x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melonggarkan Simpanan Bank ~ Haryo Kuncoro

Pertumbuhan kredit yang tidak sebanding dengan arus dana pihak ketiga membawa perbankan pada persoalan pada fungsi intermediasi keuangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Haryo Kuncoro

Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perbankan tengah galau. Suku bunga kredit perbankan dalam tren menurun, namun permintaan kredit belum juga membaik. Hingga Juli 2017, kredit perbankan hanya tumbuh 8,2 persen year-on-year, sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 7,7 persen.

Alih-alih meredam perlambatan ekonomi, rumah tangga malah menahan konsumsi. Dunia usaha pun menunda aktivitas bisnisnya. Keduanya lebih memilih menyimpan dananya di perbankan. Pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan pada Juli 2017 year-on-year tercatat 9,7 persen, didorong oleh tabungan dan deposito.

Pertumbuhan kredit yang tidak sebanding dengan arus dana pihak ketiga membawa perbankan pada persoalan yang lebih hakiki, yakni fungsi intermediasi keuangan. Bank mampu menghimpun dana, tapi kesulitan menyalurkannya.

Dalam konteks inilah, Bank Indonesia berencana mengeluarkan stimulus dari domain kebijakan makroprudensial. Aturan rasio pinjaman terhadap pembiayaan (loan-to- funding ratio/LFR) akan direlaksasi. Definisi "loan" diperluas, bukan hanya penyaluran kredit, tapi juga pembelian obligasi korporasi.

Artinya, bank diberi kelonggaran diversifikasi portofolio. Dengan memasukkan obligasi korporasi, LFR bertransformasi menjadi rasio pembiayaan terhadap pendanaan (financing-to-funding ratio/FFR). Dengan demikian, bank mempunyai alternatif penyaluran kelebihan likuiditas guna mengerek kontribusi pembiayaan terhadap perekonomian.

Bagi korporasi, rancangan kebijakan ini positif untuk mendapatkan alternatif sumber pembiayaan yang lebih murah. Dengan begitu, sektor korporasi didorong lebih aktif menerbitkan obligasi atau surat berharga komersial sejenis. Walhasil, pendalaman pasar keuangan adalah tujuan lain yang dibidik dari relaksasi FFR.

Hanya, beberapa persoalan mendasar perlu diselesaikan terlebih dulu agar relaksasi berjalan mulus. Penyaluran kredit dan pembelian obligasi korporasi memiliki karakteristik berbeda. Masing-masing memiliki pangsa pasar dengan perolehan imbal hasil yang berbeda pula. Nuansa segmentatif membuat keduanya tidak mudah bersubstitusi.

Tesis di atas tampaknya terbukti. Tren penurunan suku bunga kredit dan ketersediaan pasokan belum menjadi daya tarik bagi debitor datang ke bank untuk bertransaksi kredit. Analoginya, pelonggaran FFR juga tidak serta-merta membuat korporasi menerbitkan obligasi.

Kalaupun banyak korporasi menerbitkan obligasi, masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Obligasi menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi. Sebagai entitas bisnis, bank akan menempatkan dananya pada instrumen yang paling atraktif.

Sudah menjadi hukum alam bahwa imbal hasil yang tinggi mengandung risiko yang lebih tinggi pula. Risiko kredit, berupa kredit macet ataupun default, niscaya masih lebih rendah daripada risiko obligasi. Sementara risiko kredit bisa direasuransikan, risiko obligasi korporasi tidak mudah digeserkan.

Sepertinya, relaksasi FFR terinspirasi dari peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mewajibkan industri asuransi untuk berinvestasi pada Surat Berharga Negara (SBN). Ketika dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 negara menjamin pembayaran kupon dan pokok SBN sampai jatuh tempo, obligasi korporasi berpedoman pada rating yang menyisakan risiko substansial.

Persoalan di atas potensial juga terjadi pada sisi hulu. Bank mengalokasikan simpanan masyarakat yang bersifat jangka pendek untuk kebutuhan permintaan kredit dengan spektrum waktu jangka pendek pula. Adapun ciri obligasi korporasi tipikal menyedot dana dalam jumlah yang material dan berjangka panjang.

Kebutuhan bank atas pendanaan jangka panjang hanya bisa diperoleh dari pasar modal. Konsekuensinya, kebijakan FFR bisa jadi akan menggeser sumber pendanaan perbankan dari masyarakat menuju pasar modal. Celakanya, masyarakat masih awam tentang pasar modal sehingga tidak bisa segera memindahkan dananya ke sana.

Kekhawatiran ini masuk akal. Pasalnya, BI tengah mempertimbangkan surat utang jangka menengah (medium term note/MTN), negotiable certificate deposit (NCD), dan commercial papers atau surat berharga komersial (SBK) dalam perhitungan FFR. Isunya kembali pada kompatibilitas antar-aset.

Dalam skala yang lebih luas, relaksasi FFR juga menuntut kemampuan suku bunga acuan dalam mempengaruhi imbal hasil obligasi korporasi, MTN, NCD, dan SBK, termasuk SBN. Tanpa itu, kredit perbankan semakin terdesak dan lagi-lagi berdampak pada fungsi intermediasi perbankan.

Relaksasi dari LFR menuju FFR juga berimbas pada peran bank. Format perbankan nantinya sekaligus menjadi lembaga investasi. Walhasil, prinsip kehati-hatian adalah hal yang mutlak. Kebangkrutan lembaga investasi Lehman Brothers yang memicu krisis finansial 2008 patut menjadi referensi.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler