x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Referandum Kurdistan dan Kemungkinan Perang

Memerangi dan/atau mengalahkan pasukan Peshmerga Kurdistan bukan perkara mudah bagi pasukan Irak. Diperlukan gelar pasukan skala massif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti diduga oleh banyak kalangan sebelumnya, hasil referandum Kurdistan melampaui perkiraan. Komisi Tinggi Referandum Kurdistan, pada 27 September 2017 mengumumkan hasil referandum: jumlah pemilih yang memilih “Ya” untuk berpisah dari Irak sebanyak 92 persen dari total pemilih yang mencapai sekitar 4 juta orang. Jumlah partisipasi mencapai 72,16 persen. Semua tahapan proses referandum berjalan sukses dan lancar di bawah pengawasan pemantau dari luar maupun dalam negeri. Hasil ini selanjutnya akan disahkan oleh Pengadilan Banding.

Segera setelah hasil referandum diumumkan, warga di tiga provinsi utama Kurdistan (Arbil, Dahuk dan Sulaimaniyah) turun ke jalan, yang berkendara membunyikan klakson, ceria tawa terlihat di wajah hampir semua warga, sambil mengibarkan bendera Kurdistan dengan tertawa dan senyum sumringah.

Tapi suasana itu di pihak warga Kurdistan. Kondisinya berbeda 180 deratjat di pihak pemerintah Irak.

Kira-kira bersamaan dengan waktu pengumuman, dalam sebuah sidang darurat Kabinet di Baghdad, Parlemen Irak kembali memaksa PM Haedar Abbadi, sebagai Panglima Tertinggi Militer Irak, agar segera mengambil segala bentuk tindakan guna menjaga kesatuan Irak, sekaligus menyebar pasukan militer di wilayah yang masih disengketakan antara Pemerintahan Federal dengan Kurdistan Regional Government (KRG), untuk mengembalikanya ke posisi sebelum 10 Juni 2014, terutama di wilayah provinsi Kirkuk.

Parlemen Irak juga mendesak Perdana Menteri (PM) Hedar Abbadi untuk segera menutup semua akses perbatasan KRG dengan negara tetangga, dan meminta kerjasama negara-negara tetangga untuk memaksimalkan pelaksanaan keputusan penutupan akses perbatasan.

PM Haedar Abbadi menegaskan bahwa Pemerinah Federal Irak di Baghdad akan menguasai seluruh wilayah Irak berdasarkan Konstitusi, tidak ada pertempuran antara sesama warga Irak, sekaligus mengimbau KRG untuk membatalkan hasil referandum sebelum memasuki tahapan perundingan berdasarkan Konstitusi, dan Abbadi dengan tegas menolak dialog terkait hasil referandum.

Selain itu, Pemerintah Federal Irak juga meminta dan mengultimatum KRG untuk segera menyerahkan pengelolaan dua bandara Kurdistan (di Erbil dan Sulaimaniyah) kepada Lembaga Penerbangan Sipil Irak paling telat Jumat, 29 September 2017.

Pada saat yang hampir bersamaan, Lembaga Penerbangan Sipil Irak telah meminta semua maskapai penerbangan dunia untuk menghentikan rute penerbangannya ke/dari Arbil dan Sulaimaniyah. Sampai artikel ini ditulis, tercatat tiga penerbangan yang sudah membekukan atau menghentikan penerbangannya ke Erbil, yaitu Middle East Airline (Lebanon), Pegasus Airline (Turki), EgyptAir (Mesir). Tentu saja penutupan Bandara di wilayah Kurdistan ditolak mentah-mentah oleh KRG.

Jika mencermati semua perkembangan sejak sebelum-sedang-sesudah Referandum Kurdistan, yang digelar pada 25 September 2017, bisa disimpulkan bahwa posisi masing-masing Pemerintah Federal Irak dan KRG berada pada punck posisi vis-a-vis.

KRG bersikukuh tetap menggelar Referandum, menolak semua ancaman Pemerintah Federal Irak di Baghdad, tidak peduli dengan imbauan negara-negara tetangga dan sejumlah negara utama di dunia untuk menunda atau membatalkan referandum.

Sementara Pemerintah Federal Irak di Baghdad menegaskan, tidak akan menerima atau mengakui hasil Referandum. Baghdad juga berkoordinasi dengan negara tetangga (khususnya Turki dan Iran) untuk mengepung KRG dengan cara menutup semua akses perbatasan ke/dari Kurdistan.

Artinya, posisi vis-a-vis itu, jika tak terkontrol memang sangat berpotensi memicu perang, dengan hanya satu kasus pemantik. Namun terkait kemungkinan terjadinya perang, ada sejumlah catatan yang layak dicermati, sebagai berikut:

Pertama, memerangi dan/atau mengalahkan pasukan Peshmerga Kurdistan bukan perkara mudah. Dan tampaknya, pasukan Irak tidak memiliki kesiapan mental untuk mengawali perang baru. Selain itu, memerangi Peshmerga Kurdistan memerlukan pasukan skala besar dan wilayah operasi yang sangat luas, dan itu yang tidak sanggup dilakukan oleh Irak saat ini, meskipun Baghdad didukung sepenuhnya oleh Turki dan Iran.

Kedua, meskipun hampir semua kekuatan global (Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris) tidak mendukung pelaksanaan Referandum Kurdistan, tetapi semuanya mengajak kedua pihak (Bagdad dan KRG) untuk menyelesaikan konflik akibat Referandum melalui meja perundingan. Alasannya, Irak dan pasukan sekutu belum tuntas memerangi ISIS di Irak, dan masih sibuk membebaskan kota Raqqa di Suriah. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk memicu perang baru antara Kurdistan dan Pemerintah Federal Irak. Apalagi pasukan Kurdistan merupakan unsur penentu yang diperlukan untuk menuntaskan pertempuran melawan ISIS.

Ketiga, kemungkinan yang paling mugkin dilakukan oleh Baghad adalah memaksimalkan kerjasama dengan Iran dan Turki guna mengefektikan pengepungan darat dan udara terhadap wilayah Kurdistan, sambil menunggu perkembangan lanjutannya. Dan tampaknya pihak KRG sudah memperhitungkan semua kemungkinan terburuk akibat pelaksanaan Referandum.

Menarik untuk terus dicermati.

Syarifuddin Abdullah | 28 September 2017 / 08 Muharram 1439H.

Sumber foto ilustrasi: theeconomist.com.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler