x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Serangan Bergelombang KPK

Sejak kelahiran KPK, sudah beberapa kali serangan yang diindikasi akan melemahkan kewenangan KPK, tetapi serangan itu bisa diantisipasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Serangan Bergelombang KPK

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Univeritas Bosowa, Makassar

       Lagi-lagi saya ingin urai bagaimana serangan bergelombang terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini dipercaya rakyat sebagai salah satu institusi pemberantas korupsi terpercaya selain kepolisian dan kejaksaan. Serangan yang datang bergelombang tak ubahnya saat kesebelasan Indonesia berhadapan dengan kesebelasan Vietnam pada Sea Games, yang oleh reporter-TV yang menyiarkan langsung menyebutnya “serangan bertubi-tubi”.

       Serangan bergelombang atau bertubi-tubi terhadap kewenangan dan eksistensi KPK cukup variatif polanya. Setidaknya ada lima bentuk serangan yang pernah diterima KPK yang mendapat perhatian publik. Pertama menggunakan uji materi (judicial review) ketentuan UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya agar kewenangan besar KPK yang diatur dalam UU KPK yang menjadi momok bagi koruptor, dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Serangan ini tidak berhasil karena lebih banyak ditolak MK, kecuali pengaturan UU Pengadilan Tipikor.

       Kedua, serangan melalui proses legislasi dengan mengajukan rancangan untuk merevisi UU KPK terhadap pasal-pasal kewenangan besar KPK. Alasannya untuk menguatkan KPK tetapi realitas berkata lain karena justru ingin melemahkan dengan berlindung di balik perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan proses peradilan yang jujur. Terutama ingin menghilangkan “penyadapan dan merekam pembicaraan dalam Pasal 12 huruf-a UU Nomor 30/2002 tentang KPK, padahal MK melalui putusannya menegaskan kewenangan penyadapan konstitusional meski dengan catatan perbaikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Upaya revisi UU KPK yang ingin membonsai kewenangan KPK selalu diketahui publik sehingga memicu kesatuan paham untuk melindungi KPK. Malah Presiden Jokowi menolak membahas revisi UU KPK, dan meminta agar rencana revisi UU KPK dihentikan. Kendati begitu, publik dan aktivis antikorupsi harus tetap mewaspadai dari beragam akal segelintir orang untuk mengerdilkan kewenangan atau bahkan ingin membubarkan KPK.

Hak Angket

       Ketiga, menjadikan beberapa pimpinan dan pegawai KPK sebagai tersangka tindak pidana umum. Itu dapat dilihat ketika Bibit Slamet Rianto, Chandra Hamzah, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto dijadikan tersangka lantaran diungkap masa lalunya. Bukan hanya itu, penyidik senior KPK, Novel Baswedan juga ditetapkan tersangka dugaan penganiayaan saat masih aktif di kepolisian. 

     Keempat, serangan fisik kepada penyidik Novel Baswedan dengan cara disiram air keras di wajahnya (kedua mata) usai melaksanakan sholat subuh oleh dua orang lelaki (11/4/2017). Sampai saat ini, pelaku penyiraman air keras yang menyebabkan kedua mata Novel tudak berfungsi dengan baik belum ditemukan. Kuat dugaan penyerangan itu terkait dengan kasus korupsi besar yang sedang ditangani. Jika dugaan itu benar, berarti serangan ke KPK tak bisa disikapi secara biasa oleh negara (pemerintah). Kita dukung penyidik kepolisian untuk mengungkap siapa pelaku penyerangan itu.

       Kelima, menggunakan kewenangan konstitusional dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945, bahwa DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. DPR telah membentuk Panitia khusus (Pansus) hak angket terhapat KPK dengan alasan ingin menyelidiki pelaksanaan kewenangan KPK yang diduga ada penyimpangan. Tentu ini hak DPR karena diatur dalam UUD 1945 dan UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD meski mendapat kritikan dan penolakan oleh para pengamat hukum.   

       Wajar saja bila pembentukan pansus hak angket dimintakan uji materi kepada MK oleh Pegawai KPK dan beberapa organisasi kemasyarakatan. Dalam permohonan itu juga  meminta agar MK mengeluarkan putusan sela (provisi) agar pansus hak angket DPR dihentikan sempai keluar putusan MK, tetapi ditolak MK sehingga pemeriksaan perkara dilanjutkan. Apalagi masakerja pansus sampai 28 September 2017 yang dikhawatirkan tidak seiring dengan putusan MK. Jika MK mengabulkan permohonan itu berarti pansus hak angket tidak sah sehingga semua hasil kerjanya tidak konstitusional. Sebaliknya, jika ditolak maka yang dinantikan adalah bagaimana model “rekomendasi pansus”.   

       Beragamnya serangan itu seharusnya membuat Pimpinan dan Pegawai KPK satu sikap, terutama dalam mereaksi hak angket DPR yang terus membuka borok pelaksanaan kewenangan KPK. Temuan itu bisa menurunkan tingkat kepercayaan rakyat, meskipun ada sebagian diklarifikasi pimpinan KPK saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR beberapa waktu lalu. RDP didesain seperti Rapat Pansus sehingga beberapa temuan pansus sempat diklarifikasi KPK merkipun tidak tuntas.

Arah Rekomendasi

       Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang ditetapkan dalam Penjelasan Umum alinea kedua UU KPK. Bahkan diperkuat dengan keputusan Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013, bahwa korupsi itu kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Begitu pula, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime), dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

       Itulah ideologi pemberantasan korupsi yang tentu saja berseberangan dengan ideologi koruptor yang ingin menggerus dana pembangunan sejak pembahasan Rancangan UU APBN sampai pada pelaksanaannya. Salah satunya tergambar pada rencana proyek E-KTP yang diduga diperdagangkan sejak rencana pembahasan Rancangan UU APBN di DPR.

       Ideologi koruptor pada hakikatnya “ingin mengeruk uang negara” bahkan membangkrutkan negara, agar kelak menghamba pada negara-negara pemberi utang. Ini tidak boleh dibiarkan menggurita tanpa ada aksi konkret dan progresif dari pemerintah. Penyidik KPK yang begitu berani menangani kasus korupsi kelas kakap yang diduga melibatkan petinggi politik dan kekuasaan, harus mendapat jaminan perlindungan dari negara. Pimpinan dan penyidik KPK tak boleh dibiarkan secara sendiri menyabung nyawa menghadapi kelihaian dan kekejian koruptor dan jejaringnya.

       Antisipasi serangan bergelombang itu dengan cara semua komponen masyarakat, aktivis antikorupsi, pengamat dan mahasiswa antikorupsi, termasuk pers merapatkan barisan menghadapi kemungkinan dampak terburuk, yaitu rekomendasi pansus hak angket membubarkan KPK atau merevisi UU KPK. Apalagi ada anggota pansus yang meminta agar KPK dibekukan. Maka itu, rakyat tak boleh terkecoh pada beragam serangan karena kita pada hakikatnya KPK dibutuhkan di tengah korupsi semain menggurita. Tetapi yang amat urgen dan krusial yang perlu diwaspadai adalah ke mana arah rekomendasi pansus hak angket DPR. (*)

Makassar, 21 September 2017

 

 

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler