x

Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri) bersama Kabiro Humas BPK Yudi Ramdan Budiman memberikan keterangan pers terkait kasus suap motor Harley Davidson kepada auditor BPK di Gedung KPK, Jakarta, 22 September 2017. Motor tersebut berjenis Harley Davids

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bidah Rasuah Oknum BPK

Dengan kata lain, bidah lebih bernuansa “penyimpangan” yang dilakukan oleh seseorang, di saat dirinya jelas tahu bahwa apa yang dilakukannya jelas salah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah “bidah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan”. Istilah “bidah” tentu saja terambil dari bahasa Arab, “bid’ah” yang kurang lebih memiliki konotasi sama, hanya saja dalam bahasa agama, bidah lebih condong dikaitkan dengan persoalan ibadah yang tidak sesuai pada ketetapan agama. Dengan kata lain, bidah lebih bernuansa “penyimpangan” yang dilakukan oleh seseorang, disaat dirinya jelas tahu dan memahami bahwa apa yang dilakukannya jelas salah. Bidah, tentu saja berdampak pada upaya penyesatan atau pengkaburan pada “nilai-nilai” yang telah ditetapkan, seperti bidah oknum auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sengaja “mengurangi atau menambah”  sebuah ketetapan atas laporan keuangan sehingga seakan-akan tak ada penyimpangan pada hasil laporan tersebut.

Sebagai lembaga auditor negara yang memeriksa secara detil lalu-lintas keuangan sebuah instansi pemerintahan, seharusnya memberikan contoh kepada masyarakat bahwa mereka jelas lembaga yang paling terpercaya mampu mengungkap setiap penyimpangan keuangan negara. Lalu, jika perbuatan mereka yang masih saja mengakali keuangan negara sehingga seakan-akan terlihat “bersih” dan transparan, jelas perbuatan bidah. Parahnya, setiap informasi yang disimpangkan, kemudian diatur dan disesuaikan dengan “kompensasi” yang akan mereka terima. Ini jelas sebuah penyesatan atau bidah yang sangat berbahaya bagi kehidupan bernegara, karena tidak saja negara yang dibodohi, masyarakat-pun justru disesatkan oleh laporan keuangan yang tidak transparan.

Koran Tempo menyebutkan, bahwa sejak 2005, sudah ada 23 oknum auditor BPK yang terlibat berbagai macam kasus korupsi dan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Jumlah ini malah semakin  bertambah, setelah penangkapan SY, salah satu auditor BPK yang terbukti menerima gratifikasi sebuah moge merek Harley Davidson dari PT Jasa Marga. Tren kasusnya kurang lebih sama, oknum auditor ini mengaburkan atau menghilangkan penilaian-penilaian kecacatan sebuah laporan keuangan, dengan kewenangan yang dimilikinya. Jika BPK saja sebagai lembaga otoritatif yang berhak menilai baik-buruknya sebuah kondisi keuangan terbukti melakukan penyimpangan, padahal mereka tahu itu salah, maka sama artinya lembaga ini menjalankan praktik bidah, yang dalam bahasa agama masuk dalam kategori “bid’ah dlolalah” (prilaku menyimpang yang menyesatkan).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bidah rasuah sepertinya memang menjalar di tubuh BPK, sebagaimana prilaku SY ini yang ternyata telah terendus sebelumnya oleh lembaga yang menaunginya, namun seperti dibiarkan dan akhirnya berujung penangkapan oleh KPK. Kenyataan ini diperkuat oleh pernyataan salah seorang pejabat di BPK, bahwa secara internal, SY sudah diperiksa sejak 5 September yang lalu, tetapi belum juga  memutuskan apa-apa hingga akhirnya dicokok KPK. Iklim bidah rasuah di sebuah lembaga yang seharusnya mampu menjaga nilai-nilai kepercayaan masyarakat sebagai pemberi contoh yang baik dalam hal anti korupsi, justru tercederai. Bagaimana tidak, rentetan kasus yang melibatkan oknum BPK semakin bertambah saja dan ini jelas preseden buruk bagi semangat pemberantasan korupsi.

Saya khawatir, masyarakat akan kehilangan kepercayaan (untrust) terhadap lembaga-lembaga pemeriksa keuangan yang seharusnya lebih tegas dalam mengungkap adanya berbagai penyimpangan keuangan di tubuh institusi atau lembaga negara. Alih-alih meluruskan setiap penyimpangan soal laporan keuangan, para oknum BPK malah menikmati gratifikasi dan selalu saja melihat peluang  “keuntungan” dari berbagai tugas yang dibebankannya. Bagi saya, ini perbuatan bidah luar biasa yang ketika dibiarkan, malah menjadi “tradisi” yang hidup di setiap instansi atau lembaga negara. Lalu, apa artinya kekuatan sebuah lembaga anti korupsi, jika terus menerus dimandulkan oleh keberadaan peran lembaga lainnya yang justru menjalankan praktik korupsi? Bukankah setiap lembaga negara harus mampu saling bersinergi memberantas korupsi?

Semakin genting saja pemberantasan korupsi di negeri ini, melihat dari tren berbagai lembaga negara yang justru ikut terlibat dalam praktik korupsi. Berapa banyak sudah oknum di lembaga peradilan, lembaga keuangan atau lembaga milik negara lainnya yang terjerat kasus korupsi. Jadi, kapan negeri ini terbebas korupsi? Mungkin kita harus menunggu hingga zaman kuda gigit besi atau lebaran monyet tiba, baru negeri ini aman dari praktik korupsi. Harapan pemberantasan korupsi yang ada dalam setiap benak masyarakat, justru kian “melangit”, karena begitu sulitnya para pemimpin kita disadarkan akan dampak buruk perbuatan korupsi. Pemberantasan korupsi belum sanggup “membumi” melihat dari kesungguhan berbagai lembaga negara yang hanya setengah-setengah atau malah ogah menjauh dari tradisi rasuah.

Melihat dari berbagai tren korupsi yang sedikit demi sedikit mulai terkuak, seperti mempertontonkan frame keburukan bidah rasuah yang seperti “melembaga” di hampir di seluruh instansi negara. Yang mengherankan, praktik gratifikasi sepertinya tak pernah mati, menjadi semacam kompensasi bagi setiap lembaga yang bersinergi dalam korupsi. BPK seharusnya menjadi gerbang utama bagi pengusutan lebih jauh soal praktik korupsi melalui pengungkapan setiap penyelewengan dari setiap laporan keuangan. Namun sepertinya, gerbang utama itu hanya mampu dibuka sedikit, dan lembaga seperti KPK hanya boleh mengintip sedikit saja soal penyimpangan yang terindikasi korupsi. Maka, tak heran, ketika KPK harus bergerak sendiri, memaksa membuka lebih lebar gerbang tersebut, sehingga bidah rasuah semakin jelas nampak di tubuh BPK.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler