x

Iklan

Zdavir Andi Muhammad

Penulis merupakan alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Hasanuddin angkatan tahun 2012 dan kini tengah mengampuh Studi S2 untuk jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan di Sekolah Pasca Sarjana Unhas
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bangkrutnya Pasar Retail dan Restrukturisasinya

Tulisan ini melihat fenomena serta sebab-akibat runtuhnya pasar retail (termasuk Matahari) akibat kalah bersaing dengan pasar online

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Walaupun beberapa waktu yang lalu salah satu gerai pasar retail ternama, Matahari Department Storre, menolak disebut kalah bersaing dan alih-alih memperlihatkan keuntungan labanya yang meningkat, bulan ini harus menutup dua gerainya dikarenakan sepinya pembeli. Mengikuti langkah Ramayana yang menggulung delapan retailnya bulan lalu, Matahari berusaha merestrukturasi dan merekonsiliasi aset investasi agar dapat terus bersaing.

Anehnya, anomali ini terjadi di saat pertumbuhan ekonomi mulai menggeliat. Ketika perekonomian internasional telah membaik—sebut saja Eropa dan Asia Tenggara—ia dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara-negara dengan meningkatkan daya beli, daya beli menurun. Aprindo mencatat, ritel hanya tumbuh 3,8 persen, jauh di bawah pertumbuhan pada semester pertama tahun lalu yang mencapai 10,25 persen. Jika memang daya belanja serta pasokan uang berada dalam jumlah yang sama, seharusnya Ramayana dan Matahari tidak perlu menutup gerainya. Pertanyaannya, apa yang terjadi?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bangkrutnya Pasar Retail Amerika

Indonesia tidak sendiri. Terjadinya penurunan daya beli masyarakat sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia. Ia juga terjadi di Amerika. Diajukannya berkas yang menyatakan diri sebagai bangkrut, Toys R Us, sebuah perusahaan mainan anak-anak ternama, menjadi sebuah anomali tersendiri ketika perusahaan tersebut bangkrut di tengah menjelangnya musim liburan, dimana penjualan Toys R Us, sejatinya dapat mendulang keuntungan yang besar. 

Toys R Us pun juga tidak sendiri. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pasca krisis tidak sedikit turut menyeret perusahaan retail. Walaupun pertumbuhan mulai membaik, catatan menunjukkan untuk dua tahun belakangan, perusahaan-perusahaan retail ternama Amerika seperti American Apparel, Quiksilver, Wet Seal, Nasty Gal, Pacific Sunwear, Gymboree serta juga menyatakan diri bangkrut.

Yang disebut terakhir bahkan harus mengonsolidasikan ratusan perusahaannya dengan cara menutup beberapa toko yang memiliki laba paling kecil guna menggenjot penerimaan dalam rangka meningkatkan laba. Terhitung, 375 toko akan segera ditutup. Walau terus merugi, perusahaan ini terus mencoba bertahan di tengah geliat lesunya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Sedangkan kebangkrutan Toys R Us sendiri mengancam ditutupnya 1,600 toko dan dirumahkannya 64,000 pegawai.

Gencarnya kelesuan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tak berhenti sampai di sini. Belakangan, salah satu toko retail ternama, True Religion, mengikuti jejak toko ritail lain yang gulung tikar sebelumnya. Data menunjukkan bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan besar ke-23 yang menyatakan bangkrut pada tahun ini. 

 

 

Kalah Bersaing? Gulung Tikar!

Apakah kekalahan para perusahaan ini merupakan akibat kegagalan dalam berinovasi dan bersaing? Tidak sesimpel itu dalam menjawab bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar ini yang tampak seperti domino. Beberapa hukum ekonomi mungkin bisa menjelaskan fenomena ini.

Jawabannya mungkin terlihat sederhana, namun patut kita pahami bagaimana mekanisme ini berjalan. Ketika investasi menjadi terdiversifikasi (semakin beraneka ragam) dan suplai uang tetap dalam masyarakat, perekonomian dapat terlihat stabil dan baik. Namun, akibat persaingan harga serta pergeseran selera menciptakan perpindahan belanja dari tempat satu ke tempat yang lain. Uang di masyarakat berada dalam jumlah tetap, namun tempat belanja yang lama yang kini kehilangan konsumennya akan tergerus dan kehilangan pendapatan. Sedangkan tempat yang baru mendapati perputaran uang yang hebat. Kita sebut saja tempat baru ini sebagai Amazon. Di Indonesia, kita sebut saja tempat ini sebagai Lazada, OLX, shopee. Di Asia kita menyebutnya sebagai Alibaba.

Menangnya persaingan ini oleh para kapitalis online akibat beberapa hal: tidak perlu mengeluarkan biaya sewa gedung; tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk memekerjakan banyak pekerja; bahkan terkadang, perusahaan seperti OLX dan Lazada tidak perlu membeli barang yang dijualnya secara langsung—mengingat mereka hanya sebagai penyedia jasa “iklan”! Seluruh hal yang kita sebut tadi dapat memangkas biaya-biaya yang kebanyakan pada struktur biayanya banyak terdapat pada perusahaan-perusahaan retail offline. 

Akibat struktur biaya yang berbeda ini, perusahaan retail offline memiliki biaya yang lebih besar, akibatnya memerlukan harga yang lebih besar dan mahal. Sedangkan perusahaan online dapat memangkas biayanya. Bahkan untuk perusahaan yang menyuplai persediaannya ke perusahaan online tidak sedikit yang tidak memerlukan toko offline dan tidak memerlukan biaya yang besar. Pada titik ini, perusahaan offline harus menelan pil pahit.

 

Yang Sepi dan Gulung Tikar serta Inovasi

Sepinya pengunjung beberapa mall di Kota Jakarta membuat pendapatan beberapa toko dan kios ikut menurun. Tercatat pada kuartal yang sama, pertumbuhan penjualan tahun ini menunjukkan angka 4,6%, dibanding tahun lalu sebesar 9,6%. Bahkan Mall Blok M yang terkenal pun mulai ditinggali pengunjung.

Hal ini dibenarkan oleh Kamar Dagang dan Industri. Bahkan, Kadin menilai penyebab menurunnya penjualan ditengarai oleh beralihnya konsumen dari belanja offline ke belanja online. Sejatinya, sepinya pengunjung tidak terjadi di mall-mall saja. Di Jakarta, gedung-gedung perkantoran dilaporkan minim tingkat penyewaan.

Seirama dengan menurunnya tingkat penjualan di mall serta tingkat okupansi gedung perkantoran, sejatinya tidak hanya akibat hadirnya mall online—yang bagi gedung perkantoran dapat berdampak negatif akibat perusahaan besar tidak perlu lagi menggunakan kantor. Namun juga hal tersebut dapat daiakibatkan oleh menjamurnya gedung-gedung serta mall-mall offline baru. 

Hal ini mendorong turunnya harga sewa akibat persaingan. Di Makassar, lahirnya mall memang tidak serta-merta membuat orang beralih dari tempat belanja lama ke tempat belanja baru. Bahkan, beberapa mall yang tumbuh belum mampu dapat bersaing dengan mall lama. Hal ini akibat mall lama mampu berinovasi lebih baik dibanding mall pendatang.

Dalam dunia kapital dan liberal, persaingan melahirkan kompetisi. Sehingga yang gagal berkompetisi akan gugur. Dinamika dalam persaingan yang membuat para kompetitor tetap hidup hanyalah inovasi, kebaruan. Impulsnya, yang tidak memiliki ide baru maupun inovasi terancam gulung tikar. Nokia, Motorola (walau dua perusahaan ternama pertama belakangan mencoba untuk bangkit), Kodak, Merpati Airlines, dan berbagai perusahaan lainnya terbukti runtuh akibat tidak mampu berinovasi, gagal dalam berkompetisi. Walhasil, produk perusahaan mereka tidak laku terbeli dan perusahaannya harus gulung tikar. Dalam ekonomi, Schumpeter menyebutnya sebagai destruksi kreatif.

 

Kompetisi yang Mubazir serta Sebuah Tawaran

Kompetisi ini, bagi Omerod, merupakan kemubaziran ekonomi. Sehingga, semustinya dihindari. Kemubaziran terdapat menjamurnya jumlah mall dan gedung perkantoran yang menurunkan tingkat harga-harga. Ketika tingkat harga turun, yang kalah bersaing akan bangkrut dan gulung tikar. Yang bertahan akan mendapati pendapatannya melonjak dan meningkatkan kesenjangan. Di satu sisi, akan lahir kompetitor baru yang siap bersaing. Kompetisi dan kebangkrutan ini bersifat inheren dalam kapitalisme. Kebangkrutan menciptakan kemubaziran dalam alokasi pendanaan. Sedangkan kemubaziran sendiri menciptakan efisiensi yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak pareto efisien; terjadi kemubaziran pendanaan yang membuat alokasi suplai dana tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Membatasi sembari mengawasi pertumbuhan ekonomi kota salah satu langkah yang patut dipertimbangkan. Ketika ekonomi kota mulai bertumbuh, pertambahan mall sebaiknya dapat menjadi alternatif. Di satu sisi, para pemilik mall sebaiknya mulai membuka saham agar para investor dapat masuk, ketika investor masuk, mereka dapat berdiskusi dan menyewa manajemen profesional guna menggenjot laba.

Perusahaan online di satu sisi perlu dipertimbangkan untuk dikenai pajak. Pajak yang dikenakan bukan dalam rangka menekan persaingan dan memberikan tekanan tersendiri bagi perusahaan online. Patut kita ketahui perusahaan online memiliki biaya yang rendah sehingga mampu menekan harganya. Di satu sisi, ia sangat minim menyerap tenaga kerja. Pengenaan pajak ini dialokasikan pada sektor infrastruktur serta pembukaan tenaga kerja di sektor lain.

Demikian pula pada gedung-gedung perkantoran. Tiap-tiap kota sudah semustinya memerhitungkan aspek pembangunan dan perkembangan wilayah kota dalam jangka panjang ke depannya. Sehingga, pembangunan gedung musti dilakukan dalam berhati-hati. Ketika para investor hendak menanamkan sahamnya pada gedung-gedung, skala ekonomi perkotaan dan tingkat rasio gedung musti diperhitungkan, ketika jumlah gedung lebih banyak, ada kemungkinan tingkat okupansi akan menurun jika kalah bersaing. Dan pada akhirnya akan terjadi kemubaziran. Gedung yang musti dibangun yang kemudian patut dijual saham-sahamnya agar dapat dimiliki publik. Masyarakat publik ini kemudian menyewa manajemen profesional agar mampu meningkatkan tingkat okupansi perkantoran. Demikian pula hotel dan sebagainya.

Persaingan tidak hanya harus diartikan bagaimana satu perusahaan mampu mengalahkan perusahaan dalam persaingan. Demi menggenjot efisiensi penggunaan sumber dana, suatu restrukturisasi pasar mutlak dipertimbangkan. Dan melalui inovasi persaingan dapat menjadi lebih “murah” dibanding “membakar” uang atas persaingan yang tidak diperlukan!

 

Ikuti tulisan menarik Zdavir Andi Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler