x

Iklan

Reza Indragiri Amriel

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengasuh Bayi di Bui

Studi menyimpulkan, narapidana perempuan yang diberi kesempatan mengasuh anak mereka di dalam penjara ternyata memiliki tingkat residivisme lebih rendah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Reza Indragiri Amriel

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia

Di balik kasus penipuan terhadap ribuan calon anggota jemaah umrah oleh sebuah biro perjalanan, ada kisah yang mengiris hati. Salah seorang tersangka ternyata mempunyai jabang bayi yang baru berumur sekitar 2 bulan. Dan, karena si tersangka ditahan di dalam sel, maka mustahil ia dapat meneteki darah dagingnya itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Andai kelak si tersangka divonis bersalah, adakah jalan agar selama dua tahun pertama kehidupannya si bayi tetap dapat memperoleh air susu ibunya?

Sekelebatan pikir, anak harus dipisah dari emak mereka demi kebaikan anak itu sendiri, begitu klaimnya. Undang-Undang Perlindungan Anak memang memungkinkan dilakukannya pemisahan anak dari orang tua. Namun memutus pemberian air susu ibu dari narapidana perempuan ke darah dagingnya jelas bertolak belakang dengan kepentingan anak yang sifatnya sangat fundamental. Berbagai kajian lain juga membangun ikhtisar serupa: dua tahun pertama dalam kehidupan anak merupakan fase penting bagi terciptanya ikatan emak-anak sebagai dasar pembentukan kepribadian dan perilaku anak pada usia selanjutnya.

Studi menyimpulkan, narapidana perempuan yang diberi kesempatan mengasuh anak mereka di dalam penjara ternyata memiliki tingkat residivisme lebih rendah ketimbang narapidana perempuan secara umum. Penjelasan atas temuan tersebut adalah narapidana perempuan yang mengasuh sendiri anaknya justru berkesempatan belajar secara intens arti penting empati, kasih sayang, rutinitas kepedulian, dan sifat-sifat insani positif lainnya. Vakumnya tabiat semacam itu dulunya mengantar mereka ke kursi pesakitan. Namun, kemudian, lewat aktivitas mengasuh anak selama di penjara, terbentuk perangai baik sebagai modal psikologis yang sangat konstruktif dalam proses adaptasi si terhukum setelah berakhirnya masa hukuman. Kepribadian yang lebih positif tersebut pada gilirannya menangkal si mantan narapidana perempuan mengulangi kelakuan jahatnya.

Narapidana yang memutuskan untuk merawat sendiri anaknya harus memenuhi sejumlah kriteria ketat. Di penjara Auckland, Selandia Baru, misalnya, terpidana itu masuk ke dalam penjara dalam keadaan hamil atau sudah mempunyai anak berumur kurang dari 2 tahun. Narapidana itu juga harus telah menjalani peran sebagai pengasuh anaknya sebelum ia mulai menjadi penghuni sel serta akan melanjutkan peran itu setelah masa hukuman selesai. Ihwal jenis kejahatan, narapidana tersebut tidak memiliki riwayat melakukan kejahatan yang disertai dengan kekerasan maupun kejahatan terhadap anak.

Si pesakitan perempuan juga diwajibkan menjalani pemeriksaan mental dan narkoba secara berkala. Dia juga menandatangani perjanjian bahwa dia sendiri yang akan melaksanakan seluruh kegiatan pengasuhan anak secara penuh waktu. Tentu, semua itu dilakukan si narapidana di bawah pengawasan petugas.

Di Jerman, narapidana dapat mengunjungi anak mereka pada pagi hari, lalu kembali ke balik jeruji besi pada jam yang telah ditentukan. Selama berada di luar penjara, narapidana sekaligus emak tersebut dapat melepas anak mereka ke sekolah serta mengerjakan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Sebagaimana fasilitas bilik asmara yang sesungguhnya diadakan untuk mempersiapkan narapidana beberapa waktu sebelum menyelesaikan masa hukumannya, praktik semacam di Jerman itu juga dapat diselenggarakan sebagai bentuk program resosialisasi bertahap si narapidana.

Pelajaran penting dari penelitian-penelitian yang dikutip di atas adalah mengasuh anak di dalam penjara ataupun menjalani status terpidana sembari tetap merawat bayi ternyata memberikan efek rehabilitasi bagi narapidana perempuan. Apa pun argumentasinya, penjara pada dasarnya bukan tempat yang ideal untuk membesarkan anak. Tapi, mari realistis. Memberikan kesempatan kepada terpidana perempuan untuk merawat anak mereka di dalam penjara tidak hanya merupakan jawaban tepat atas ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak. Lebih konkretnya, kesempatan sedemikian rupa berpotensi menghasilkan manfaat positif bagi terpidana perempuan dan anak yang ia lahirkan. Ia sekaligus akan membawa warna baru atau bahkan menjadi katalisator bagi perubahan budaya penjara yang kadung diidentikkan sebagai lingkungan brutal.

Ikuti tulisan menarik Reza Indragiri Amriel lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler