x

Iklan

edy mulyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ngebut 100 Km/Jam dengan Gigi Satu, Konyol!

Tim ekonomi Indonesia nyaman dengan gigi satu. Akibatnya, ekonomi hanya tumbuh di kisaran 5%. Mau ngebut 100 km/jam tanpa naikkan persneling, konyol!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Edy Mulyadi*

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan sampai kuartal 2, ekonomi tumbuh 5,01%. Angka ini lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang 5,18%. Sampai akhir tahun ini, pemerintah berharap ekonomi tahun ini bisa tumbuh 5,2%. Tahun depan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) berharap bakal tumbuh 5,4%.

Pertanyaannya, apa benar ekonomi kita hanya berkutat di angka 5% dengan plus-minus nol koma sekian? Apa benar ekonomi Indonesia sudah mentok? Mosok tidak bisa digenjot lebih tinggi lagi. Misalnya, bertengger di 6% atau bahkan 6,5%?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitulah. Ciri tim ekonomi yang dikomandani Menko Perekonomian Darmin Nasution memang seperti itu. Konservatif. Watak ini dibuktikan dengan berbagai kebijakan ekonomi yang mereka lahirkan. Semuanya serba konservatif. Sangat konservatif. Sama sekali tidak ada terobosan.

Tidak aneh bila duet Darmin-Sri merasa sudah mentok kalau ekonomi bisa tumbuh di kisaran 5% plus nol koma sekian. Tidak ada greget untuk menggenjot agar terbang lebih tinggi. Alasannya macam-macam. Mulai dari situasi global yang belum pulih, sampai berbagai kendala di dalam negeri, termasuk tudingan Sri bahwa rakyat Indonesia maunya gratisan.

 

Persneling satu

Ibarat berkendara mobil bertransmisi manual, tim ekonomi kita memang hobi menggunakan persneling satu. Celakanya, posisi itu berlangsung terus sepanjang perjalanan. Mulai berangkat hingga sampai tujuan. Itulah sebabnya kecepatannya tidak bisa lebih dari 20 km/jam. Mungkin mereka pikir, kalau bisa lari 20 km/jam, kenapa harus ngebut di atas 70 km/jam?

Pertanyaannya, apakah kita puas dengan pertumbuhan yang berkisar di angka 5%? Dulu, saat SBY jadi Preisden, ekonomi sempat nangkring di 6%, lho. Artinya, kalau tim ekonomi sekarang puas dengan 5%, jelas kinerja tersebut bisa disebut belum ada apa-apanya.

Sejatinya, sampai 2019 Indonesia bisa tumbuh lebih dari 5%, bahkan tembus 6,5%. Syaratnya, Pemerintah harus berani menekan gas lebih dalam. Konsekwensinya, persneling pun harus dinaikkan ke level dua, tiga, empat, bahkan lima. Kalau sudah begini, jangankan cuma lari 70 km/jam, mau 100 km/jam pun ayo saja.

Berharap ngebut sampai 70 km/jam hanya dengan terus menggunakan gigi satu jelas tidak mungkin. Ilmuwan abad 20 Albert Einstein mengatakan, berharap hasil beda tapi masih terus memakai cara yang sama adalah konyol.

Sayangnya, kelakuan seperti inilah yang menjadi rekam jejak Darmin-Ani dan gengnya.  Sebagai penganut ekonomi neolib, mereka terbiasa mengikuti kemauan dan aturan para majikan asingnya; yaitu IMF, WB, dan ADB. Buktinya, mereka yang hanya mengandalkan APBN dan inflasi belaka untuk urusan ekonomi makro. Inilah yang dimaksud tim ekonomi tetap anteng-tentrem dengan terus menggunakan gigi satu.

Sebagai Menkeu, Ani, begitu dia biasa disapa, sibuk mengutak-atik APBN. Dia menerapkan kebijakan austerity alias pengetatan bujet. Caranya, gunting tajamnya melakukan serangkaian pemotongan anggaran, termasuk belanja sosial pemerintah.

Akibatnya, berbagai harga kebutuhan dasar melonjak. Gas LPG, listrik, dan BBM semua naik. Lonjakan komoditas startegis itu segera diikuti meroketnya berbagai harga kebutuhan pokok lainnya. Tentu saja, yang paling terpukul adalah rakyat miskin dan nyaris miskin. Kelompok yang disebut kedua itu pun akhirnya  tergelincir menjadi miskin begitu BBM dan listrik 900 VA naik.  Sedangkan yang sudah miskin, kian dalam tenggelam tingkat kemiskinannya, sebagaimana dirilis BPS beberapa waktu lalu.

 

Masuk gigi empat

Sebetulnya, ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh untuk mengerek pertumbuhan ekonomi agar terbang lebih tinggi dari sekadar 5%. Pemerintah harus mengambil langkah counter cyclical policies. Yaitu, kebijakan fiskal yang pada intinya meningkatkan pengeluaran (ekspansi) dan memotong pajak selama resesi.

Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan Cina biasanya memompa ekonominya dengan kebijakan fiskal dan moneter. Amerika bahkan tidak segan-segan mencetak uang banyak-banyak untuk mengakselrasi ekonomi domestiknya. Masih ingat kebijakan quantitative easing/QE-nya Amerika? The Fed rajin belanja obligasi pemerintah, menurunkan suku bunga, dan meningkatkan pasokan uang. Kabarnya, sejak 2008, sekitar US$4 triliun digelontorkan ke pasar. Hasilnya, mantap. AS berhasil keluar dari krisis pada 2009. Lalu secara bertahap Negeri Paman Sam itu mulai menerapkan tapering policy karena dianggap ekonomi sudah mulai pulih.

Selain itu, diperlukan sejumlah kebijakan yang bersifat terobosan. Di antaranya, lakukan revaluasi aset secara lebih massif. Tahun silam, revaluasi aset telah menggelembungkan aset BUMN lebih dari Rp800 triliun. Pajak yang berhasil ditangguk pun mencapai Rp32 triliun.  Jika dikombinasi dengan sekuritisasi asset, maka bukan mustahil kita bakal meraup dana lagi sekitar US$10 miliar lagi. 

Konsumsi publik terbukti menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang utama. Sampai tahun ini saja, konsumsi berkontribusi hingga 58%. Untuk itu, duet Darmin-Ani seharusnya berusaha memompa konsumsi dengan cara memperbaiki daya beli masyarakat. Caranya, ganti kebijakan kuota impor dengan sistem tarif. Sistem kuota inilah yang telah melahirkan para begal komoditas pangan yang tergabung dalam berbagai kartel. Mereka dengan seenak perutnya melambungkan harga, sehingga rakyat harus membayar lebih mahal daripada semestinya. 

Dari sisi moneter, pemerintah harus memacu kredit. Bank Indonesia (BI) melaporkan, sepanjang semester satu 2017, kredit hanya tumbuh 7%. Ini jelas sangat tidak memadai. Harusnya Pemerintah menggenjot rata-rata nasional minimal jadi 15%, baru ekonomi menggeliat dan bergairah lagi. Tentu saja, perbankan nasional harus tetap prudent. Mengobral kredit secara serampangan sama saja mengundang hantu non-performing loan (NPL) yang amat mengerikan.

Sektor lain yang relatif cepat dalam memacu pertumbuhan adalah pariwisata. Pada saat yang sama, ia mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dan memberi dampak ikutan (multiplier effect) yang dahsyat. Ekonomi di sekitar kawasan wisata akan hidup, tumbuh, dan berkembang.

Jika digarap dengan benar, target mencapai 20 juta wisman dan devisa US$20 miliar sampai 2019 bukanlah ilusi. Investasi di bidang pariwisata juga tidak padat modal.  Inilah yang Rizal Ramli lakukan saat menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya. Dia fokus mengembangkan 10 destinasi utama. Dengan cara ini, anggaran yang memang terbatas bisa lebih efektif dan memberi dampak lebih besar ketimbang disebar ke puluhan destinasi seperti selama ini.

Tidak harus berutang

Membangun infrastruktur juga tidak harus melulu mengandalkan utang. Ada cara kreatif yang bisa ditempuh. Di antaranya menggunakan system Build Operate Transfer (BOT) dan Build Own Operate (BOO).

Buat banyak kalangan, menggunungnya utang luar negeri  sudah sampai tingkat mengkhawatirkan. Guna mengatasinya, pemerintah tidak harus mengalokasikan anggaran supergede di APBN untuk membayar cicilan, bunga, dan pokok utang. Pada 2017 saja, alokasi untuk ini mencapai Rp486 triliun. Rp 221 triliun di antaranya hanya untuk membaya bunga utang.  Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang 'cuma' Rp387 triliun.

Betapa seriusnya Ani dalam menyenangkan kreditor juga tampak dari alokasi Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang pada APBN 2018. Jumlah itu di luar Rp247,6 triliun yang hanya untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!

Sebenarnya ada cara lain untuk mengatasi utang. Di antaranya, dengan mekanisme debt to nature swap. Di Eropa dan negara-negara maju, keasadaran akan lingkungan hidup sudah bagus. Indonesia bisa menegosisasi utang-utangnya untuk ditukar dengan pelestarian hutan yang menjadi paru-paru dunia.

Atau, kalau berani, Pemerintah bisa meniru Presiden Argentina Nestor Kirchner. Saat itu, utang negara hingga US$178 miliar. Rasionya terhadap PDB mencapai 142%. Dia minta penjadwalan kembali pembayaran utang  dan bunga senilai US$84 miliar selama tiga tahun. Sedangkan dana yang selama ini untuk membayar utang digeser ke dalam negeri. Ditambah dengan berbagai kebijakan revolusioner di bidang hukum, perpajakan dan ekonomi kerakyatan, Kirchner mampu menerbangkan ekonomi Argentina rata-rata 9% dalam kurun 2003-2007.

Sayangnya, semua resep persneling dua, tiga, empat, sampai lima itu nyaris dipastikan tidak bakal ditempuh tim ekonomi Jokowi. Mereka penganut mazhab neolib sejati. Padahal, berbagai  resep tadi tidak ditemukan dalam ‘panduan’ berekonomi neolib. Orang-orang ini  sudah teramat lama terjebak pada school of thinking. Apa-apa yang tidak diterima dari sekolahan (Barkeley dan para gengnya), pasti bakal ditolak.

Kesimpulannya, ya sudah, lah. Cukup pakai gigi satu, dengan konsekwensi ekonomi tumbuh di kisaran 5% saja. Mau coba-coba ngebut 100 km/jam dengan gigi satu, tidak mungkin. Kalau dipaksakan, mesin pasti jebol. Konyol! (*)

 

Jakarta, 13 September 2017

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Ikuti tulisan menarik edy mulyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler