x

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kita Butuh Pengadilan Pertanahan

RUU Pertanahan belum sungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang pertanahan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Gunoto Saparie

Bahwa tanah adalah sumber daya yang terbatas dan saat ini di Indonesia telah kita pahami bersama. Namun, barang yang terbatas  ini dikuasai segelintir orang dan badan usaha sehingga terjadi ketimpangan yang tinggi. Dalam usaha mencapai tujuan dari cita-cita kemerdekaan nasional diperlukan pengaturan tata guna tanah dan ruang, baik secara nasional maupun wilayah. Pengaturan ini harus berdasarkan pengakuan, penghormatan, dan penguatan hak-hak rakyat. Selain itu, kita harus mengupayakan mereka terus berkembang dan dapat manfaat utama dalam proses perkembangan dari zaman ke zaman.

Dalam mengatur keseluruhan wilayah pertanahan, perlu sistem hukum dan administrasi pertanahan menyeluruh dan berjalan dengan transparan tanpa sekat-sekat sektoralisme pertanahan. Dibutuhkan sarana yang efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan, khususnya konflik pertanahan yang terus meningkat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalau kita mencermati Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan, sesungguhnya ada beberapa kelemahan yang seharusnya segera dijawab dan diselesaikan. RUU ini dimaksudkan untuk melaksanakan reforma agraria sebagai solusi ketimpangan atas tanah. Bahkan, secara khusus dibahas dalam bab tersendiri. Sayangnya, reforma agraria yang dimaksud bukan reforma agraria yang genuine. Reforma agraria dalam hal ini operasi cepat dan menyeluruh dalam mengatasi ketimpangan agraria melalui redistribusi tanah (land reform) sekaligus katalisator bagi tumbuhnya badan usaha milik desa, petani, nelayan, dan masyarakat marginal lain dalam mengusahakan tanah secara modern. Oleh karena itu, perlu lembaga ad hoc yang dipimpin dan bertanggung jawab kepada presiden dalam melaksanakan program ini, misalnya Komite Nasional Pelaksana Reforma Agraria.

Reforma agraria adalah upaya mengurangi ketimpangan dan ketidakterhubungan pembangunan desa-kota, pertanian, dan industri yang selama ini terjadi. Seyogianya hak guna usaha perkebunan, pertanian, perikanan darat, dan peternakan diprioritaskan kembali untuk koperasi/petani sesuai amanat UU PA 1960 dan investasi skala besar pada proses hilirisasi.

RUU Pertanahan belum sungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang pertanahan dan membangun kelembagaan pertanahan yang kuat dan dipercaya masyarakat. Lemahnya kelembagaan pertanahan yang hendak dibangun RUU ini tecermin dari dipertahankannya kelembagaan pertanahan seperti BPN. Dengan begitu, kewenangan tata ruang sebagai cermin utama perencanaan dan tata guna tanah masih akan berada di Kementerian PU; informasi geo spasial masih berada di Badan Informasi Geospasial, dan administrasi hak atas tanah di luar kawasan hutan masih berada di BPN, sementara yang berada di dalam kawasan hutan (70 persen daratan) masih diadministrasi Kementerian Kehutanan. Seharusnya RUU ini mengusulkan pembentukan kementerian pertanahan yang mengatur keseluruhan perencanaan, administrasi, informasi spasial, pendaftaran dan hak atas seluruh tanah  dalam satu wadah secara nasional.

Pengadilan Pertanahan

Jawaban penyelesaian konflik pertanahan yang ditawarkan dalam RUU ini adalah membentuk pengadilan pertanahan. Usulan ini akan efektif jika pemerintah mampu menyelesaikan pekerjaan rumah dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan dan problem ketimpangan melalui reforma agraria dan menegakkan kelembagaan pertanahan yang kredibel. Sebelum menuju pengadilan pertanahan perlu usaha penyelesaian ribuan konflik/sengketa pertanahan seperti kasus Mesuji, Bima, dan lain-lain yang tergolong extra ordinary oleh sebuah lembaga transisi sekaligus menjawab keadilan masyarakat dalam proses transisional. Lembaga ini misalnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang pernah diusulkan Komnas HAM.

Lembaga ini bertugas mendaftar, melakukan verifikasi, dan pemberkasan kasus yang diajukan masyarakat secara kolektif; memfasilitasi penyelesaian secara  win-win; dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian yang akan diputuskan oleh pengadilan (khusus) pertanahan.

Sebenarnya, secara historis-kronologis, gagasan pembentukannya sudah lama muncul sebagai respons pengalaman empiris bahwa penyelesaian sengketa pertanahan oleh pengadilan umum dan pengadilan tata usaha negara (PTUN) selama ini selalu berlarut-larut, berbiaya sangat konsumtif, dan akhirnya lumpuh sebagai putusan di atas kertas. Sayangnya, konsep pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus masih sumir dan absurd yang sangat berpotensi hanya menyambung dan mengubah nomenklatur fenomena kegagalan kinerja  peradilan umum dan PTUN.

Konsep dan konstruksi pengadilan pertanahan sebagai peradilan khusus sebaiknya diperkaya dengan melakukan dekonstruksi terhadap peradilan khusus yang sudah ada, antara lain pengadilan pajak, pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial (PHI), dan pengadilan tipikor, yang secara empiris sebetulnya tak punya keistimewaan dalam prestasi dan kinerja. Ironisnya, peradilan tipikor sulit dibedakan sebagai lembaga pengadilan atau lembaga penghukuman.

Pembentukan pengadilan pertanahan seharusnya merujuk pada konstruksi kekuasaan kehakiman yang diatur Bab IX Pasal 24 UUD 1945 berikut UU pelaksanannya. Selanjutnya diperkaya aspek filosofi, teori, dan empiris peradilan khusus yang sudah ada di berbagai negara.

AS dan Inggris merupakan negara yang banyak memiliki peradilan khusus yang secara efektif dan tepat tujuan telah sukses memaknai dan memberi karakter peradilan khusus sebagai  pilar penegakan hukum yang berkeadilan. Salah satu isu  yang harus jadi perhatian dalam  melakukan pembahasan pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus dalam RUUP adalah menyangkut lembaga hakim ad hoc. Konsep dan konstruksi lembaga hakim ad hoc harus jelas menyangkut  sumber, wewenang, dan bagaimana cara pengisiannya.

Demikianlah, memang sangat diperlukan pembentukan kelembagaan khusus untuk menangani dan menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan secara tuntas, utuh, dan menyeluruh. Paradigmanya: hukum progresif dan keadilan transisional. Pendekatannya, sosial, dan budaya yang mengakomodasi kebinekaan sistem penguasaan dan penggunaan tanah rakyat dipadukan, khususnya masyarakat adat dan lokal. Ruang mediasi dan mekanisme resolusi konflik alternatif perlu dibuka. Penyelesaian masalah pertanahan mengedepankan kebersamaan yang menguntungkan semua pihak secara adil dan berkepastian hukum.

 

Relevansi menghadirkan peradilan khusus keagrariaan adalah kompleksitas permasalahan pertanahan dan keterbatasan kapasitas dan respons kelembagaan yang ada. Kini saatnya merintis pembentukan pengadilan pertanahan di bawah peradilan umum di lingkungan Mahkamah Agung. Pengadilan pertanahan ini hendaknya diisi para hakim dan aparatus yang terdidik dan terlatih khusus untuk menangani perkara keagrariaan yang kompleks dan multidimensi.

Tentu saja, penanganan konflik agraria dan sengketa pertanahan harus diletakkan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebagai jalan menuju perwujudan masyarakat adil, makmur, bahagia, dan sejahtera, seperti impian pendiri republik ini.

 

*Gunoto Saparie adalah Pemimpin Redaksi Majalah Tanahku Semarang

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB