sanksi administrasi dan ancaman pidana
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit , pasien berhak mendapatkan layanan gawat darurat sesuai dengan kemampuan pelayanan rumah sakit. Rumah sakit yang melanggar ketentuan ini bisa diberikan sanksi, mulai dari teguran hingga pencabutan izin.
Undang-undang Nomor 3/2009 tentang Kesehatan menyediakan sanksi hukum yang lebih berat lagi. Dalam Pasal 32 ayat 1 dinyatakan: "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu."
Sesuai Pasal 190 undang-undang tersebut, pimpinan rumah sakit bisa diancam hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar jika secara sengaja tidak memberikan pertolongan pertama hingga menyebabkan pasien meninggal. *
Artikel aktual:
Survei Pemilu 2019: Resep Jokowi Kalahkan Penantang Baru
Pak Jokowi, Ternyata Inilah Pemicu Heboh Senjata Brimob
Ikuti tulisan menarik Gendur Sudarsono lainnya di sini.