x

Iklan

Satriwan Salim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Siswaku Mengenang Munir

Dalam pembelajaran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) kelas XI IPS, mata pelajaran PPKn semester ini, sesuai rencana kami melakukan kunjungan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

             Phto by Anindha

Oleh: Satriwan Salim, S.Pd, M.Si*

Dalam pembelajaran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) kelas XI IPS, mata pelajaran PPKn semester ini, sesuai rencana kami melakukan kunjungan ke dua lembaga negara, yaitu Kejaksaan Agung dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada Kamis 7 September 2017. Didampingi oleh guru PPKn saya sendiri Satriwan Salim, Mustafal Bakrie dan Sri Suyanti. Tahun sebelumnya, kami berkesempatan mengunjungi Komnas HAM dan KONTRAS.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah direncanakan secara komprehensif, pembagian tugas kepanitiaan oleh siswa, kunjungan pembelajaran HAM ini benar-benar 100 persen dijalankan kepanitiannya oleh siswa. Pembelajaran luar kelas ini dipersiapkan oleh kepanitiaan kecil kelas XI IPS 1 dan 2, diantaranya Akbari, Alia, Farrel, Lala, Azura, Dian, Raihan (RB), Lintang, Nindha, Jihan dan siswa-siswi lainnya yang tak mungkin dituliskan satu-persatu.

Suatu pembelajaran tentang nilai-nilai kolaborasi, tanggung jawab, komunikasi dan kemandirian. Sebuah fakta bahwa pendidikan karakter tersebut nyata diakutualisasikan para siswa, tanpa sibuk mengurusi nomenklatur ini bernama projek PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) atau bukan, yang sedang ramai diperbincangkan. Para siswa kami telah sukses melampaui itu semua.

Kunjungan pertama, kami diterima dengan sangat terbuka dan ramah oleh pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) di daerah bilangan Jakarta Selatan. Para siswa dan guru pembimbing pun merasa terharu dan bahagia, sebab tak tanggung-tanggung kami disambut oleh empat (4) orang pejabat eselon Kejagung. Sambutan yang begitu terbuka tersebut, seolah menjadi motivasi bagi para siswa untuk berinteraksi lebih komunikatif dengan para pejabat Adhyaksa ini.

Dalam sesi pembukaan yang berisi sambutan dari pihak Labschool dan Kejagung, tercetus (mungkin saja) pujian yang disampaikan pejabat kejaksaan tersebut, yang kalimatnya kurang lebih “Saya suprise, biasanya yang kunjungan ke sini adalah mahasiswa, bahkan tak jarang mahasiswa S-2, tetapi sekarang Kejagung dikunjungi oleh anak-anak SMA, luar biasa, dan ini SMA pertama yang mengunjungi Kejaksaan Agung!.” Begitulah kurang lebih kalimat apresiasi yang diucapkan oleh pihak kejaksaan. Tentu pujian tersebut disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah dari para siswa.

Seperti kunjungan-kunjungan ke lembaga negara umumnya, sebelum menguraikan tentang pembelajaran HAM, khususnya terkait pelanggaran HAM berat, pihak kejaksaan memutarkan video tentang tugas dan kewenangan Kejagung dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Para siswa serius menyaksikan video berdurasi pendek yang cukup menarik ini. Selesai video diputarkan, dilanjutkan pemaparan tantang kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang pernah dan sedang disidik oleh pihak Kejagung.

Para siswapun menyiapkan buku tulis dan pulpen mereka, sambil menyimak dengan seksama, tangan mereka menuliskan poin-poin yang dirasa penting untuk ditulis. Walaupun beberapa tayangan power point yang disampaikan sudah pernah mereka baca di buku PPKn Kelas XI yang mereka miliki. Walaupun ada juga beberapa siswa yang terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah HAM pejabat kejaksaan ini, tapi dengan kode-kode tertentu, saya selalu mengingatkan agar siswa tersebut (di)bangun(kan), karena saya duduk di depan bersama pejabat kejaksaan. Alhasil, cara ini cukup efektif “menyadarkan” siswa.

Secara utuh dan lengkap pihak Kejagung menguraikan satu persatu kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di republik ini. Mulai dari Persitiwa 1965/1966 yang belum tuntas itu, Kasus Petrus, Kasus Talang Sari, Kasus Trisakti, Semanggi, Penculikan Aktivis 1998, Kasus Tanjung Priok, Kasus Abepura Papua, Tragedi Jambo Keupok Aceh. Sampai kepada Kasus Munir yang juga belum tuntas sampai sekarang. Pejabat kejaksaan yang memberikan ceramah ini kebetulan sangat relevan, karena dia bertugas di bagian penyidikan terhadap pelanggaran HAM berat Kejagung. Pak Hendro namanya.

Beliau juga menjelaskan jika masalah pelanggaran HAM berat yang sudah pernah disidik oleh Kejagung dan sudah disidangkan di Pengadilan HAM Ad Hoc yaitu Kasus Tanjung Priok, Kasus Abepura dan Kasus Timor-Timur. Untuk kasus-kasus besar lainnya, pada umumnya belum dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc.

Sampai pada sesi tanya jawab, tak disangka-sangka para siswa yang berjumlah 70 orang tersebut sangat antusias ingin bertanya pada pemateri. Sampai-sampai moderator kewalahan memilih. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekali lagi pejabat kejaksaan mengungkapkan, jika pertanyaan para anak-anak SMA ini sudah selevel pertanyaan aktivis HAM dan para mahasiswa hukum. “Pertanyaannya berat-berat!”, demikian ungkapnya.

Bagi saya pribadi, yang cukup menarik adalah pertanyaan siswa terkait Kasus Munir. Awalnya siswa bertanya terkait bagaimana penyelesaian Kasus Munir hingga saat ini. Tentu jawaban kejaksaan normatif, berdasarkan fakta dan keputusan persidangan, yang telah memutuskan para terpidananya, seperti nama Polycarpus dan Muchdi PR. Lantas pihak kejaksaan mengatakan jika pembunuhan Munir tersebut hanya peristiwa pidana umum, alias pembunuhan seperti pembunuhan-pembunuhan lainnya. Beliau pun mencontohkan kasus pembunuhan Mirna oleh temannya Jessica.

Nah, mendengar pernyataan seperti itu, sontak seorang siswi bernama Nurtasya mengangkat tangan menginterupsi pernyataan pihak kejaksaan. Saya melihatnya agak “emosional” menyampaikan argumentasinya. Kurang lebih Nur mengatakan, “Maaf Pak, saya kurang sependapat dengan pernyataan Bapak, jika pembunuhan Munir itu adalah tindak pidana biasa atau pembunuhan saja. Karena sampai sekarang pemerintah terus diminta untuk menyampaikan secara terbuka hasil TPF Munir, tuntutan dari masyarakat, para aktivis HAM, agar kasus Munir ini dibuka sejujur-jujurnya ke muka publik. Apakah ada keterlibatan negara di sini. Menurut saya, pembunuhan Munir ini adalah kasus pelanggaran HAM berat, sesuai UU No 26 Tahun 2000, yakni masuk kategori “kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Cukup panjang uraian dan “protes” siswa yang bertubuh jangkung tersebut, terkait Kasus Munir ini. Karena baginya, sosok Munir adalah seorang pejuang HAM yang inspiratif, tapi dengan mudahnya, nyawanya dihilangkan karena selalu mengkampanyekan nilai-nilai universal HAM di Indonesia, dan selalu kritis kepada pemerintah saat itu.

Dengan tenang kemudian pihak kejaksaan menerangkan jika “kejahatan terhadap kemanusiaan”, definisinya adalah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Jadi ada prasyarat serangan “meluas” dan “sistematis”. Apakah pembunuhan Munir dilakukan berupa serangan yang meluas dan sistematis? Dan uraian lainnya yang cukup panjang. Pada intinya Kasus Munir ini adalah pidana umum, pembunuhan yang terpidananya dikenai dengan pasal pembunuhan di KUHP, bukan dijerat oleh UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Ringkasnya demikian yang bisa saya cerna, atas penjelasan kejaksaan tadi.

Pembelajaran HAM mata pelajaran PPKn, Kamis pagi itu sangat meriah dan berkesan bagi para siswa. Banyak siswa yang “kecewa” dengan jawaban-jawaban pihak kejaksaan, khususnya terkait Kasus Munir dan terkait Kasus Marsinah (yang tidak saya jelaskan di sini). Tapi ada juga siswa yang santai-santai saja, mungkin karena tak paham apa yang sedang didiskusikan oleh teman-temannya.

Ada juga siswa yang “senang-senang” saja, mungkin karena berkesempatan keluar kelas (outing class) pada hari itu, tidak belajar formal di sekolah. Semuanya punya kesan yang berbeda-beda. Walaupun mereka tidak merasa puas dengan jawaban kejaksaan, tapi toh akhirnya beberapa siswa itu mengajak para pejabat kejaksaan untuk berfoto bersama, bahkan denga wajah ceria ada yang melakukan selfie dengan pejabat kejaksaan.

Terpenting bagi saya sebagai pendidik adalah, nilai-nilai yang bisa diambil dari pembelajaran HAM di luar kelas kali ini. Bahwa negara dan bangsa kita masih menyimpan setumpuk cerita dan peristiwa sejarah masa lalu yang masih “gelap”, khususnya terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sebagai bangsa yang besar, apakah kita akan terus menoleh ke belakang dengan mengatakan, “kami akan memaafkan”, tetapi “kami tidak melupakan”. Seperti ucapan Nelson Mandela yang mahsyur itu. Atau memilih lupakan masa lalu, cukup menjadi catatan sejarah, kita tatap masa depan Indonesia.

Atau memilih terus berjuang di jalan “sunyi”, seperti yang Ibu Suciwati dan para peserta “Aksi Kamisan” di depan Istana Negara lakukan, untuk terus menyuarakan hak-hak asasi korban, yang hingga kini belum kunjung diakui negara. Atau duduk bersama secara dewasa sebagai sebuah bangsa bermartabat, mengakui kita pernah khilaf dan salah, lantas bergandengaan tangan, bersama menatap masa depan bangsa yang lebih gemilang. Siapa yang bisa menjawab tugas berat sejarah bangsa di atas? Jawabannya adalah, “Mereka, para siswa yang bertanya kritis, yang santai-santai saja dan yang ber-selfie ria di atas!

 

*Penulis adalah Guru PPKn SMA Labschool Jakarta-UNJ dan Peneliti PUSPOL Indonesia

Ikuti tulisan menarik Satriwan Salim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB