x

Mantan Tahanan Politik kasus 1965/1966 yang dituduh sebagai anggota simpatisan PKI, Mahmuri, bersama para korban tapol yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan kesekian ratus kalinya, di depan Istana Merd

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Utang Kasus 1965 ~ Gita Putri Damayana

Namun tanggung jawab penuntasan kasus 1965 sesungguhnya lebih pada kehendak politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gita Putri Damayana

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Universitas Indonesia

Seminggu lebih sesudah aksi massa yang konon ingin membubarkan diskusi komunisme di LBH Jakarta, rekam sejarah apa yang tersisa bagi generasi penerus? Berita yang beredar adalah pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengenai pentingnya menonton kembali film Pengkhianatan G 30 S/PKI dan pemesanan 5.000 pucuk senjata secara gelap. Sesudah pernyataan Gatot, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Wiranto membuat rilis yang isinya mengklarifikasi soal pemesanan senjata yang sebetulnya ditujukan untuk Badan Intelijen Negara serta dorongan untuk menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Dinamika di publik selanjutnya terentang dari beredarnya video parodi berisi cuplikan adegan film tua tersebut hingga talkshow demi talkshow yang intinya membahas kemungkinan bangkitnya Partai Komunis Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang kuat terasa dari rangkaian peristiwa ini adalah absennya pembicaraan yang dewasa tentang peristiwa 1965. Diskusi yang seharusnya diselenggarakan pada 16 September itu berencana menghadirkan akademisi dan sejarawan yang akan menelusuri fakta lebih lanjut mengenai peristiwa yang berkaitan dengan PKI. Namun kerusuhan di depan LBH Jakarta tersebut menghentikan semua diskusi produktif itu.

Sebetulnya bola penuntasan pengungkapan peristiwa 1965 ini ada di pemerintah. Pada 2012, Komnas HAM telah menyerahkan Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Kasus 1965-1966 kepada Jaksa Agung Basrief Arief. Dalam laporan tersebut, yang dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai situasi keamanan adalah para individu yang secara struktural masuk dalam jajaran Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Namun tanggung jawab penuntasan kasus 1965 sesungguhnya lebih pada kehendak politik. Pemerintah Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi HAM, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi HAM. Namun kebijakan HAM ini lebih menekankan pada kesiapan kementerian pusat dan daerah untuk aksi HAM; penyiapan dan evaluasi rancangan peraturan; peningkatan kesadaran masyarakat soal HAM; serta pengkomunikasian kebijakan yang spesifik soal perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Soal peristiwa 1965, dalam berbagai kesempatan Jaksa Agung M. Prasetyo mengungkapkan keinginan pemerintah untuk mengedepankan pendekatan non-yudisial, mengingat peristiwa itu telah lama berlalu.

Pemerintah Joko Widodo memiliki langkah positif dengan menggelar simposium nasional yang membedah tragedi 1965. Simposium itu bertempat di Hotel Aryaduta, Jakarta, dan dihadiri oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Meski diwarnai dengan demonstrasi di luar hotel, simposium berjalan lancar dan melahirkan berbagai rekomendasi bagi pemerintah Joko Widodo sebagai pijakan pengambilan kebijakan. Namun, sejak simposium tersebut, tidak tercatat ada langkah lebih lanjut soal peristiwa 1965 selain penolakan pemerintah untuk meminta maaf kepada korban.

Keengganan untuk konsisten memulai pembicaraan bermakna mengenai peristiwa 1965 telah menyandera kita terlalu lama. Padahal, pada 2014, sudah terjadi kampanye hitam yang menuduh orang tua Presiden Joko Widodo sebagai anggota PKI. Kini, isu PKI bertebaran lagi, dari infografis dalam bentuk pesan pendek hingga materi khotbah- suatu bukti bahwa peristiwa 1965 masih relevan menjadi kunyahan politik. Pendekatan pemerintah untuk menyelesaikan secara sepihak melalui rekonsiliasi seolah-olah menutup pintu bagi ruang diskusi dan pengungkapan fakta serta terkesan mengecilkan intelektualitas publik.

Komodifikasi peristiwa 1965 sebagai bagian dari tawar menawar politik harus segera diputus rantainya. Yang menjadi korban lebih lanjut bukan lagi mereka sudah terstigma menjadi PKI, tapi generasi penerus. Merekalah yang kini menjadi obyek oleh aktor-aktor dengan kepentingan pragmatis. Perlu ada tawaran yang terang, jelas, dan tegas dari pemerintah untuk mencegah berlarut-larutnya hal ini.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah. Pertama, memberikan respons yang tegas dengan memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti Laporan Komnas HAM. Kedua, semua diskusi atau pembahasan publik mengenai peristiwa 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya perlu mendapat jaminan keamanan dan tidak dibubarkan dengan alasan klasik tanpa izin yang khas Orde Baru.

Ketiga, pemerintah perlu bersikap tegas bahwa tidak ada yang tabu dalam pembicaraan mengenai peristiwa 1965 dan berbagai kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Semua data dan fakta berkaitan dengan pelanggaran HAM berat perlu dibawa ke tempat terang agar semua pihak bisa melihat, berpikir, dan menentukan sikap. Tanpa usaha kita bersama untuk membicarakan secara dewasa salah satu episode kelam sejarah ini, maka kita akan melahirkan generasi yang gagal paham mengenai keindonesiaannya.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu