x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepemimpinan Tanpa Visi

Salah satu aspek penting dari model revolusi ilmu pengetahuan dari Thomas S. Kuhn (1996)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin, MA*

Salah satu aspek penting dari model revolusi ilmu pengetahuan dari Thomas S. Kuhn (1996), menyatakan bahwa suatu paradigma akan berubah jika terjadi sejumlah besar anomali-anomali. Sesuatu mengalami anomali, apabila sesuatu itu tak lagi dapat dijelaskan oleh apa yang sedang terjadi.

Anomali adalah sesuatu yang sering kita katakan sebagai tak dapat lagi diuraikan oleh paradigma yang berlaku sekarang. Fakta-fakta yang ada di dalam kehidupan (kehidupan bersama dan organisasi) mengalami inkonsistensi dengan standar-standar yang sedang berlaku. Semua yang berlaku mengalami keausan, penuaan. Perubahan paradigma akan terjadi apabila terjadi "substantial break", yang kemudian memberi jalan ke arah sesuatu yang baru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demikian pula dalam praktik kehidupan, baik di dalam relasi antar manusia, maupun dalam organisasi, suatu cara berpikir akan diuji dengan cara berpikir yang lain. Suatu praktik organisasi akan difalsifikasi dengan praktik organisasi yang lainnya. Satu dengan yang lain saling menguji. Mengecek paradigmanya masing-masing. Mempertahankan paradigma yang satu dengan mencoba memberi argumen dengan paradigma yang berbeda dan sebaliknya.

Apa yang berlaku akan selalu diuji. Hasilnya mungkin akan muncul cara berpikir baru, atau kita tetap menggunakan cara berpikir lama. Cara berpikir lama yang kerap mengalami keusangan.

Mari kita perhatikan bersama, banyak orang yang awalnya mengalami kemajuan, menduduki posisi yang tinggi, kemudian tiba-tiba jatuh. Banyak orang yang mencapai ketinggian luar biasa, dan kemudian terjatuh akibat ketinggiannya itu. Pencapaian posisi ketinggiannya itu umumnya dipertaruhkan oleh munculnya "the success syndrome".

"The success syndrome" secara teoritis dapat mendorong seseorang mencapai puncak, tetapi pada saat bersamaan ia akan menyeret orang sampai ke dalam bencana. Banyak orang yang menggunakan paradigma kesuksesan untuk mempertahankan posisi puncak. Padahal kita tahu bahwa setiap paradigma akan senantiasa mengalami ujian. Bisa saja Paradigma yang dipegang oleh seseorang, kemudian dikoreksi, sehingga digantikan oleh paradigma baru yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman.

"Success syndrome", kata Steven Berglas (2011) bisa berakibat fatal dan kejatuhan. Orang yang mencapai puncak ketinggian, tetapi tidak disertai oleh pemilikan karakter yang kuat, maka akan cenderung menimbulkan bencana bagi kehidupan bersama. Apa yang dipikirkan orang itu hanyalah pencapaian akan puncak-puncak sendiri, yang kerap tak lagi mempertimbangkan organisasi atau kehidupan bersama.

Kehidupan bersama dan organisasi akan mengalami turbulensi yang terus menerus. Dan turbulensi yang berlangsung lama akan mendorong terjadinya anomali-anomali, sehingga akan muncul cara berpikir baru, suatu paradigma baru. Pertanyaannya kemudian, mengapa orang suka tergelincir kepada "the success syndrome", semacam sindrom kedigdayaan?

Menurut John C. Maxwell (2013), kemungkinan ada tiga jawaban: pertama, karena orang mengalami proses arogansi, sombong, dan meninggikan kesombongan. Orang acap membesarkan dirinya sendiri. Menyatakan segala sesuatu yang dianggapnya benar sendiri, tanpa dilandasi oleh informasi data akurat, sehingga orang tak lagi memperhatikan kebenaran yang paling benar.

Yang diperhatikan adalah apa yang diucapkannya. Seolah-olah ucapan dan pernyataannya itulah yang benar, sementara apa yang secara faktual berlangsung di tengah kehidupan masyarakat, di dalam organisasi, di lapangan dianggap sesuatu yang tak realistik, diperlakukan seperti lukisan fatamorgana.

Kedua, karena orang mengalami proses kesendirian (aloness). Dalam proses kesedirian ini, seseorang telah mengalami distorsi dari informasi. Apa yang sampai kepada dirinya adalah sesuatu yang kurang benar. Informasi yang diterimanya adalah fakta-fakta yang bersifat sublimatif, semu, bahkan cenderung menjadi sesuatu yang bersifat tahayul.

Informasi semacam ini biasanya dikemas dalam bungkus bayangan-bayangan imaginatif. Dalam keadaan seperti ini, pengetahuan yang diperoleh oleh orang itu merupakan pengetahuan semu, yang terlepas dari paradigma yang sedang berlaku.

Ketiga, orang yang mengalami "adventure seeking". Orang seperti ini senantiasa dilingkupi oleh hasrat untuk bertualang secara negatif. Orang yang selalu melihat orang lain dengan rasa curiga. Memperlakukan orang lain dengan kewaspadaan terus-menerus. Kewaspadaannya melampaui tingkat kewajaran, sehingga mendorong dirinya sendiri untuk selalu berada dalam posisi benar sendiri, sementara itu orang lain dianggap dengan penuh kecurigaan.

Ketiga jawaban Maxwell di atas, sesungguhnya mencerminkan perilaku orang (pemimpin) yang memiliki karakter lemah. Orang yang mempunyai katakter yang retak, dan apabila tak cepat ditangani, maka orang yang seperti ini akan sering menimbulkan perilaku-perilaku destruktif, baik dalam kaitan interaksi di dalam praktik kehidupan bersama, maupun di dalam memimpin organisasi.

Itu sebabnya peranan karakter menjadi penting dalam praktik kehidupan dan organisasi (apapun bentuk organisasinya), karena karakter tak hanya meletakan seseorang barada di dalam etika yang benar, tetapi juga orang harus berada dalam kondisi yang tak diragukan. Dalam terminologi ilmu kepemimpinan sering dinyatakan bahwa, "pemimpin tak hanya berdiri di atas garis antara benar dan salah, tetapi dia juga harus menghindari wilayah abu-abu".

Itu sebabnya, di sini visi seorang pemimpin benar-benar diperlukan. Tak bisa lagi seseorang menjadi pemimpin tanpa visi atau hanya sekedar keinginan untuk memimpin. Mengapa harus demikian? Visi sesungguhnya merupakan segalanya bagi seorang pemimpin. Karena visilah yang memimpin seorang pemimpin. Tanpa visi yang jelas, seorang pemimpin akan selalu masuk kedalam wilayah abu-abu.

Mencampur-baurkan antara mana "yang organisasi" dan mana "bukan organisasi". Mencampuradukkan mana "yang publik" dan mana "yang personal". Oleh karena itu, visi yang jelas akan memberi warna pada target yang akan dicapai. Visilah yang menjadi faktor penggerak kemajuan. Visi pula yang akan menyamakan gerak semua anggota organisasi. Visi yang mewadahi paradigma orang untuk bisa melakukan ini dan melakukan itu.

Tanpa visi yang jelas, orang akan terjebak dengan kegiatan yang berputar-putar dalam lingkaran. Bergerak dari itu ke itu. Yang dipikirkan hanya seputar kepentingan dirinya sendiri. Dalam keadaan tanpa visi, orang tak memikirkan kemajuan bersama. Orang tak memikirkan kemajuan organisasi. Oleh karena itu, kepemimpinan yang miskin akan visi,  kepemimpinan semacam itu, akan ditinggalkan orang lain.

Kepemimpinan tanpa visi acap kali akan mendorong munculnya anomali-anomali, yang kemudian mengubah paradigama, mengubah cara berpikir, bahkan memunculkan tuntutan-tuntutan baru bagi terbentuknya kehidupan baru di dalam masyarakat atau organisasi.

Jika kita telah merasakan tak ada lagi visi di dalam kehidupan organisasi kita, maka yang perlu dipertimbangkan kemudian adalah memeriksa kembali visi bersama kita. Jika diperlukan kita mempertimbangkan pemimpin (baru) yang memiliki kesamaan paradigma, kesamaan cara berpikir, dan memiliki kesamaan visi tengang masa depan kita bersama.

Dengan demikian, kita tak lagi terus-menerus hidup dalam keadaan anomali, tanpa visi yang menggetarkan hati! Sebab anomali itu menjadi (prasyarat) jalan kepada kehidupan normal. "The route to normal science", kata Thomas S. Kuhn, sekali lagi.

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi-Wakil Rektor I UNJ

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler