x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Iran dan Diplomasi Harga Diri

Diplomasi luar negeri adalah kombinasi kelicikan memainkan ritme secara terukur, sentuhan gertakan, daya tahan menanggung resiko. Setelah itu, harga diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika Anda penganut Syiah yang sadar ke-Syiah-annya, Anda layak berbangga dengan gaya diplomasi regional dan global yang dimainkan Iran sejak tahun 2010-an hingga saat ini. Sebaliknya, jika Anda orang Sunni yang sadar tentang ke-Sunni-annya, sejauh ini, tidak ada pilihan kecuali kecewa, dan semua indikasi yang muncul ke permukaan menunjukkan kekecewaan Sunni itu tampaknya belum akan berakhir dalam tempo dekat.

Tapi ini bukan bukan soal Sunni dan Syiah, Bung. Ini tentang diplomasi sebuah negara, yang berusaha mempertahankan harga dirinya sebagai negara dan bangsa.

Pada level global, salah satu sukses terbesar diplomasi Iran adalah kesepakatan nuklir Iran yang diteken di Wina pada 14 Juli 2015 bersama dengan 5+1 (Amerika, Rusia, China, Perancis, Inggris + Jerman).

Kesepakatan ini menjadi signifikan karena dengan perjanjian itu dicapai setelah bertahun-tahun Iran mengalami embargo, dan melalui kesepakatan itu, Iran tetap mempertahankan program nuklirnya (dengan berbagai syarat); Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mendapatkan akses untuk melakukan inspeksi ke fasilitas nuklir Iran, tapi Iran dibebaskan dari berbagai embargo akibat program nuklirnya. Dan seperti biasanya, perjanjian besar seperti ini selalu dilengkapi klausul yang tidak dipublikasikan, yang menguntungkan para pihak.

Ketika Presiden Amerika Donald Trump mengatakan bahwa perjanjian nuklir Iran adalah perjanjian terburuk dalam sejarah diplomasi Amerika dan Donald Trump mengancam akan menganulir perjanjian tersebut, Iran tetap bersikeras dan balik mengancam: kalau Donald Trump menganulir perjanjian itu, maka Iran akan kembali ke program nuklirnya, ke kondisi sebelum perjanjian Wina, hanya dalam tempo lima hari. Dan hasilnya, Donald Trump akhirnya tunduk, sejauh ini. Dan cenderung akan seperti itu.

Pada level regional, Iran saat ini mengontrol hampir penuh kebijakan nasional empat negara Arab: Irak, Yaman, Suriah dan Lebanon.

Di Lebanon, dukungan dan hubungan Iran dengan Hizbullah tak pernah bergeser. Dan seperti diketahui, tidak satupun kebijakan nasional dan regional Lebanon yang dapat dieksekusi tanpa melibatkan Hizbullah, berdasarkan Konstitusi Lebanon.

Di Irak, semua kebijakan Baghdad harus merujuk dulu ke Teheran, bahkan sejak dirumuskan sampai kebijakan itu dieksekusi.

Hal yang sama terjadi di yaman. Iran sepenuhnya mengontrol kebijakan Yaman, melalui Kelompok Al-Houti, yang secara de facto menguasai Yaman sejak 2014.

Di Suriah, Iran adalah salah satu pemain utama untuk menentukan masa depan Suriah. Kemarin, 15 September 2017, melalui pertemuan Astana, Iran bersama Rusia dan Turki sepakat menggelar pasukan (masing-masing 500 personil) di wilayah Idlib, Suriah, sebagai langkah pendahuluan menuju genjatan senjata yang lebih luas.

Pencapaian diplomasi Iran itu akan semakin tampak jika dibandingkan dengan diplomasi regional dan global yang dilakukan oleh Saudi Arabia dan juga Mesir. Sebab Mesir masih disibukkan oleh kemelut dalam negeri yang belum kunjung beres. Sementara Saudi Arabia tampaknya kehilangan orientasi dalam memanfaatkan sumber dayanya yang berlimpah untuk tampil sebagai pemain utama dalam percaturan dan dinamika regional Timur Tengah.

Ketika Saudi Arabia memobilisasi kapital regionalnya untuk memblokade Qatar, Iran seolah sudah menunggunya dan segera merangkul Qatar. Akibatnya, Iran saat ini bermain di tiga negara yang menjadi orbit dan menempel ke perbatasan Saudi Arabia: di timur (Qatar), di timur laut (Irak), dan di selatan (Yaman).

Diplomasi luar negeri pada level regional dan global, bukan semata ditentukan sumber daya, tapi lebih penting adalah kelicikan memainkan ritme secara terukur, sesekali dengan sentuhan gertakan, dan tentu daya tahan menanggung segala risiko akibat sebuah kebijakan. Semua itu dimainkan dengan tujuan utama menjaga harga diri negara dan bangsa. Dan harus diakui, suka tidak suka, sejauh ini, Iran sukses melakukannya.

Syarifuddin Abdullah | 16 September 2017 / 25 Dzul-hijjah 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB