x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepemimpinan yang Menjadi Teladan

"Sebelum kita memulai sesuatu yang besar, kita mulai dengan hal-hal kecil dahulu. Meningkatkan yang kecil-kecil itu sedikit demi sedikit"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin, MA*

Mungkin ada benarnya adagium ini: "Sebelum kita memulai sesuatu yang besar, kita mulai dengan hal-hal kecil dahulu. Meningkatkan yang kecil-kecil itu sedikit demi sedikit". Adagium ini tentu bersifat universal. Bisa dipakai untuk merefleksikan apa saja dalam kehidupan.

Kita dapat menerapkannya di dalam mengelola organisasi. Kita juga dapat menerapkannya di dalam membangun masa depan kita bersama. Kita juga bisa menerapkannya dalam kepemimpinan. Adagium ini mengisyaratkan "jam terbang" yang telah dimiliki oleh seseorang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang yang merangkak sedikit demi sedikit, dari satu pengalaman ke pengalaman yang lain, dari satu pekerjaan sederhana kepada kepekerjaan yang lebih kompleks, pada akhirnya akan bermuara ke dalam sebuah keterampilan yang lengkap. Jam terbang pengalaman menjadi penting bagi seseorang yang hendak menjadi seorang pemimpin.

Dalam praktik kepemimpinan, keterampilan dalam memimpin tak begitu saja muncul. Ia dibentuk oleh sebuah proses yang panjang. Ia merupakan akumulasi dari beragam penguasaan "techno-skill" dalam sebuah kontinum "life-span". Itu sebab, bagi mereka yang hendak menjadi pemimpin, ada baiknya mulai memperhatikan instrumen-instrumen kepemimpinan.

Instrumen kepemimpinan yang oleh John W Gardner (2012) disebut sebagai inti pokok dari bertahan atau tidaknya sebuah kepemimpinan. Inti pokok kepemimpinan itu seringkali berwujud dalam bentuk keterampilan berkomunikasi. Kemampuan berinteraksi dengan semua "stake holder". Menempatkan posisi dirinya di dalam konteks keseluruhan.

Mengerti dimana posisi kita saat ini, dan memahami siapa atasan kita, dan siapa bawahan kita. Itu sebabnya, orang diharuskan memahami standar-standar prilaku dalam memimpin sebagai bagian yang tak terpisahkan dari instrumen kepemimpinan yang harus dikuasai.

John C. Maxwell (2013) mengidentifikasi beberapa standar pedoman dalam berkomunikasi di dalam sebuah kepemimpinan, yaitu (1) tetaplah konsisten. Konsistensi seorang pemimpin dalam menyampaikan gagasan, ide, kebijakan ataupun keputusan menjadi prasyarat pertama agar seseorang berhasil dalam memimpin.

Konsisten dalam mengambil keputusan akan menimbulkan kepastian bagi orang lain bekerja. Tanpa konsistensi dalam mengambil keputusan, orang lain akan mengalami frustasi. Bawahan akan mengalami "kebingungan massal" karena tak memahami arah tujuan dari sebuah kebijakan yang telah ditetapkan. Kebijakan yang berubah-ubah, fluktuatif, tak konsisten merupakan cermin dari minimnya keterampilan dalam penguasaan instrumen kepemimpinan.

(2) berkomunikasilah dengan jelas. Keterampilan menyampaikan pesan dengan jelas mempersyaratkan keajegan dalam berpikir. Ia merupakan cermin dari penguasaan perencanaan. Ia lukisan dari penguasaan rencana dan keterampilan dalam mengeksekusi rencana menjadi terget. Itu sebabnya, keterampilan ini mempersyaratkan adigium "jangan sekali-kali anda menyilaukan siapapun dengan seolah-olah anda cerdas sendiri".

(3) jagalah kesopanan. Sopan santun menuntut orang untuk terbuka, rendah hati, dan egaliter. Setiap orang yang hadir di tengah kita layak diperlakukan dengan santun, apapun posisi orang itu. Apapun riwayat (hidup) orang itu. Kita tak patut merendahkan atau menyepelekan orang lain, apalagi orang yang posisi sosialnya lebih rendah dari kita.

Kita justru harus dapat bersikap sopan kepada anak buah. Tugas seorang pemimpin adalah menjaga keselarasan bagi keberlangsungan organisasi secara keseluruhan, bukan justru merusak keselarasan yang ada di dalam organisasi.

Ketiga instrumen kepemimpinan di atas baru akan bekerja efektif jika disertai oleh dua keterampilan kompleks yang lainnya, yakni (1) keterampilan berkomunikasi yang tak bersifat "top-down" atau bergaya diktator. Karena pemimpin yang baik itu selalu mengedepankan kesediaan untuk mendengarkan, mengajak, dan mendorong partisipasi. Itulah sebabnya, gaya komunikasi yang "top down", diktator tak kompatibel dengan instrumen kepemimpinan seperti tersebut di atas.

(2) kearifan. Kearifan sering didefinisikan sebagai kemampuan seseorang pemimpin untuk menemukan akar masalah. Kemampuan memetakan persoalan dan merumuskan alternatif pemecahan masalah. Kearifan seringkali ditentukan oleh kematangan cara berpikir, kemampuan mengedepankan akal sehat, serta ketajaman intuisi. Kearifan akan mendorong penyelesaian secara efektif.

Itu sebabnya, sekali lagi meminjam dan mengelaborasi klasifikasi dari John C. Maxwell, kearifan dapat membantu seorang pemimpin untuk (1) menemukan akar masalah, (2) menangani kekacauan dengan baik, (3) memetakan gambar besar persoalan secara intuitif, (4) menumbuhkan kemampuan menyelesaikan masalah, (5) melihat akar masalah dan tak mencampuradukkan masalah, (6) mengembangkan opsi-opsi pemecahan masalah, (7) memadukan suara hati dan logika sehingga menemukan opsi pemecahan masalah, (8) menggunakan pengalaman dan ketajaman naluri dalam menyelesaikan masalah.

Dengan begitu, kita dapat meletakan diri kita dalam perspektif diri kita. Orang sering mengatakan dengan bahasa ilustratif bahwa, "siapa diri anda menentukan cara-cara anda memandang segala sesuatu.” Karena cara anda memandang sesuatu itu merupakan identitas dan perspektif anda sendiri. Itulah lensa anda.

Situasi ini secara gamblang dirumuskan oleh Maxwell (2007) sebagai berikut: "Cara orang memandang sesamanya merupakan cermin dari diri mereka. Jika saya seorang yang bisa dipercaya, saya memandang orang lain sebagai dapat dipercaya. Jika saya seorang yang suka mengkritik, saya juga memandang orang lain sebagai tukang kecam. Jika saya seorang yang peduli, saya melihat orang lain sebagai orang yang berbelas kasih."

 Maka dari itu, seorang pemimpin harus senantiasa memperbarui sudut pandangnya, sehingga sudut pandangnya tetap baru. Sesuai dengan perkembangan zaman. Wallahu’alam.

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi-Wakil I Rektor UNJ

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB