Ibarat pedagang, aku hanya akan meladeni penawar tertinggi. Dan tetap menghormati penawar di bawahnya. Ibarat penyelenggara lelang, aku akan mengabaikan penawar yang ditimpa penawar di atasnya.
Jika dianalogikan dengan logam, mungkin aku tembaga atau perak atau emas atau bahkan sekedar loyang. Tapi ketika menjadi tembaga, aku menjadi tembaga yang genuine. Saat menjadi perak, aku bangga menjadi perak yang ori. Waktu menjadi emas, tak ada untungnya meremehkan tembaga, perak dan loyang
Silahkan menilaiku dan menghargaiku. Aku tak peduli. Jika aku emas, dan kau menganggapku tembaga, kau bukan hanya menzalimiku, tapi kau juga menzalimi penilaianmu. Dan bobot menzalimi dirimu sendiri lebih berat dibanding menzalimi orang lain.
Jika aku tembaga, dan kau menilaiku emas, aku tak perlu besar kepala. Karena aku sadar, di mana pun dan kapan pun, tembaga akan tetap tembaga, perak akan tetap perak, dan emas akan tetap emas.
Kau tak perlu memujaku sebagai emas, saat aku tahu bahwa diriku adalah perak. Tak perlu memposisikan diriku sebagai perak, ketika aku sadar bahwa diriku adalah tembaga atau bahkan sekedar loyang.
Tapi yakinlah: semua analogi logam itu tak berlaku bagi manusia. Karena pada dasarnya, setiap manusia, dari ras dan kasta yang paling rendah sekalipun, tetaplah lebih berharga dibanding semua jenis logam atau apapun.
Tiap manusia sudah berharga sebelum dihargai. Tiap manusia telah bernilai sebelum dinilai. Tiap manusia sudah terhormat sebelum dihormati. Karena itu, tanpa harus berbusung dada, setiap orang sesungguhnya berhak hanya meladeni penawar tertinggi.
Syarifuddin Abdullah | 13 September 2017 / 22 Dzul-hijjah 1438
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.