x

Iklan

Dudi Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Islam Menjawab Problem Ilmu Pengetahuan Barat

Tulisan ini menjawab persoalan yang dialami oleh khazanah ilmu pengetahuan Barat dan praksis nya dengan menggunakan khazanah pemikiran Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penulis: M. Dudi Hari Saputra, MA. (penggiat pemikiran dan filsafat Islam, sudah mengikuti berbagai konferensi internasional perihal pemikiran keislaman).

Pembuka (Deskripsi)

Pertemuan pemikiran barat dan ilmu humaniora Islam setidaknya telah menggairahkan kembali wacana dan diskursus terkait pendekatan alternatif ilmu humaniora, terutama alternatif yang ditawarkan oleh khazanah pemikran Islam. Ungkapan alternatif mengindikasikan bahwa saat ini ilmu humaniora didominasi oleh khazanah pemikiran lain, dalam hal ini adalah Barat. Adanya bentuk usaha merumuskan dan menkonstruksi sebuah khazanah alternatif, dalam hal ini Islam, sama sekali tidak bertendensi infantil dan chauvinis, melainkan  karena adanya kesadaran akan kekurangan dari khazanah pemikiran Barat itu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Husein Heriyanto memaparkan bahwa khazanah pengetahuan humaniora Barat didominasi oleh 2 pemikiran, yaitu positifisme yang mengejar objektifisime dan empiris-analitis, dan di sisi lain adalah relatifisme yang berdasarkan pada subjektifisme-hermenetik (Dilthey dan Neo-Kantian). Filsafat barat seolah-olah sulit keluar dari problem dikotomi ilmu pengetahuan, yang berimplikasi terjadinya keterasingan dan ketidaksaling-pahaman manusia dengan dirinya sendiri, maupun dengan realitas di luar dirinya (manusia, alam dan Tuhan). Kritik yang sama juga dilontarkan oleh Hidayat Nitiatmaja, Kuntowijoyo dan Roger Garaudy bahwa problem dikotomi tidak pernah selesai dari khazanah pengetahuan barat, terutama perdebatan antara idealisme dan materialisme.

Paradigma barat yang relatif telah membuat hilangnya dasar-dasar nilai acuan universal manusia, yang membuat manusia kehilangan arah dan teralienasi oleh ketidaktahuannya akan dirinya sendiri maupun realitas diluar dirinya (karena pengetahuan relatif). Sedangkan disisi lain, paradigma positifisme yang materialistik, telah menyempitkan pengetahuan  humaniora menjadi partikular pada asas material, yang menegasikan realitas metafisika (Tuhan) dan immaterial (Rasio dan Jiwa), dan ini menjadi kontradiksi pada dirinya sendiri, karena bagaimana yang partikular dan terbatas bisa menjadi prinsip dasar semua ilmu pengetahuan.

Selain kritik teoritis, secara praktis pun khazanah pemikrian barat mendapat kritik yang tajam, antara lain pendapat dari Sayyed Mofed Hoseini yang menganggap bahwa pandangan khazanah barat memiliki gaya hidup yang liberalisme (bebas), kapitalisme di dalam ekonomi dan syahwat dalam politik. Sehingga menyebabkan terjadinya kritis multi-dimensi, seperti; krisis moral kemanusiaan, krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup, dan krisis lainnya.

Kondisi krisis inilah yang kemudian menjadi stimulasi kalangan intelektual muslim untuk menawarkan khazanah/pardigma alternatif, yakni Islam. Islam secara global dianggap mampu memberikan khazanah dan konstruksi keilmuan yang substantif dan juga efektif, karena secara ontologis memiliki pijakan dasar dan universal, yaitu Allah (Wujud). Pemahaman dasar bahwa Allah tak terbatas dan meliputi segala sesuatu (alam dan manusia), meniscayakan bahwa bentuk ilmu humaniora dan turunannya (ilmu ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan hidup, dsb.) harus berdasarkan nilai-nilai universal Islam yang terkandung di dalam Qur’an dan hadis yang meliputi aspek Ketuhanan, Manusia, dan Alam.

 

Analisis-Preskriptif

Dalam pantauan saya yang terbatas, meskipun para intelektual muslim (dan non-muslim) memiliki kesamaan tujuan (teleologis), dalam hal ini ketidakpuasan dan kritik atas khazanah intelektual barat, sehingga mencoba untuk mencari atau mengkonstruksi khazanah intelektual alternatif, yaitu khazanah Timur, terkhusus adalah Islam. Namun silang-pendapat dan dialektika masih terjadi, perdebatan mendasar terutama untuk konteks metodologi, yaitu bagaimana menurunkan prinsip-prinsip universal Islam ke dalam bentuk ilmu pengetahuan yang sangat teknis dan rumit.

Menurut saya hambatan utama bukanlah pada ranah metodologi itu sendiri, melainkan yang mendasarinya, yaitu ontologi dan epistemologi yang berbeda. Hal ini bisa dimaklumi, karena walaupun memiliki tujuan nilai yang sama, tapi latar belakang pengetahuan dan pendidikan yang berbeda, menjadi hambatan dan ketidaksaling-pahaman antar sesama intelektual itu sendiri. Kritik terutama saya tujukan kepada intelektual muslim tapi yang beralatar-belakang keilmuan barat (sekuler), kalangan ini mencoba mengkritisi paradigma barat dengan menawarkan khazanah alternatif yaitu Islam. Hanya sayangnya, seperti diungkapkan oleh Joseph E.B Lumbard: kelompok intelektual muslim yang modernis (sekuler) ini bertindak daripada berkontemplasi dan mengevaluasi peradaban barat melalui tradisi intelektual Islam, malah menerapkan prinsip-prinsip keilmuan barat itu sendiri dengan sekedar menambahkan stempel Islam.

Ketidaksadaran kalangan intelektual muslim yang mencoba menawarkan Islam sebagai khazanah ilmu pengetahuan tapi malah menggunakan konstruksi keilmuan barat dengan nama “Islami”, patut disesali. Karena tidak menawarkan solusi apapun, melainkan hanya peniruan konstruksi ilmu barat yang kemudian di Islamkan (Islamisasi ilmu pengetahuan), fenomena seperti ini karena dasar ontologi dan epistemologi yang masih bercorak barat, hanya kemudian dimodifikasi dan dieklektikkan dengan prinsip-prinsip keislaman.

Hal ini yang menurut Sayed Hosein Alatas sebagai “Benak yang terbelenggu”, yaitu cara berfikir yang didominasi barat dengan menirunya tanpa bersikap kritis. Sayed Muhammad Baqir As-Sadr menjelaskan ini sebagai bentuk penjajahan ilmu pengetahuan, dimana untuk mengkritisi pandangan barat pun juga menggunakan pandangan barat, atau menjelaskan pandangan ilmu Islam tapi dengan dasar paradigma dan epistemologi Barat.

Mencermati realitas ini, perlu sekiranya kita mengkonstruksi paradigma ilmu pengetahuan Islam yang berdasarkan prinsip epistemologi dan ontologi yang otentik keislaman. Agar khazanah ilmu pengetahuan Islam itu sendiri memiliki karakter serta solusinya sendiri, dan tidak terjebak pada persoalan, perdebatan dan solusi yang sama, seperti yang ditawarkan ilmu pengetahuan barat. Perlunya para akademisi/intelektual muslim untuk memahami dan menggali pemikiran Islam otentik dari para tokoh intelektual (filsuf) nya sendiri menjadi sebuah keharusan, agar mendapatkan formula ontologi dan epistemologi yang kokoh, jelas, dan otentik. Sehingga bisa diterapkan secara metodologis, yang harapannya bermanfaat untuk menjadi dasar pijakan ilmu humaniora dan praktis.

 

Kesimpulan (Kritik Pengetahuan)

Ilmu pengetahuan barat telah menawarkan kerangka berfikir yang kontradiksi ketika pengetahuan ini ingin menafsirkan berbagai fenomena, karakteristik pengetahuan modern yang cenderung menjadikan materi (positifistik) yang berkarakter partikular dan manusia (humanisme) yang berkarakter individualistik sebagai lokus pengetahuan, telah berakibat inkoherensi ketika pengetahuan ini mencoba menghegemoni segenap realitas secara universal dan integral.

Karena kaidah pertanyaannya menjadi seperti ini: bagaimana mungkin sesuatu yang partikular dan individual, bisa menjadi acuan yang universal dan integral, tapi kenyataanya kita melihat pengetahuan ‘Barat’ telah begitu memasuki setiap relung fenomena, yang membuat kita bertanya mengapa hal ini bisa terjadi.

Bagaimana mungkin kaidah partikular menjadi acuan universal, bagaimana mungkin kaidah individual bisa saling integral, maka besar kemungkinan perluasan ini bukan karena kesadaran, melainkan rekayasa dan manipulasi pengetahuan.

William Chittick mengkritik bahwa pengetahuan ‘Barat’ diterjemahkan sebagai pengetahuan yang mengejar objektifitas, yang membentuk kaidah terpisah antara yang mengetahui (subjek) dan yang diketahui (objek). Bentuk skema seperti ini telah menempatkan manusia sebagai pusat yang mengetahui realitas diluar dirinya, dia seolah-seolah menjadi realitas transendental yang menyelidiki dan mengabstraksi setiap entitas objek.

Manusia yang seperti ini melahirkan karakter ingin menguasai, ingin memiliki dan berkuasa atas apa yang diketahuinya (lazim sekali tulisan seperti ini di Barat, dari Morgenthau bahkan sampai Foucault). Dan setiap permasalahan yang timbul, dianggap bukan karena kontribusi dirinya, melainkan semata-mata karena realitas diluar dirinya, yang akhirnya membuat matinya etika, moralitas dan tanggung jawab pada diri manusia (Nietzsche, Marx, dsb.).

Manusia telah melepaskan dirinya dari segala tanggung jawab karena kaidah subjek-objek ini, yang oleh Chittick dijelaskan bahwa ketika manusia mengetahui sesuatu di luar dirinya, alangkah benarnya jika menjadikan dirinya dulu sebagai objek yang diketahui. karena, bagaimana mungkin, seseorang dianggap mengetahui segala sesuatu diluar dirinya, akan tetapi dia tak mengenal dirinya sendiri.

Konsekuensi dari format pengetahuan manusia yang menempatkan dirinya bukan saja yang mengetahui, tapi juga diketahui. Telah menyadarkan dirinya, bahwa manusia adalah bagian kecil dari kosmos (mikro-kosmos) yang terhimpun di dalam sebuah kosmos yang besar (makro-kosmos), cendekiawan pun menyadari bahwa dirinya tak semata-mata menjadi pusat, melainkan dirinya adalah rangkaian kecil dari sebuah dunia yang luas dan hidup (Antropokosmik).

Sehingga setiap permasalahan yang terjadi, tidak terlepas dari tanggung jawab manusia, karena manusia pun punya andil dan mengalami dampak merugikan atas perilaku buruknya sendiri. Maka dari titik ini, manusia mulai menyadari pentingnya kaidah etik, moral dan tanggung jawab dirinya atas dirinya sendiri, maupun atas manusia lain dan alam di luar dirinya.

Kaidah positfistik yang partikular dan semakin terspesialisasi juga turut berkontribusii menyebabkan terjadi ketidaksalingtahuan atau ketidaksalingkenalan antara satu disiplin ilmu dengan ilmu yang lain. korelasi yang tidak saling mengenal dan mengetahui telah membuat manusia sering kali salah mengerti, egois dan berujung konflik. Maka dari itu, perlu adanya pengetahuan dan realitas hakiki yang menyatukan dan mengintegralkan setiap partikularitas di realitas materi dan disiplin pengetahuan, bukan karena panggilan utilitarian, melainkan karena aksioma yang mengendaki realitas tersebut, yaitu Wujud/Tuhan.

Hal ini tergambarkan dari ucapan Ibn Sina berikut ini:

Jiwa Rasional/Intelektual di buku al-Najat dan al-Syifa.

Kesempurnaan yang khas bagi jiwa rasional adalah manakala ia (jiwa) menjadi alam intelektif yang mendedahkan kembali bentuk segala sesuatu, susunan yang bisa di cerap akal dalam segala sesuatu, dan kebaikan yang dipancarkan pada segala sesuatu, mulai dari sumber segala sesuatu, berlanjut pada substansi-substansi spiritual tanpa syarat, kemudian (substansi-substansi) spiritual yang terhubung dengan cara tertentu pada serta segala penjelmaan dan potensinya.

Kemudian (ia berlanjut terus) seperti ini sampai ia benar-benar menangkap dalam dirinya penjelmaan semua eksistensi. Ia berubah menjadi suatu alam pengetahuan atau alam intelektual, sejajar dengan seluruh maujud.

Ia menyaksikan keelokan tanpa batas, kebaikan tanpa syarat, serta keindahan nyata dan tanpa syarat, pada saat ia disatukan dengannya, tercetak dengan keserupaan dan penjelmaannya, terpilih pada jahitannya, dan berbagi substansinya.

Wallahu a’lam bishawab.

Ikuti tulisan menarik Dudi Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB