x

Ilustrasi gelas wine. shutterstock.com

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tuak

Seperti Bordeaux, Sababy Wine awalnya justru lebih disukai orang asing masyarakat Inggris ketimbang orang-orang di negara asalnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari lalu, di media sosial berseliweran share tentang wine asal Bali yang berhasil menembus pasar Internasional. Banyak yang kaget, tak sedikit juga yang terpesona dengan capaian prestasi Sababay Wine, merk wine tersebut, yang selama ini tidak populer di pasar lokal. Jalan Sababay Wine dalam menjajaki pasar wine nasional maupun internasional tidak mudah. Seingat kepala kecil saya, awalnya Sababay Wine tidak diterima oleh masyarakat kita. Justru Australia-lah pangsa pertama yang menerima dan mengakui kualitas Sababay Wine.

Untuk hal ini, saya jadi teringat Bordeaux, jenis wine dunia asal Perancis. Ya, para penikmat wine pasti tak asing dengan nama ini. Anggur yang diproduksi sejak abad 12 ini kian hari kian banyak penikmatnya. Mirip dengan kisah pemasaran Sababy Wine, Bordeaux di awal perkenalannya justru lebih disukai masyarakat Inggris ketimbang orang-orang di negara asalnya. Saat ini, tercatatat ada 8500 merk yang memproduksi Bordeaux, dengan total produksi mencapai 700 juta botol per hari.

Di negara ini beredar puluhan merk minuman beralkohol, walaupun peredarannya diatur dengan jalur distribusi ketat dan aturan yang berlapis. Sebut saja nama Chivas Regal, Cointreau, Johny Walker, Jagermeifter, Martini, Vermouth, Dubonnet, Bacardi, Bailey, dan masih banyak lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Itu baru merknya, belum jenisnya--red label, black label, long island, gin, cognac, tequilla, dan lain sebagainya. Dengan harga yang tidak murah, minuman beralkohol dijual dalam sloki maupun langsung dengan botolnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktanya, di negara ini banyak sekali minuman beralkohol yang khas, pun rasanya tak kalah enak. Di berbagai daerah dari Sumatera sampai Papua, ada beragam jenis tuak tradisional yang menjadi ciri khas daerah masing-masing. Sayangnya, tuak khas Indonesia yang lumayan moncer namanya, baik di kancah nasional maupun internasional, lagi-lagi ya hanya dari Bali, yang lebih kita kenal sebagai Brem Bali. Mereka yang pernah mencicipi Cooler umumnya setuju bahwa rasa Brem Bali jauh lebih enak timbang Cooler. Padahal, harga Cooler jauh lebih mahal ketimbang Brem.

Sangat disayangkan pemerintah dan masyarakat kita belum mau melihat sisi positif dari pengembangan bisnis minuman beralkohol. Ini adalah sebuah paradoks ketika kita sering terpesona dengan Soju Korea atau Sake Jepang. Padahal, apa bedanya Soju maupun Sake dengan tuak dan arak yang dihasilkan masyarakat di berbagai pelosok Nusantara?

Masyarakat kita masih menganggap semua itu hal yang tabu, yang tak patut, yang saru, yang menyalahi norma-norma etika. Padahal, memproduksi, bukan berarti harus mengkonsumsi to? Hawong yang punya pabrik baju saja jarang yang mau memakai bikinan pabriknya sendiri dan memilih belanja di butik, walaupun esensinya sama: baju.

Semua hal yang berlebihan pasti akan mendatangkan kerugian. Tapi jika dinikmati sesuai porsinya, secukupnya saja, tak mungkin ada masalah yang berarti. Sejujurnya, saya bermimpi, suatu saat arak dan tuak buatan Nusantara bisa sejajar dengan Soju, Sake, dan jenis minuman luar negeri lainnya. Tapi rasa-rasanya, mimpi tersebut akan benar-benar sekedar mimpi di siang bolong. Mengingat rokok saja sedang gencar-gencarnya ditabukan di mana-mana hehehe

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler