x

Menuju Referendum Kurdistan

Iklan

Smith Alhadar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menuju Referendum Kurdistan

Referendum kemerdekaan yang akan diselenggarakan Pemerintah Regional Kurdistan (KRG), Irak, pada 25 September mendatang akan berdampak besar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Smith Alhadar

Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies

Referendum kemerdekaan yang akan diselenggarakan Pemerintah Regional Kurdistan (KRG), Irak, pada 25 September mendatang akan berdampak besar. Daerah yang juga disebut Kurdistan Irak ini terletak di bagian utara Irak dan merupakan satu-satunya daerah otonom di negara itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah pusat di Bagdad mengancam akan mengerahkan kekuatan militer untuk membatalkan referendum. Negara tetangga Irak, yaitu Iran, Turki, dan Suriah, yang juga menentang referendum, menganggap hajatan itu ilegal, bertentangan dengan konstitusi Irak dan hukum internasional.

Turki telah mengerahkan pasukan di perbatasan Irak-Turki untuk menghadapi keadaan darurat. Adapun Iran mengancam akan menutup perbatasan dengan Kurdistan Irak serta membatalkan semua kesepakatan keamanan antara Iran dan Kurdistan Irak jika referendum jadi digelar. Iran, Turki, dan Suriah khawatir kemerdekaan Kurdi Irak akan meningkatkan daya dorong gerakan nasionalisme Kurdi di negara mereka yang sejak abad ke-19 telah berjuang untuk memiliki negara merdeka dan berdaulat sendiri.

Bagdad khawatir kemerdekaan itu akan membuat Irak kehilangan wilayah yang kaya gas dan minyak bumi. Ini akan membuat potensi ekonomi Irak merosot tajam. Dampak lainnya, Irak akan menjadi negara kecil yang lemah.

Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menentang referendum itu. Hajatan itu dianggap dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Pertama, perang melawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) masih berlangsung. Kemerdekaan Kurdi akan membuat perang melawan ISIS menjadi terbengkalai, padahal ISIS masih bercokol di Hawija dan kota-kota kecil di dekat perbatasan Suriah. Di Suriah, ISIS juga masih bercokol di dua kota besar, Raqqa dan Deir Az-Zor. Kedua, masih banyak persoalan di Irak yang lebih mendesak untuk segera ditangani, seperti pembangunan kembali Irak dari kehancuran perang dan pengembalian jutaan pengungsi.

Sebagai jalan keluar, Amerika, Inggris, dan PBB menawarkan opsi alternatif, antara lain menunda referendum hingga minimal dua tahun, PBB menjadi sponsor dialog Bagdad-Kurdistan dalam mencapai kesepakatan pembagian minyak dan gas, serta peningkatan peran parlemen Kurdistan sehingga mereka memiliki peran setara dengan parlemen di negara merdeka. Namun KRG pimpinan Presiden Masoud Barzani menolak tawaran itu.

Mengapa Barzani ngotot menyelenggarakan referendum? Paling tidak ada tiga alasan utama. Pertama, terciptanya momentum. Sejak Juli 2014, KRG berencana menyelenggarakan referendum tapi tertunda karena milisi Kurdi (Peshmerga) harus ikut berperang melawan ISIS. Pada Oktober 2016, lagi-lagi rencana itu ditunda atas permintaan AS ihwal perang melawan ISIS di Mosul. Sekarang KRG tak mau menunda lagi, mengingat pemerintah Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi kini dalam posisi lemah akibat perang melawan ISIS, salah urus pemerintahan, kemiskinan, dan maraknya korupsi. Menunggu sampai perang tuntas sama artinya dengan menyia-nyiakan kesempatan emas.

Kedua, pemerintah Nouri Al-Maliki dulu menjalankan politik sektarian. Kritik Barzani terhadap politik memecah belah rakyat Irak itu dibalas Maliki dengan menahan anggaran KRG. Ironisnya, kebijakan tersebut justru membuat KRG semakin mandiri dengan mengekspor minyak ke Turki.

Ketiga, kesepakatan-kesepakatan yang dicapai antara Barzani dan Maliki-kemudian Al-Abadi-untuk mendirikan pemerintah sipil yang demokratis tidak diterapkan. Usul Barzani agar Bagdad memberikan kekuasaan lebih besar kepada KRG, dengan mengintegrasikan Peshmerga ke dalam angkatan bersenjata Irak, ditolak.

Namun referendum akan berdampak negatif terhadap warga Kurdi. Pertama, kemungkinan akan terjadi perang saudara. Partai terbesar kedua Kurdistan, Partai Uni Patriotik Kurdistan (PUK) pimpinan Jalal Talebani, meminta agar Barzani-yang memimpin partai terbesar, Partai Demokrasi Kurdistan (PUK)-mempertimbangkan keberatan negara-negara regional dan internasional. Etnis-etnis minoritas di wilayah KRG, seperti Assyria, Kaldea, Turkmen, Arab, dan Yazidi, juga lebih menginginkan berada di bawah pemerintah Bagdad. Dengan demikian, ada potensi terjadi perang saudara. Kedua, kemungkinan terjadi serangan militer Irak, Iran, dan Turki ke wilayah KRG.

Namun, kalau referendum dibatalkan, akan menjadi tragedi bagi bangsa Kurdi, yang populasinya mencapai 35 juta dan tersebar di Irak, Iran, Turki, Suriah, dan Armenia, yang belum pernah memiliki negara. Mungkin mereka tak akan pernah memiliki meskipun secara politik dan budaya mereka dizalimi negara-negara regional dan dikhianati negara-negara besar sepanjang sejarahnya. Mungkin karena itu pula mereka nekat menggelar referendum walaupun ditentang komunitas internasional. Toh, sejak dulu mereka tidak punya teman. Teman mereka adalah gunung.

Ikuti tulisan menarik Smith Alhadar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler