x

Iklan

Zdavir Andi Muhammad

Penulis merupakan alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Hasanuddin angkatan tahun 2012 dan kini tengah mengampuh Studi S2 untuk jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan di Sekolah Pasca Sarjana Unhas
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dapatkah Destruksi Kreatif Kita Hindari?

Tulisan dan gagasan yang mencoba mengupas permasalahan ekonomi yang acap bersifat siklikal. Sehingga, dengan ide ini ia dapat menjadi stabil

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dapatkah Destruksi Kreatif Kita Hindari Dalam Masyarakat Komputerisasi?

 

Hal yang terus mengganggu penulis belakangan ini ialah banyaknya misdireksi investasi. Di sisi lain, terjadinya overproduksi yang berujung pada deflasi atau penurunan harga jual komoditas-komoditas, masifnya jumlah-jumlah jasa yang kemudian menurunkan keuntungan. Bagi kapitalisme, seluruh hal ini disebut merupakan salah satu mekanisme pasar. Overproduksi merupakan salah satu mekanisme pasar yang terjadi secara alami yang berujung pada penurunan harga. Naiknya harga-harga akan terjadi ketika minat terhadap penanaman komoditas sepi ketika harga jatuh (terjadi kelangkaan). Ujungpangkalnya seluruhnya bersifat siklikal (berulang).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Overproduksi kemudian berarti, penawaran atau ketersediaan barang yang ada di pasar lebih besar dibandingkan dengan permintaan di pasar. Akibatnya, harga jatuh. Di satu sisi, langkanya suatu komoditas atau jika pasar meminta lebih banyak dibandingkan jumlah komoditas yang tersedia di pasar—dengan menggunakan asumsi stasionaritas—harga akan melonjak. Pada titik ini, banyak spekulasi (baca : perdebatan) terjadi.

Pada dasarnya, asumsi ekonomi acap menggunakan asumsi “ceteris paribus”, atawa asumsi stasionaritas. Diktum ini mengasumsikan bahwa “A” akan bergerak bila “B” dan “C” tidak bergerak. “Harga bawang akan menurun ketika jumlah bawang lebih banyak dibanding permintaan”. “Harga bawang melonjak tajam ketika jumlah suplai penawaran bawang sedikit dibandingkan permintaan”. Stasionaritas berlaku pada jumlah barang. Pada sisi lain, perilaku pelaku pasar acap di luar dari ekspektasi. Penimbunan terjadi ketika hukum bermain mata dengan pihak keamanan—atau juga mendapat celah akibat lemahnya pengawasan. Akibat kegagalan komunikasi dan tidak terbukanya informasi, pasar acap gagal dalam menemukan titik temu antara permintaan dan penawaran.

Kegagalan mekanisme pasar dalam menangkap sinyalemen pasar dan mempertemukan seluruh stakeholder yang ada tidak hanya mengenai komoditas yang ditemui sehari-hari, namun turut pula mengenai investasi berbagai hal. Dalam masalah masyarakat kita, pertumbuhan gedung-gedung mall serta gedung-gedung perkantoran tumbuh silih-berganti: berjamur, sepi, berjamur lagi. Apa itu menambah beban dalam krisis kita? Tidak secara an sich!

 

Mekanisme Pasar: Mekanisme yang Mana?

Hal ini kemudian banyak memicu perdebatan dalam sejarah ekonomi. Sejarah ekonomi memang banyak menemui dialektikanya. Dimulai dari Adam Smith yang meminta pasar dibuka tanpa hadirnya peraturan pemerintah—Kerajaan Inggris—yang banyak melindungi pengusaha besar—selanjutnya disebut sebagai mazhab ekonomi liberal (walau kemudian hal ini juga turut mengundang perdebatan panjang) serta Keynes yang menuntut hadirnya intervensi pemerintah dalam ekonomi akibat kegagalan pasar dalam menemukan titik equilibrium.

Bagi Smith, pasar penting untuk tidak diintervensi dan membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan sendirinya. Atau, dalam kata lain, acap disebut dengan “invisible hand”. Persaingan sehat tidak akan terjadi ketika pemerintah hadir melindungi pasar. Padahal, efisiensi dapat tercipta dan efisiensi ini disebut memberikan keuntungan bagi konsumen.

Beberapa dekade berlalu, teori yang dibangun oleh Smith menemui jalan buntu. Keynes datang dengan merumuskan teorinya sendiri. Menurutnya, Smith tidak lagi relevan. Asumsi Smith yang menyebutkan bandul ekonomi akan seimbang dengan sendirinya membutuhkan waktu lama untuk kembali seimbang. Tangan-tangan pemerintah melalui intervensi diharapkan dapat segera mengatur ritme bandul yang tak seimbang. Proposisi Smith “In the long run equilibrium will be achieved” diselewengkan oleh Keynes dengan perkataannya yang telah menjadi klasik “Dalam jangka panjang, kita semua sudah mati”. Maka, bagi Keynes, jelas intervensi pemerintah merupakan sebuah hal yang mendesak.

 

Bagaimana Kita Memahami Bandul Ekonomi?

Pernyataan dan proposisi di atas mengenai mekanisme kerja mekanisme pasar amat jarang tercapai akibat sejatinya, “asumsi stasionaritas” sebenarnya tidak pernah terjadi! Mengingat, seluruh variabel sejatinya bergerak ke satu titik tertentu tanpa henti. Ketika satu titik gagal menemui titik lainnya, ia akan turun (ataupun naik) menuju titik lain. Sehingga, sangat sulit mencapai titik equilibrium dalam ekonomi. Equilibrium dalam apa? Bisa jadi dalam banyak hal!

Saya bisa menyebut mengenai bertemunya permintaan antara permintaan tenaga kerja (oleh para pengusaha) dan ketersediaan tenaga kerja (oleh rumah tangga) yang bertemu di pasar tenaga kerja. Kita juga dapat menyebut jumlah permintaan komoditas tebu atau aren dibandingkan dengan persediaan (atau ketersediaan) komoditas tersebut. Kita juga dapat menyebutkan ketersediaan ruang kantor (untuk disewa) dibandingkan dengan permintaan kantor. Atau, secara makro, jumlah barang yang tersedia tidak sebanding dengan uang yang tersedia. Hal ini berbahaya karena dapat mengakibatkan krisis.

Krisis ini kemudian akan memundurkan keadaan dan pelaku ekonomi dalam beberapa langkah ke belakang. Bagi Schumpeter, proses penghancuran ekonomi terhadap para pelaku ekonomi inilah yang disebut destruksi kreatif. Destruksi ini menciptakan para pelaku yang senantiasa kreatif dari zaman ke zaman. Tanpa krisis, mereka tidak dapat belajar. Dan akhirnya, para pelaku dapat belajar dari krisis (learning by doing). Orang-orang atau pelaku pasar baru yang menggeliat dari krisis juga akan belajar dari peristiwa sebelumnya. Sedang yang gagal akan digerus krisis. Demikian seterusnya. Walau dalam teori, kita sendiri sejatinya dapat mencekalnya sebagai blessing in disguise. Lantas, dapatkah kita menghindari destruksi kreatif? Sebelum mencapai pembahasan tersebut, kita tidak mungkin melangkahi berapa hal.

Beberapa berpendapat krisis dari zaman ke zaman ini sejatinya terjadi akibat orang lupa atau mengendorkan sikap awas dalam menghadapi masalah. Misalnya, Smith mulai tidak relevan ketika keadaan ekonomi menjadi lebih baik (pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi). Orang-orang dan pemerintah lantas tidak memberikan regulasi yang jelas untuk mengatur pasar. Akibatnya, terjadi crash dalam ekonomi. Begitu pula dengan kepercayaan teori Keynes. Di saat aktivitas pasar melemah, orang-orang percaya bahwa pasar akan segera bangkit. Namun, untuk menunggu momen itu tidak sedikit hal yang perlu dikorbankan: “Gairah belanja masyarakat menurun yang diakibatkan oleh ketidakpercayaan akan kondisi masa mendatan, hal ini kemudian berdampak pada lemahnya permintaan pada industri (pasar industri serta investasi). Ketika permintaan industri melemah, permintaan tenaga kerja melemah. Gairah aktivitas eknomi menurun. Akibatnya, ekonomi akan terjebak pada kondisi yang siklikal (berulang).

Guna menghindari kejadian berulang dan waktu yang lama untuk menunggu pasar kembali bergairah, intervensi pemerintah guna menstimulus aktivitas pasar adalah sebuah hal yang mutlak.” Di sinilah Keynes mengemukakan adagiumnya, “(Untuk) Dalam jangka panjang, kita semua sudah mati!”. Usaha melawan krisis merupakan sebuah tindakan yang perlu ditangani secara klinis sebelum mengorbankan banyak pihak-pihak yang tak berdosa.

Lantas, ketika Keynes tak lagi relevan untuk belakangan ini—yang beberapa ekonom menyebutnya sebagai stagnasi sekular, bagaimana kita melawan krisis?

 

Kelimpahruahan Data Dalam Masyarakat Komputerisasi dan Bagaimana Memanfaatkannya

Dalam masyarakat yang serba otomatis, mekanis, segala hal sudah dapat dikontrol dan diprediksi. Hal ini dapat memudahkan pekerjaan manusia. Misalnya, otomatisasi/mekanisasi pabrik dengan mesin-mesin membuat produktivitas meningkat serta memprediksi pola produksi serta prediksi pertumbuhan produksi dapat lebih terkontrol. Walau di satu sisi, mekanisasi ini turut menggerus pendapatan serta pekerjaan para buruh yang tidak memiliki daya tawar yang tinggi dalam pasar—perdebatan yang disebut-sebut Hawking mengenai otomatisasi, sayangnya, tidak akan saya bahas panjang lebar dalam tulisan singkat ini.

Dalam masyarakat komputerisasi, prediksi masa mendatang akan sangat mudah dilakukan. Walau di satu sisi harus kita akui masih mendapatkan tantangan. Prediksi yang penulis sebut-sebutkan ialah bagaimana menggunakan data kita dapat memprediksi masa mendatang. Sedangkan tantangan yang penulis sebutkan krisis yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu akibat “super computer” gagal/lambat dalam membaca data serta indikasi tersebut. Namun, kita akan dedah satu persatu. Pertama dari krisis lalu kemudian bagaimana memanfaatkan data yang melimpah-ruah.

Sejatinya, “super computer” mampu memprediksi segala informasi yang ada di bursa saham. Sehingga, “super computer” yang gagal dalam membaca spekulasi pasar gagal dalam menangkap informasi tersebut. Para spekulan terus membuat berbagai surat jual-beli fiktif guna menggenjot laporan keuangan perusahaan. Laporan fiktif tersebut dimaksudkan untuk menarik investor dalam meningkatkan investasinya di bursa saham. Ketika saham tersebut “bodong”, pasar kemudian kolaps. Di satu sisi, asumsi ceteris paribus turut memperumit keadaan. Mengingat tidak ada komoditas yang bergerak stasioner ketika yang lain sedang bergerak. Spekulan pasar ini seharusnya mampu diendus oleh para pengawas pasar/pemerintah. Bukan “super computer” yang melacak naik-turunnya fluktuasi pasar saham kemudian menuntun arah pasar. Yang diawasi ialah pasarnya, bukan kegagalan “super computer”.

Kelimpahruahan data—big data juga seharusnya mampu dimanfaatkan dengan baik oleh para peneliti guna menghindari misdireksi investasi. Misalnya, membuat sebuah pemetaan yang baik berapa jumlah populasi masyarakat, berapa luas lahan, berapa produktivitas lahan, berapa petani yang menanam komoditas sejenis maupun berbagai jenis. Juga, menariknya, dapat kita gunakan mengenai perkembangan mall serta penyerapan areal perkantoran.

Misalnya, dengan mengetahui data-data tersebut kemudian ktia dapat memprediksi berapa besaran produksi yang layak untuk produktivitas komoditas tertentu. Berbagai perusahaan serta petani mampu kemudian berbagi informasi mengenai sektor komoditas apa yang layak untuk digarap dan ditanam. Hal ini guna menghindari keinefisiensian produktivitas komoditas dan menghindari deflasi, inflasi serta korban pengangguran yang diakibatkannya. Di satu sisi, penyerapan serta pertumbuhan areal mall dan perkantoran perlu diketahui, lantas diprediksi. Guna menghindari kemubaziran dalam pembangunan.

Di Jakarta, misalnya, pertumbuhan mall serta perkantoran yang tumbuh subur di satu sisi terus membunuh mall yang sudah ada. Demikian perkantoran. Akhirnya pertumbuhan penyerapan mall dan perkantoran tergerus dan sepi. Yang seharusnya terjadi ialah pemerintah memperketat dimana areal mall dan perkantoran dapat tumbuh serta meningkatkan minat terhadap inovasi serta renovasi dalam pembangunan mall serta gedung perkantoran. Hal ini tentu guna menghindari kemubaziran ekonomi. Inefisiensi dalam menggunakan dana mutlak diperlukan jika kita hendak memiliki banyak dana yang cukup untuk memperbesar ruang gerak pertumbuhan. Dan pada akhirnya, mampu memberikan dana yang cukup untuk melakukan pembangunan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Ikuti tulisan menarik Zdavir Andi Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler