x

Iklan

Febrian Damian

Generasi Milenial, aktif menulis literasi media
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kritik Demonstrasi Maha(siswa) dan Demokrasi

Demonstasi yang baik harus mengenal ruh demokrasi yang baik pula. Dalam konteks ini, TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 melarang ideologi di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demonstrasi dalam rangka menolak setiap kebijakan pemerintah atau yang disebut pemerintah bayangan. Dan demontrasi hanya bentuk intervensi saja dan jadi pendemo 'bayangan' atau ' dibayar'. Ini juga bisa diperbenarkan dan bisa juga sebagai pemacu, bawasannya segala sesuatu untuk kepentingan dan kebaikan bersama tidak sekedar diukur dengan uang atau sejenisnya.

Demonstrasi dilakukan oleh Mahasiswa maupun Aliansi Pemuda Anti Komunis dalam rangka memperjuangkan aspirasinya untuk menolak apa pun yang terkesan tidak pro rakyat dan mengganggu ideologi bangsa Indonesia patut dikritisi dalam konteks tertentu. Demonstrasi yang dilakukan baik dengan cara yang damai dan memahami ruh demokrasi sebagai corongnya. Dan diusahakan demonstrasi yang damai dan menggunakan bahasa santun berbicara. Itu esensi dari demokrasi.

Ada teman seangkatan saya, masih Mahasiswa dan Aliansi Pemuda Anti Komunis berdemo mendesak aparat agar membubarkan segala bentuk kegiatan yang berbau komunis di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), di Jakarta, Minggu kemarin. Kurang lebih, teman-teman Mahasiswa dalam melihat ini acara Simposium 1965 dan Festival Belok Kiri yang dilaksanakan oleh kelompok pro komunis di Jakarta kini mereka kembali melaksanakan Seminar Pembela PKI dengan tema" pengungkapan kebenaran sejarah 1965" pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 16-17 September 2017. Dan ini bisa mengganggu ideologi bangsa. Saya rasa jelas, TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 masih berlaku, di situ tercantum soal pembubaran PKI dan melarang komunisme, larangan terhadap penyebaran ajaran-ajaran komunisme, Leninisme, dan Marxisme.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak ada yang salah karena demonstrasi merupakan suatu cara untuk menyuarakan aspirasi yang dijamin dalam UU sebagai kebebasan berpendapat. Demonstrasi juga dapat dikatakan sebagai salah satu proses menjalankan fungsi mahasiswa yaitu agent of social control. Sudah menjadi budaya yang tidak asing lagi di kalangan Mahasiswa bahwa lembaga terutama eksekutif kemahasiswaan dituntut secara moril untuk melakukan demonstrasi.

Demonstrasi bukan merupakan sesuatu yang tabu lagi di Indonesia. Sejak bergulirnya reformasi, semangat membara para Mahasiswa yang diikuti dengan kebebasan berpendapat menjadi pilar maraknya demonstrasi di Indonesia. Demonstrasi mampu menjadi upaya intervensi dalam pengambilan kebijakan pemerintah di era reformasi ini. Para demonstran inilah yang kemudian dikenal sebagai ekstraparlemen.

Inilah bukti yang menunjukkan bahwa Mahasiswa dan masyarakat sudah kurang percaya dengan pemerintah, DPR, aparat penegak hukum di republik ini dan mungkin suatu organisasi tertentu. Karena rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi dalam menjalankan roda pemerintahan. Rakyat mulai bosan dengan anggota DPR yang tidak lagi mampu memperjuangkan aspirasi rakyat dan hanya mampu memberi contoh tidak baik kepada masyarakat seperti tidur saat sidang, tidak menghadiri  sidang dan bahkan melakukan korupsi. Dan masih banyak lagi kekacauaan elite bangsa ini, untuk mengacau situasi bangsa.

Hal itulah yang kemudian menyebabkan Mahasiswa dan masyarakat tidak terwakili dengan adanya anggota DPR tersebut sehingga munculah istilah parlemen jalanan sebagai bentuk ketidakpuasan dari para anggota parlemen. Ini yang harus dipikirkan oleh para akademisi di bidang politik Indonesia tentang bagaimana sistem politik yang cocok diberlakukan di Indonesia, walaupun fenomena ini juga terjadi di negara-negara maju sekalipun.

Lalu yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah, mengapa harus ada demonstrasi anarkis? Saya rasa setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi jawaban pertanyaan tersebut. Pertama bahwa mungkin Mahasiswa Indonesia yang kebanyakan memang suka berbuat anarkis. Statement ini bisa saja benar, karena jika kita lihat proses pendidikan di perguruan tinggi yang masih banyak doktrin-doktrin sesat, terutama dari senior pada saat masa orientasi Mahasiswa.

Budaya-budaya dan doktrin-doktrin anarkisme yang berkembang di lingkungan akademik memang sudah menjadi masalah klasik yang sampai sekarang masih butuh pemecahan. Kedua adalah peran media massa dalam menyampaikan berita tentang aspirasi yang dikemukakan oleh Mahasiswa yang tidak berimbang. Jika demonstrasi mahasiswa dilakukan secara damai, maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada berita tentang demonstrasi tersebut.

Lain halnya jika demonstrasi dilakukan dengan cara-cara anarkis, memacetkan jalan, merusak fasilitas umum, dan mengganggu ketertiban umum. Jika hal tersebut terjadi maka dapat dipastikan demonstrasi tersebut akan diberitakan disertai dengan aspirasi apa yang ingin disampaikan dari demo tersebut, meskipun demo tersebut dilakukan di tempat yang tidak pernah tersentuh liputan media sekalipun.

Ketiga adalah jika tidak melakukan kakacauan dan keributan, maka pemerintah tidak akan ambil pusing menanggapi aspirasi tersebut. Bayangkan jika demo hanya dilakukan dengan berteriak di jalan, maka teriakan itu hanya akan menjadi angin sepoi-sepoi yang akan mentul ketika sampai di telinga pemerintah atau Lembaga tertentu sebagai sasaran demonstrasi. Namun jika terjadi kekacauan, maka sudah pasti pemerintah terpaksa akan pusing memikirkan solusi agar kekacauan tidak terjadi. Oleh karenanya pemerintah menyambut aspirasi tersebut karena terpaksa agar situasi negara tetap aman dan stabil. Ini pula yang kemudian menyebabkan demo anarkis lebih efektif untuk mengintervensi keputusan dibandingkan berharap pada parlemen atau melakukan demonstrasi damai. Alhasil, diperlukan solusi terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan tersebut.

Para pakar politik dan tata negara kini harus mulai berpikir bagaimana agar aspirasi masyarakat dapat tersalurkan melalui suatu wadah tanpa harus ada lagi ekstraparlemen dan meskipin ada juga pengamat dadakan sekarang ini dengan berlabelkan ilmunya Doktor atau Profesor dan berbagai mahkota yang melekat didalamnya. Pengamat dadakan ini, masih banyak di Indonesia, di mana media beskala nasional masih memakai mereka tampil di layar kaca, atau memenuhi wajah mereka di Surat Kabar atau meanstream .

Ini dianggap perlu karena terjadi fenomena ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah atau DPR atau juga suatu Lembaga tertentu yang mengganggu ideologi bangsa. Selain itu dibutuhkan suatu pemerintah yang senantiasa memikirkan kepentingan rakyat dan mampu melakukan upaya-upaya dalam rangka menampung aspirasi rakyat dan dapat saling bertukar pendapat agar dapat terwujud negara demokrasi yang tidak kebablasan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Febrian Damian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler