x

Patung emas Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu di tengah kota Tel Aviv, Israel, 6 Desember 2016. REUTERS

Iklan

ibnu burdah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Israel dan Masa Depan Suriah

Israel memandang menguatnya Hizbullah di wilayah Suriah bisa menjadi tambahan sumber ancaman berbahaya bagi negeri itu pada masa mendatang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ibnu Burdah

Dosen UIN Sunan Kalijaga

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Israel ingin menjadi salah satu penentu bagi masa depan Suriah. Sejauh ini Israel tampak "diam" dan tak banyak bertindak ketika Suriah mengalami konflik panjang dan mematikan. Namun, jika ada perkembangan di Suriah yang dipandang akan mengganggu kenyamanan dan keamanannya, Israel dengan kekuatan militer yang canggih tak segan-segan melakukan serangan lintas perbatasan.

Itulah yang terjadi pada pekan lalu ketika Pasukan Pertahanan Israel melancarkan serangan cepat lintas negara ke wilayah Suriah Tengah. Menurut sejumlah sumber, tempat itu merupakan pabrik persenjataan pasukan Hizbullah dan Iran yang berada di Suriah.

Adapun perkembangan terakhir di Suriah menunjukkan bahwa Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang didukung Iran dan Hizbullah, berhasil mendesak kekuatan oposisi dan kekuatan teror hampir di semua front di Suriah. Peran Iran dan Hizbullah begitu besar di wilayah Suriah.

Hal terakhir inilah sebenarnya yang tak diinginkan Israel. Negeri itu tak menginginkan masa depan Suriah, yang berbatasan langsung dengannya, "sangat" Iran dan Hizbullah. Sebab, sasaran dua kekuatan itu ke depan adalah Israel. Apalagi akhir-akhir ini hubungan Hamas di Gaza dan Hizbullah semakin menguat saja. Bahkan Israel mencurigai adanya koordinasi intens di antara keduanya dalam mempersiapkan perang melawan Israel. Perang besar Israel belakangan ini selalu melibatkan salah satu dari dua gerakan perlawanan itu, yakni Hamas dari sebelah selatan dan Hizbullah dari sebelah utara.

Israel sebagai target tampak jelas dalam berbagai pernyataan para pemimpin dua gerakan itu. Israel memandang menguatnya Hizbullah di wilayah Suriah bisa menjadi tambahan sumber ancaman berbahaya bagi negeri itu pada masa mendatang. Itulah mengapa kemudian Israel beberapa kali melancarkan serangan pendahuluan terhadap target-target di Suriah tanpa mempedulikan risikonya.

Perang Suriah kemungkinan besar segera berakhir. Kehancuran sudah terjadi di mana-mana. Tragedi kemanusiaan menjadi hasil perang yang melibatkan negara-negara besar di kawasan dan dunia ini. Para kombatan sudah sangat letih dengan perang. Para negara sponsor sudah tak mampu lagi menyuplai senjata dan logistik dalam jumlah besar karena banyak dari mereka terlibat perang di antara mereka sendiri atau perang di tempat lain. Ketika korban sudah sedemikian parah, pihak-pihak itu baru menyadari bahwa mereka tak bisa lagi memaksakan kehendak di lapangan Suriah.

Sikap ini jelas sudah sangat terlambat menilik besarnya korban. Namun lebih baik terlambat daripada mereka tetap terus memaksakan diri menggeber perang yang tak berkesudahan.

Di tengah situasi sekarang, wacana untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara pemerintah dan oposisi Suriah di Astana, ibu kota Kazakstan, pada Januari lalu menguat. Presiden Turki Recep Thayyib Erdogan bahkan berpandangan bahwa perundingan Astana dalam waktu dekat akan menjadi perundingan perdamaian yang mengakhiri konflik melelahkan selama sekitar enam tahun di Suriah.

Harapan ini masuk akal karena Erdogan sendiri adalah aktor yang sangat aktif mendukung oposisi dan sejak awal berkeras menjatuhkan Assad. Namun ia dan sejumlah pemimpin negara Arab sudah menyadari tak mungkin memaksakan kehendak itu. Mereka terkesan menerima fakta bahwa Assad akan bertahan.

Israel juga memandang Assad bukanlah ancaman berarti. Baginya, Assad adalah pemimpin yang tak terlalu kuat. Kepemimpinan Assad, yang dianggap melakukan banyak pelanggaran perang, sulit membawa Suriah menjadi negara yang kuat kembali. Suriah di bawah Assad tidak menjadi ancaman yang berarti bagi Israel. Para pemimpin Israel sudah menyatakan secara implisit kesiapan mereka menerima masa depan Suriah bersama Assad.

Namun Israel benar-benar tak menerima masa depan Suriah berada dalam pengaruh Hizbullah dan Iran. Israel juga merasa sangat terancam dengan banyaknya tempat pengembangan persenjataan, termasuk senjata nonkonvensional yang dikembangkan Suriah. Dalam situasi sekarang, tempat-tempat itu bisa menjadi sarana pengembangan senjata nonkonvensional yang menakutkan, kendati Israel sendiri juga diyakini sudah mengembangkannya sejak 1960-an.

Namun Israel tentu sangat berharap pemimpin Suriah pasca-perang adalah negara yang lebih bersahabat dengan Israel. Sebab, front Suriah adalah front yang paling mengkhawatirkan negeri itu sejauh ini. Suriah adalah negara yang tak menerima perdamaian Israel-Mesir dan perdamaian Israel-Yordania serta Israel-Palestina (baca: PLO/Otoritas Palestina).

Jika ada opsi pemimpin Suriah ke depan yang dipandang lebih bisa bekerja sama dengan Israel, tentu Tel Aviv akan mendukung pemimpin itu. Tapi sejauh ini tak ada pilihan kuat yang tersedia di atas meja selain Assad. Dalam konstelasi di lapangan yang timpang, para pemimpin oposisi sudah sangat sulit untuk menjadi pemimpin Suriah pasca-perang. Israel harus menerima kenyataan bahwa masa depan Suriah tak begitu bersahabat dengannya.

Ikuti tulisan menarik ibnu burdah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu