x

Iklan

Lestantya Baskoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Isi Ulang Uang Elektronik

Selama ini, tanpa bisa melakukan perlawanan apa pun, konsumen kerap dipotong biaya isi ulang jika melakukan isi ulang uang elektronik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah harus berpihak pada konsumen dalam menetapkan  biaya isi ulang uang elektronik yang dalam waktu dekat segera diputuskan. Bagaimana pun jika kebijakan itu merugikan publik, maka rencana pemerintah untuk menggalakkan pembayaran nontunai akan gagal. Pemerintah perlu mencamkan hal ini: bahwa tugas pemerintah adalah melindungi dan meningkat kesejahteraan rakyat.

Sampai kini penyedia jasa layanan isi ulang elektronik nonbank masih menunggu besaran biaya tarif isi ulang melalui kanal pembayaran bank penerbit atau bank berbeda. Bank Indonesia, demikian kabarnya, masih menggodok aturan itu untuk menetapkan berapa nilainya  yang tepat.

Kita mendukung apa yang dikatakan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dalam melihat masalah ini. Badan Perlindungan menegaskan semestinya tidak ada biaya isi ulang itu. “Program pembayaran nontunai harus dijalankan dengan tidak mengurangi nilai dana yang dimiliki konsumen dibandingkan dengan transaksi tunai,” demikian menurut Ketua Badan tersebut,  Ardiansyah Parman. Menurut dia, tidak adil bagi konsumen dibebani biaya, bahkan jika maksimal Rp 1.500 sekalipun,  saat mengisi ulang melalui fasilitas beda bank atau penyedia jasa layanan nonbank yang menjadi mitra bank.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama ini, tanpa bisa melakukan perlawanan apa pun, konsumen kerap dipotong biaya isi ulang jika melakukan isi ulang uang elektronik. Besarnya beragam, rata-rata antara Rp 1.500 sampai Rp 2.000. Konsumen hanya bisa menerima dan, mungkin juga, menggerutu.

Ini, misalnya, terjadi dalam isi ulang uang elektronik untuk naik busway Transjakarta. Petugas langsung memotong Rp 2.000 sebagai “biaya isi ulang . ” Artinya jika kita mengisi uang elektronik Rp 20.000 atau Rp 10. 000 , maka jumlah isi ulang kita hanya Rp 18.000 atau Rp 8.000.

Besarkah Rp 2.000 itu? Tentu besar jika kita melihat hasil dari isi ulang itu.  Bayangkan jika setiap hari ada 1.000 orang saja yang mengisi ulang. Artinya dari isu ulang tiket trans Jakarta saja per hari sudah terkumpul Rp 2.000.000. Dan dari Rp 10.000 dipotong Rp 2.000 tentu itu nilai yang besar.

Persoalannya sebenarnya tidak hanya besarnya, tapi lebih pada: apakah memang harus demikian? Alasan pihak Transjakarta ini semua untuk mengedukasi publik, seperti ditulis di Kompas 23 September 2017 juga mengada-ada. Jika mengedukasi: kenapa harus sebesar Rp 2.000? Kenapa tidak Rp 1.000? Rp 5.00?  misalnya.

Penetapan sewenang-wenang semacam itu jelas merugikan publik. Karena itu Bank Indonesia (Pemerintah) memang harus segera turun tangan membenahi ini semua . Prinsip utamanya adalah tidak merugukan konsumen yang sudah dicekik oleh berbagai harga kebutuhan sehari-hari yang sudah melangit. Konsumen harus dilindung dari eksploitasi atas nama “biaya isi ulang” itu. (Lestantya R. Baskoro)

 

 

Ikuti tulisan menarik Lestantya Baskoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler