x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Disiplin Action atau Mengejar Bayangan?

Untuk bisa relevan sepanjang waktu kita mesti berupaya mengawinkan disipilin dan kreativitas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: How to Be Relevant Timelessly  

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

“We must all suffer one of two things: the pain of discipline or the pain of regret,” -- Jim Rohn

 

Dalam salah satu workshop untuk alignment atau penyelarasan visi organisasi antara direksi dan tim sebuah perusahaan kontraktor yang saya fasilitasi, ada dua designer level manajer ikut serta. Dua orang dengan latar belakang pendidikan S1 sebuah sekolah tinggi seni rupa yang tersohor tersebut mempertanyakan, kenapa sebagai tenaga kreatif harus mengikuti disiplin jam kerja perusahaan.

Dari pertanyaan tersebut saya menangkap isyarat, menurut mereka tenaga kreatif dapat “bekerja sesuai mood”, tidak perlu mengikuti disiplin sebagaimana tenaga professional di bidang sales, marketing, keuangan atau produksi. Terkait disiplin jam kantor mungkin sikap mereka dapat diterima. Tapi, disiplin menghasilkan karya design yang dapat memikat banyak orang dan selesai sesuai jadual, tentu tetap harus dijaga.

Perilaku “anti-disiplin” bagi pembuat karya seni sesungguhnya mitos yang sudah sangat kadaluwarsa, yang sampai hari ini ternyata masih menjangkiti mindset para tenaga kreatif, bahkan di lingkungan industri berbasis IT. CEO dan founders perusahaan-perusahaan IT yang jadi klien saya menghadapi para tenaga kreatif yang perilakunya cenderung nyeniman seperti itu.

Tentu saja fakta tersebut menggelikan. Karena perilaku itu sesungguhnya bentuk ekspresi kemalasan akibat gambaran tentang “seniman” yang misleading. Indikasinya, sering jeda di tengah kerja lalu merokok berlama-lama di luar ruangan dengan alasan mencari ide. Atau melakukan tindakan kurang produktif lainnya, yang mengakibatkan kerjaan selesai dengan melanggar tenggat waktu. Anda sering menemui situasi seperti itu?

Bagi kita yang terbiasa menyimak karya-karya unggul dari para seniman hebat di Indonesia atau dunia internasional, di bidang seni rupa atau sastra, atau di bidang design komunikasi, serta karya-karya kreatif di lingkup IT, akan kita dapati kenyataan bahwa semua hasil mereka adalah produk dari disiplin dan kerja keras.

Lihatlah Pablo Picasso (1881 – 1973), salah satu seniman besar yang mempengaruhi pemikiran seni modern dunia. Sampai usia lebih dari 80 tahun masih berkreasi, sehingga total karyanya ada 13.500 lukisan, 100.000 cetak grafis, dan 34.000 ilustrasi, plus sejumlah keramik dan set panggung teater. Sebagaimana Willian Shakespeare untuk kesusastraan dan Sigmund Freud di dunia psikologi, Pablo Picasso bagi dunia seni memiliki impact hebat. Ketiganya termasuk orang-orang yang berhasil menjadi relevant timelessly.

Mana mungkin semua itu dapat dicapai tanpa disiplin berkarya?

Dari Indonesia kita dapat melihat contoh disiplin berkarya pada bagaimana W.S . Rendra memimpin Bengkel Teater. Dalam latihan rutin tiap hari yang dilaksanakan, untuk mempersiapkan pementasan atau latihan non-pementasan, bagi anggota yang terlambat lima menit harus menunggu di luar arena alias tidak bisa ikut latihan. Ditambah ritual disiplin lainnya, termasuk harus selalu membersihkan arena setiap selesai latihan.   

Pengaruh Rendra di dunia teater kontemporer Indonesia sangat signfikan, yang semua itu dibangun melalui disiplin keras dalam menjalankan profesi. Sebagai penyair, Rendra tetap relevan sampai usia 70-an tahun. Ia wafat Agustus 2009.    

Disiplin dan kreativitas ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama untuk mengembangkan diri dan organisasi, agar dapat tetap relevan sampai kapan pun. Dunia seni, sastra, olah raga, dan dunia bisnis memiliki tuntutan sama, yaitu para professional yang disiplin dan kreatif agar excellent, bukan jadi medioker.

Bagi para professional yang tidak memiliki disiplin belajar dan terus mengembangkan diri, meningkatkan kompetensi, umumnya menjadi irrelevant alias sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman. Kalau menggunakan istilah Peter F. Drucker, management and leadership guru, mereka akan seperti dinosaurus, obsolete

Untuk tetap relevan sepanjang waktu kita mesti berupaya mengawinkan disipilin dan kreativitas. Atau bagaimana membangun disiplin diri fokus pada pekerjaaan sesuai fungsi dan kompetensi, dengan koridor waktu yang jelas. Kenyataannya, jika suatu kegiatan dilakukan dengan terstruktur dan persiapan baik, kreativitas sering muncul di tengah prosesnya.

Sementara itu, kreativitas tanpa disiplin eksekusi akan menghamburkan resources (waktu, tenaga, pikiran, dan uang), karena perilaku ini akan menyebabkan seseorang atau tim seperti mengejar bayang-bayang.

Anda, para eksekutif dan leaders, mau terlena selalu mengejar bayang-bayang atau memilih menjadi pemimpin yang lebih efektif, disiplin melakukan eksekusi, take action, untuk menjadi pribadi-pribadi lebih hebat dan relevant timelessly?

Kunci mencapai next stage agar to be relevant timelessly adalah dengan membangun self-mastery, melakukan continuous improvement.

Cara efektif memperbaiki diri secara berkesinambungan, mengasah leadership behavioral kita, adalah dengan melibatkan para stakeholders peers, direct reports, atasan (level CEO biasanya pinjam perspektif coach-nya), plus keluarga. Metode yang sudah lebih dari seperempat abad dikembangkan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) ini terbukti berhasil meningkatkan efektivitas leadership para eksekutif di ribuan organisasi di lebih dari seratus negara di dunia.

Para stakeholders adalah para pihak yang sepatutnya kita dengar feedback dan feedforward mereka. Karena mereka ibarat cermin yang lebih baik atas semua perilaku kepemimpinan kita. Sebagaimana kata Will Linssen, Master Certified Coach di MGSCC, kita umumnya bercermin sehari rata-rata paling 20 menit, sedangkan para stakeholders melihat kita lebih lama dari itu.

Para stakeholders adalah orang-orang yang terkena impact langsung atas semua perilaku kita sebagai pemimpin. Mereka layak dilibatkan untuk perbaikan kepemimpinan kita, meningkatkan harkat organisasi dan tim.

Apapun feedback dan feedforward (masukan menentukan langkah ke depan), berupa pujian atau fakta getir, sepantasnya kita terima dengan baik sebagai gift. Berterima kasihlah kepada mereka, orang-orang yang care pada kita agar menjadi pribadi dan pemimpin lebih efektif dan hebat.  

Tingkat penerimaan Anda sebagai eksekutif atau leaders atas feedback dan feedforward mereka dapat jadi parameter kedalaman Anda menginterpretasikan fakta-fakta kehidupan. Ini akan kelihatan pada actions Anda.

Sebaiknya tidak perlu merasa sudah cukup bijak mampu melakukan self-assessment atas perilaku kepemimpinan diri sendiri. “We are notoriously inaccurate in assessing ourselves,” kata Dr. Marshall Goldsmith.

Berdasarkan survei yang dilakukannya terhadap 80.000 profesional, Marshall menemukan, 70% meyakini masuk top 10% diantara sejawatnya, 82% mengaku masuk kategori top fifth, dan 98,5 % menempatkan diri mereka di top half.  “Saat ada keberhasilan, kita merasa memiliki peran penting untuk mencapainya. Dan kesalahan akan kita timpakan kepada situasi atau orang lain saat gagal,” kata Marshall. “This belief triggers an impaired sense of objectivity.” (Triggers, 2015).

Bagi para eksekutif dan leaders yang mendapatkan amanah memimpin diri sendiri dan tim, yang bisa terdiri dari beberapa orang, puluhan, ratusan, dan ribuan staf, untuk menempuh pendakian meraih prestasi organisasi, tentu sepantasnya bersedia mengembangkan disiplin diri (self-discipline) dengan sungguh-sungguh.  

Benefitnya untuk diri sendiri dan agar dapat dijadikan contoh bagi tim. Mengembangkan disiplin eksekusi agar lebih efektif memang tidak nyaman, tapi lebih baik daripada menyesal di kemudian hari karena telah tidak memafaatkan peluang menumbuhkan potensi diri. Pilihan Anda, mengutip Jim Rohn, adalah, pain of discipline or pain of regret.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Consulting

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)  

 

 Leadership Growth: How to Be Relevant Timelessly  

 

Mohamad Cholid

Practicing Certified Business and Executive Coach

“We must all suffer one of two things: the pain of discipline or the pain of regret,” -- Jim Rohn

 

Dalam salah satu workshop untuk alignment atau penyelarasan visi organisasi antara direksi dan tim sebuah perusahaan kontraktor yang saya fasilitasi, ada dua designer level manajer ikut serta. Dua orang dengan latar belakang pendidikan S1 sebuah sekolah tinggi seni rupa yang tersohor tersebut mempertanyakan, kenapa sebagai tenaga kreatif harus mengikuti disiplin jam kerja perusahaan.

Dari pertanyaan tersebut saya menangkap isyarat, menurut mereka tenaga kreatif dapat “bekerja sesuai mood”, tidak perlu mengikuti disiplin sebagaimana tenaga professional di bidang sales, marketing, keuangan atau produksi. Terkait disipilin jam kantor mungkin sikap mereka dapat diterima. Tapi, disiplin menghasilkan karya design yang dapat memikat banyak orang dan selesai sesuai jadual, tentu tetap harus dijaga.

Perilaku “anti-disiplin” bagi pembuat karya seni sesungguhnya mitos yang sudah sangat kadaluwarsa, yang sampai hari ini ternyata masih menjangkiti mindset para tenaga kreatif, bahkan di lingkungan industri berbasis IT. CEO dan founders perusahaan-perusahaan IT yang jadi klien saya menghadapi para tenaga kreatif yang perilakunya cenderung nyeniman seperti itu.

Tentu saja fakta tersebut menggelikan. Karena perilaku itu sesungguhnya bentuk ekspresi kemalasan akibat gambaran tentang “seniman” yang misleading. Indikasinya, sering jeda di tengah kerja lalu merokok berlama-lama di luar ruangan dengan alasan mencari ide. Atau melakukan tindakan kurang produktif lainnya, yang mengakibatkan kerjaan selesai dengan melanggar tenggat waktu. Anda sering menemui situasi seperti itu?

Bagi kita yang terbiasa menyimak karya-karya unggul dari para seniman hebat di Indonesia atau dunia internasional, di bidang seni rupa atau sastra, atau di bidang design komunikasi, serta karya-karya kreatif di lingkup IT, akan kita dapati kenyataan bahwa semua hasil mereka adalah produk dari disiplin dan kerja keras.

Lihatlah Pablo Picasso (1881 – 1973), salah satu seniman besar yang mempengaruhi pemikiran seni modern dunia. Sampai usia lebih dari 80 tahun masih berkreasi, sehingga total karyanya ada 13.500 lukisan, 100.000 cetak grafis, dan 34.000 ilustrasi, plus sejumlah keramik dan set panggung teater. Sebagaimana Willian Shakespeare untuk kesusastraan dan Sigmund Freud di dunia psikologi, Pablo Picasso bagi dunia seni memiliki impact hebat. Ketiganya termasuk orang-orang yang berhasil menjadi relevant timelessly.

Mana mungkin semua itu dapat dicapai tanpa disiplin berkarya?

Dari Indonesia kita dapat melihat contoh disiplin berkarya pada bagaimana W.S . Rendra memimpin Bengkel Teater. Dalam latihan rutin tiap hari yang dilaksanakan, untuk mempersiapkan pementasan atau latihan non-pementasan, bagi anggota yang terlambat lima menit harus menunggu di luar arena alias tidak bisa ikut latihan. Ditambah ritual disiplin lainnya, termasuk harus selalu membersihkan arena setiap selesai latihan.   

Pengaruh Rendra di dunia teater kontemporer Indonesia sangat signfikan, yang semua itu dibangun melalui disiplin keras dalam menjalankan profesi. Sebagai penyair, Rendra tetap relevan sampai usia 70-an tahun. Ia wafat Agustus 2009.    

Disiplin dan kreativitas ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama untuk mengembangkan diri dan organisasi, agar dapat tetap relevan sampai kapan pun. Dunia seni, sastra, olah raga, dan dunia bisnis memiliki tuntutan sama, yaitu para professional yang disiplin dan kreatif agar excellent, bukan jadi medioker.

Bagi para professional yang tidak memiliki disiplin belajar dan terus mengembangkan diri, meningkatkan kompetensi, umumnya menjadi irrelevant alias sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman. Kalau menggunakan istilah Peter F. Drucker, management and leadership guru, mereka akan seperti dinosaurus, obsolete

Untuk bisa relevan sepanjang waktu kita mesti berupaya mengawinkan disipilin dan kreativitas. Atau bagaimana membangun disiplin diri fokus pada pekerjaaan sesuai fungsi dan kompetensi, dengan koridor waktu yang jelas. Kenyataannya, jika suatu kegiatan dilakukan dengan terstruktur dan persiapan baik, kreativitas sering muncul di tengah prosesnya.

Sementara itu, kreativitas tanpa disiplin eksekusi akan menghamburkan resources (waktu, tenaga, pikiran, dan uang), karena perilaku ini akan menyebabkan seseorang atau tim seperti mengejar bayang-bayang.

Anda, para eksekutif dan leaders, mau terlena selalu mengejar bayang-bayang atau memilih menjadi pemimpin yang lebih efektif, disiplin melakukan eksekusi, take action, untuk menjadi pribadi-pribadi lebih hebat dan relevant timelessly?

Kunci mencapai next stage agar to be relevant timelessly adalah dengan membangun self-mastery, melakukan continuous improvement.

Cara efektif memperbaiki diri secara berkesinambungan, mengasah leadership behavioral kita, adalah dengan melibatkan para stakeholders peers, direct reports, atasan (level CEO biasanya pinjam perspektif coach-nya), plus keluarga. Metode yang sudah lebih dari seperempat abad dikembangkan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) ini terbukti berhasil meningkatkan efektivitas leadership para eksekutif di ribuan organisasi di lebih dari seratus negara di dunia.

Para stakeholders adalah para pihak yang sepatutnya kita dengar feedback dan feedforward mereka. Karena mereka ibarat cermin yang lebih baik atas semua perilaku kepemimpinan kita. Sebagaimana kata Will Linssen, Master Certified Coach di MGSCC, kita umumnya bercermin sehari rata-rata paling 20 menit, sedangkan para stakeholders melihat kita lebih lama dari itu.

Para stakeholders adalah orang-orang yang terkena impact langsung atas semua perilaku kita sebagai pemimpin. Mereka layak dilibatkan untuk perbaikan kepemimpinan kita, meningkatkan harkat organisasi dan tim.

Apapun feedback dan feedforward (masukan menentukan langkah ke depan), berupa pujian atau fakta getir, sepantasnya kita terima dengan baik sebagai gift. Berterima kasihlah kepada mereka, orang-orang yang care pada kita agar menjadi pribadi dan pemimpin lebih efektif dan hebat.  

Tingkat penerimaan Anda sebagai eksekutif atau leaders atas feedback dan feedforward mereka dapat jadi parameter kedalaman Anda menginterpretasikan fakta-fakta kehidupan. Ini akan kelihatan pada actions Anda.

Sebaiknya tidak perlu merasa sudah cukup bijak mampu melakukan self-assessment atas perilaku kepemimpinan diri sendiri. “We are notoriously inaccurate in assessing ourselves,” kata Dr. Marshall Goldsmith.

Berdasarkan survei yang dilakukannya terhadap 80.000 profesional, Marshall menemukan, 70% meyakini masuk top 10% diantara sejawatnya, 82% mengaku masuk kategori top fifth, dan 98,5 % menempatkan diri mereka di top half.  “Saat ada keberhasilan, kita merasa memiliki peran penting untuk mencapainya. Dan kesalahan akan kita timpakan kepada situasi atau orang lain saat gagal,” kata Marshall. “This belief triggers an impaired sense of objectivity.” (Triggers, 2015).

Bagi para eksekutif dan leaders yang mendapatkan amanah memimpin diri sendiri dan tim, yang bisa terdiri dari beberapa orang, puluhan, ratusan, dan ribuan staf, untuk menempuh pendakian meraih prestasi organisasi, tentu sepantasnya bersedia mengembangkan disiplin diri (self-discipline) dengan sungguh-sungguh.  

Benefitnya untuk diri sendiri dan agar dapat dijadikan contoh bagi tim. Mengembangkan disiplin eksekusi agar lebih efektif memang tidak nyaman, tapi lebih baik dari pada menyesal di kemudian hari karena telah tidak memafaatkan peluang menumbuhkan potensi diri. Pilihan Anda, mengutip Jim Rohn, adalah, pain of discipline or pain of regret.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Consulting

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)  

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

42 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB