x

Ilustrasi beasiswa. shutterstock.com

Iklan

Arnold Japutra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bobroknya Perguruan Tinggi di Indonesia, Siapa Salah?

Dunia akademik di Indonesia dikejutkan dengan berita mengenai isu Doktor “karbitan” dan plagiarisme. Kenapa hal-hal seperti ini dapat terjadi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu yang lalu dunia akademik di Indonesia dikejutkan dengan berita mengenai isu Doktor “karbitan” dan plagiarisme di sebuah perguruan tinggi (PT) terkemuka di Indonesia. Belum mereda, muncul lagi sebuah berita mengenai indikasi pelanggaran etika yang mencederai peningkatan mutu dunia akademik di PT lain di Indonesia. Tentu ini berbeda dengan waktu pemerintah melakukan penutupan beberapa PT liar yang beroperasi dan memberikan ijasah palsu. Kedua kasus ini melibatkan dua PT negeri yang bereputasi di Indonesia (terakreditasi oleh BAN-PT). Kedua PT ini juga memiliki program doktoral (S3) yang notabene tidak mudah untuk dibuka dan diselenggarakan. Lalu, kenapa hal-hal seperti ini dapat terjadi?

 

Pemicu bobroknya PT di Indonesia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam ilmu Ekonomi dikemukakan mengenai hukum demand-supply. Begitu pula dalam ilmu Pemasaran, jika ada kebutuhan dan keinginan yang disertai potensi untuk membeli, maka disana tercipta pasar. Gelar akademik sekarang ini bukan saja menjadi simbol atau status sosial, tetapi telah menjadi salah satu prasyarat untuk mengampu jabatan tertentu. Tidak sedikit institusi yang mensyaratkan jabatan tertentu diampu oleh seseorang dengan gelar Doktor. Meleburnya kedua demand ini membuat program doktoral menjadi salah satu opsi favorit serta menjadi pemicu pertama. Masalahnya, tidak gampang untuk lulus dari program doktoral. Alasan utama adalah riset yang dilakukan harus orisinil dan berkontribusi dalam pengembangan bidang ilmu. Alasan lain adalah keterbatasan jumlah dosen yang mampu membimbing. Oleh karena itu, banyak yang memilih jalan singkat untuk memperoleh gelar Doktor.

Pemicu kedua adalah diterbitkannya PerMenristekdikti No. 20 tahun 2017. PerMen ini menjadi polemik di berbagai PT di Indonesia, baik PTN maupun PTS. PerMen ini mengharuskan seorang dosen dengan jenjang jabatan akademik tertentu (Lektor Kepala dan Guru Besar) untuk mempunyai sejumlah publikasi baik di jurnal nasional maupun internasional yang bereputasi (terindeks Scopus). Apakah ini salah pemerintah? Pemerintah mengeluarkan PerMen ini karena PT di Indonesia tertinggal jauh dari beberapa negara tetangga (Malaysia, Thailand dan Vietnam). Bukankah sudah seharusnya bahwa seorang dosen dengan jabatan akademik Lektor Kepala dan Guru Besar mampu untuk mempublikasikan artikelnya, terutama di jurnal internasional yang bereputasi? Pemerintah rutin memberikan tunjangan untuk mendukung hal tersebut. Namun, pemerintah juga perlu menyadari bahwa mereka diangkat dan diberikan jabatan akademik tersebut bukan karena hasil riset yang dipublikasikan di jurnal. Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari jalan keluar terbaik untuk hal ini.

Pemicu ketiga adalah terbitnya kebijakan kebijakan baru pengelola PT yang cukup mencengangkan. Banyak PT yang mengharuskan para dosennya untuk setidaknya menerbitkan satu artikel setiap tahunnya di jurnal yang terindeks Scopus. Jika tidak, para dosen akan mendapatkan nilai 0 (nol) pada review kinerja tahunan dan akan diberikan sanksi. Para dosen berlomba-lomba untuk menerbitkan artikel mereka dengan cara apapun. Hal ini sangat berbahaya dan akan membuat dunia pendidikan di Indonesia semakin terpuruk.

 

Jalan keluar dari permasalahan 

Permasalahan bobroknya PT di Indonesia sudah seperti fenomena gunung es. Tidak dapat dipungkiri bahwa para pihak terkait perlu untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah harus menyiapkan landasan dan dukungan (misal: akses jurnal dan data yang baik) yang kuat agar PerMen dapat dieksekusi dengan baik. Selain itu pemerintah tidak boleh seenaknya memberikan batasan waktu tanpa berusaha membantu menyelesaikan masalah ini. Waktu untuk menerbitkan artikel di jurnal yang sangat baik (Scopus Q1) memakan waktu paling cepat 2 tahun. Pemerintah harus bekerjasama dengan pengelola PT untuk mempersiapkan para dosen dengan baik.

Seharusnya dibuat dua jalur karir akademik, jalur periset dan jalur pengajar. Inggris baru-baru ini menetapkan bahwa para dosen tidak harus selalu ada di jalur periset (“Research Excellence Framework”) namun juga jalur pengajar (“Teaching Excellence Framework”). Ini bukan berarti menjadi lepas dari Tridharma PT, dimana setiap dosen harus melakukan riset dan pengajaran. Bobot keduanya diatur sesuai dengan kemapuan dan pilihan masing-masing dosen. Remunerasi yang diberikan juga harus disesuaikan. Hal ini butuh dukungan dan pengawasan yang baik. Pengawasan tidak cukup dilakukan hanya pada saat proses akreditasi.

Pengelola PT juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah besarnya dengan pemerintah. Kebijakan internal harus dibuat dengan tujuan mendukung dan bukan menekan. Butuh waktu untuk mempersiapkan dan membangun fondasi yang kuat. Penjaminan mutu (misal: sertifikasi ISO) saja tidak cukup. PT juga harus menerapkan sistem governance yang baik. Akhirnya, peran dosen juga cukup vital. Walaupun jalur yang ditempuh adalah jalur pengajar, tidak berarti dosen tidak berpikir untuk melakukan riset. Bukankah ini yang membedakan seorang dosen dari guru?  

Ikuti tulisan menarik Arnold Japutra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler