x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepemimpinan dan Kekeliruan Berpikir

Pernahkah kita mengalami bahwa apa yang diputuskan tak sepenuhnya mempertimbangkan semua variabel yang harus diperhatikan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin, MA*

Pernahkah kita mengalami bahwa apa yang diputuskan tak sepenuhnya mempertimbangkan semua variabel yang harus diperhatikan, sehingga menyesal dikemudian waktu? Kita sering mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Bahkan kita acap sangat "pede" dengan keputusan yang diambil. Tetapi, sesaat keputusan itu diambil, kita lalu merasakan ada sesuatu yang ganjil, ada sesuatu yang kurang, ada sesuatu yang belum terkirakan. Kemudian, kita tak lagi bisa mengontrol keputusan kita sendiri.

Prilaku semacam itu, umumnya terjadi karena terdapat bias antara "people judgments and decisions". Penilaian kita terhadap sesuatu seringkali tak menyeluruh. Penilaian kita mungkin hanya dipengaruhi oleh emosi, perasaan, atau motif tertentu, sehingga keputusan kita tak ajeg, tak pas, dan banyak mengandung kelemahan di sana-sini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Persis seperti ketika kita berbelanja di sebuah mal. Kita melihat suatu barang yang ingin dibeli. Kita kemudian membelinya. Tetapi pada saat yang sama kita luput mempertimbangkan "valuesnya”. Kita tak secara menyeluruh memikirkan fungsi-fungsinya, sehingga dengan tidak sengaja kita telah melakukan apa yang dinyatakan oleh Robert H. Frank (2011) sebagai, "The systematic biases judgments and decisions".

Itulah kemudian yang dikenal sebagai "naturality stupidity", kebodohan yang bersifat natural. Prilaku kedunguan yang muncul tak sengaja, natural, dan orisinal berasal dari dalam diri sendiri.

Prilaku semacam di atas, sesungguhnya tak datang begitu saja. Muncul dari kehendak menentukan segala sesuatu berdasarkan pilihan-pilihan rasional. Namun, pilihan-pilihan rasional yang tak dilandaskan kepada platform ketajaman kognitif yang dimiliki oleh seseorang. Orang seringkali mengalami apa yang saya sebut sebagai "systematic cognitive error", dimana orang melakukan sesuatu, berbuat sesuatu tanpa atau bahkan meluputkan pertimbangan baik dan buruk, menghiraukan pertimbangan apakah tindakan itu berfungsi atau tak berfungsi, menurunkan pertimbangan apakah sesuatu itu bermanfaat atau kurang bermanfaat.

Kita tak terlalu hirau lagi dengan apakah suatu tindakan itu menimbulkan sesuatu yang diharapkan atau bahkan tindakan itu justru dapat memunculkan sesuatu yang tak diharapkan. Itu sebabnya, kita acap mendapatkan orang yang menentukan atau mengambil keputusan, kemudian keputusan tersebut dianggap keliru (error), dan dia secara tak ketahuan (diam-diam) merasakan adanya "the guilty of a cognitive error". Pada ujungnya kemudian, orang tersebut menarik lagi keputusan itu. Keputusan yang dianulir untuk menutupi kekeliruan kognisinya.

Keadaan semacam di atas, dalam konteks kepemimpinan, sering terwujud dalam bentuk reaksi-reaksi yang spontan dan tak terukur. Dalam literatur-literatur yang berkenaan dengan "behavioral economics" misalnya, reaksi-reaksi spontan dan tak terukur tersebut dikenal sebagai "Ultimatum game".

Dalam permainan semacam ini, orang suka sekali bereksperimentasi memberikan janji-janji, tetapi kemudian dia menjanjikan hal yang sama kepada orang lain. Jika orang kedua yang dijanjikan menerima janji-janji itu, maka orang yang memberi janji tersebut akan meninggalkan janji-janji pertamanya secara begitu saja.

Persis seperti orang yang sedang bertransaksi: orang pertama menawarkan bahwa nanti 60 % bagian untuk saya, dan 40% bagian untuk kamu, sebagai orang kedua. Sementara itu, orang yang pertama kali dijanjikan diminta kembali untuk mengusulkan "janji baru". Sungguh hal ini merupakan cermin baru perilaku kepemimpinan yang, pada galibnya, hendak mengaplikasikan prediksi "standard rational choice models", tetapi dengan meluputkan pertimbangan akan berlakunya "cognitive errors" pada diri seseorang.

Dalam kerangka itu, saya memperkirakan bahwa praktik pengambilan keputusan yang sarat akan "cognitive errors", merupakan lukisan imajiner dari buruknya kapabilitas seseorang, terutama berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan remedialisasi terhadap kekeliruan/kesalahan rekognisi. Ketika hal itu berlangsung terus-menerus, maka yang akan muncul kemudian adalah bahwa prilaku tersebut menimbulkan sebuah "large social cost".

Orang-orang yang terlibat atau yang ada disekitarnya akan merasakan ketidakpuasan massal. Standar-standar layanan akan tergerus turun, baik dari sudut mutu maupun dari sudut intensitas. Komunitas menjadi terpana, tak berdaya. Ketidakpuasan berkembang cepat merajalela, tanpa sedikitpun dapat dikontrol dengan sikap-sikap terbuka dan egaliter.

Jika hal ini terus berlanjut, yang akan bekerja kemudian adalah, dengan meminjam terminologi Adam Smith, "invisible hand", tangan-tangan terselubung yang saling berinteraksi untuk menentukan apakah seseorang (bisa) menentukan sebuah keputusan atau tidak. Sungguh, tangan-tangan terselubung yang sulit sekali dihentikan. Wallahualam.

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi-Wakil Rektor I UNJ

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler