x

Iklan

Andrian Habibi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Majelis Pertimbangan dan Konsultasi Mahkamah Konstitusi

kesediaan MK untuk mendengar sudah lebih baik daripada lembaga negara manapun di negeri ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Andrian Habibi

Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia adalah lembaga peradilan terdepan, canggih dan terpercaya. Kehadiran MK dengan segenap transparansi-nya mengundang kagum beriring salut. Sehingga publik mencintai MK karena kecepatan upload putusan, kerjasama penguatan konstitusional mahasiswa di pelbagai Perguruan Tinggi, penguatan partisipasi masyarakat melalui jurnal dan sebagainya.

Namun malang tidak bisa terelakkan, kala “Elit” setan mengganggu integritas Hakim MK. Setalah AM terkena OTT KPK di tahun 2013, sekarang ada PA di tahun 2017. Sehingga kepercayaan publik tergerus. Cinta publik kepada MK pun berkurang. Akibatnya, semua kinerja MK dipertanyakan, mulai dari persidangan yang lama sampai dengan mempertanyakan “Kenegarwanan” Hakim MK.

Melihat kenyataan pahit yang terlanjur menyakitkan, MK bekerja secepat kilat untuk memperbaiki rasa cinta rakyat. Cara yang ditempuh MK bisa dikatakam terbaik, yakni melaksanakan Diskusi Publik Mahkamah Konstitusi Mendengar dengan tema “Ikhtiar Menjaga Integritas dan Profesionalitas Mahkamah Konstitusi” pada hari kamis, 9 maret 2017.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut penuturan Prof. Arief Hidayat selaku Ketua MK, seharian itu MK akan mendengar para pembicara, penanggap dan penanya. Padahal, sebagai Hakim MK yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus AM dan PA. Para Hakim MK bisa saja membiarkan bola panas ketidakpercayaan publik dengan jawaban kinerja yang baik. Hal ini yang penulis anggap sebagai tindakan “cepat tepat”. Cepat menangkap isu yang berkembang dan langsung mencarikan solusi yang tepat.

Di lain sisi, frase “mendengar” dalam acara “Mahkamah Konstitusi Mendengar” patut diapresiasi. Kenapa? Karena kerja “mendengar” adalah kerja tersulit terlebih bila orang yang mendengar dirasa lebih paham daripada pembicara atau pemberi saran/nasehat. Namun, kesediaan MK untuk mendengar sudah lebih baik daripada lembaga negara manapun di negeri ini. Lalu apa yang paling banyak (dengan sabar) didengarkan oleh Hakim MK?

Dilema Pengawasan

Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita bisa mengutib satu kata yaitu “pengawasan”. Sedari awal hingga akhir acara, diskusi selalu mengarah kepada kata “pengawasan”. Namun, bagi Ketua MK, kata pengawasan agak kurang tepat dan lebih menyukai dengan kata “menjaga integritas Hakim”. Untuk kata “pengawasan”, Refly Harus juga kurang sepakat, bagaimana mungkin seorang Negarawan (Hakim MK) diawasi? Karena siapa yang mengawasi, bagaimana recruitment dan kerja pengawasan masih menjadi masalah.

Kalau pengawasan diserahkan kepada KY, padahal Ketua KY mengakui kelebihan manajemen MK daripada KY. Tentu saja sulit menerima lembaga yang tertinggal jauh dari sisi sistem informasi (sebagai salah satu contoh : dapat membandingkan portal KY dengan MK) melakukan pengawasan terhadap lemabag yang lebih baik. Namun, bekerjasama dengan KPK dalam pengawasan juga kurang tepat. Karena kerjasama ini akan menambah beban kerja KPK yang seharusnya menyelesaikan semua kasus KKN dimuka bumi Indonesia.

Lalu, siapa dan bagaimana pengawasan dilakukan terhadap Hakim MK? Terlebih bila MK menyukai kata “menjaga” dari pada “pengawasan”. Menjawab pertanyaan ini, Penulis menyampaikan saran pada Diskusi Publik Mahkamah Konstitusi Mendengar. Saran Penulis adalah membentuk suatu majelis yang dipercayai, disegani dan dihormati oleh Hakim MK yang sedang menjabat.

Penulis memberikan satu pilihan nama yaitu Majelis Pertimbangan dan Konsultasi Mahkamah Konstitusi atau disingkat dengan MPK MK. Sesuai dengan namanya, MPK MK bekerja untuk memberikan pertimbangan dan tempat berkonsultasi Hakim MK. Kerja-kerja memberikan pertimbangan dan konsultasi akan memudahkan kerja-kerja pengambilan keputusan untuk memutuskan setiap perkara.

Pilihan pembentukan MPK MK bisa dilaksanakan mengingat MK sdauh pernah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi terkait majelis sejenis. Misalnya, Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, ada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi. Selanjutnya, tidak sulit bagi MK untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Tahun 2017 tentang Majelis Pertimbangan dan Konsultasi Mahkamah Konstitusi (MPK MK).

Alumni Kembali ke MK

Di lain sisi, kedepannya Hakim MK bisa mengurangi jumlah Saksi Ahli disetiap persidangan. Karena Hakim MK sendiri sudah ahli, bila ditambah MPK MK maka putusan MK adalah putusan terbaik bagi publik yang meminta Penafsir Utama Konstitusi dalam menyelesaikan masalah kekinian. Mengingat beban kerja MPK MK, maka masalah yang akan dipertanyakan publik adalah siapa orangnya?

Penulis beranggapan bahwa orang yang bisa menjadi tempat berkonsultasi dan memberikan pertimbangan sekaligus mengawasi (mengevaluasi) adalah mereka yang paham betul dengan situasi MK. Selain itu, MPK MK harus lah orang-orang yang cukup senior sehingga bisa dijadikan alasan agar Hakim MK bisa menghormati dan menyegani MPK. Jika Majelis Kehormatan sesuai Pasal 3 PMK 1/2013 terdiri dari satu orang Hakim Konstitusi, satu orang pimpinan Komisi Yudisial, satu orang mantan Pimpinan lembaga negara, satu orang orang mantan Hakim Konstitusi atau Hakim Agung, dan satu orang Guru Besar senior.

Sedangkan Pasal 6 PMK 2/2013, Dewan Etik terdiri dari satu orang mantan Hakim Konstitusi, satu orang akademisi dan satu orang tokoh masyarakat. Maka, dalam PMK 2017 tentang MPK MK memuat Pasal terkait Keanggotaan dan Susunan yang keseluruhan anggota MPK MK adalah mantan Hakim Konstitusi. Dengan demikian, kita bisa mengklasifikasikan beberapa nama untuk mengisi posisi MPK MK. Iya, mereka yang mengisi MPK MK adalah Alumni Hakim MK.

Dari semua Alumni MK, bisa ditentukan seminimalnya sebanyak lima (5) sampai tujuh (7) orang. Mekanisme pemilihannya dengan menghimpun suara diantara para Hakim MK lalu mengonfirmasi kepada para senior. Bila yang dikonfirmasi menyatakan setuju, maka Hakim MK mengeluarkan SK untuk mengangkat MPK MK. Setelah bekerja, maka MPK MK secara tidak langsung menjadi Revisi PMK 1 dan 2 Tahun 2013. Karena kerja-kerja Mahakamah Kehormatan dan Dewan Etik sudah include kedalam kerja-kerja MPK MK.

Kembali mengingatkan bahwa Hakim MK adalah Negarawan, begitu juga para alumni Hakim MK. Maka, anggapan bahwa MPK MK tidak bisa bekerjasama dengan Hakim MK sangat mustahil. Kenapa? Karena antar Negarawan pasti saling memahami. Tidak mungkin terdengar perseteruan antara Hakim MK dengan MPK MK. Kecuali, kata “Negarawan” ini sudah hilang dari prilaku alumni dan Hakim MK.

Sebagai catatan akhir, Penulis menyadari bahwa akan muncul perdebatan di dunia maya terkait “pengawasan”, “menjaga hakim” atau “MPK MK”. Apapun yang diperdebatkan merupakan bukti nyata bahwa MK masih dicintai dan disayangi. Saat ini, semua pilihan Hakim MK dengan konsep “cepat, tepat” dibutuhkan dari pada meladeni setiap isu. Selamat bekerja Negarawan Indonesia sebagai Wakil Tuhan dimuka bumi nusantara.

 

Andrian Habibi

Deputi Kajian Komite Independen Pemantau pemilu (KIPP) Indonesia, Staf Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)

Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu