x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Merangkak, Berjalan, Berlari daripada Pak Harto

Belajarlah dari yang terbaik. Dari lelaki yang senantiasa muncul di tempat dan momen yang tepat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belajarlah dari yang terbaik. Dari lelaki yang senantiasa muncul di tempat dan momen yang tepat. Lelaki itu tahu kapan harus bersikap, menahan diri, atau melaju kencang. Ia meraih kekuasaan dengan penuh perhitungan. Sembari mikul duwur mendem jero, ia pelan-pelan meresapi falsafah lain, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Inilah kisah lelaki itu...

Merangkak

Pada 1958, Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro, Kolonel Suharto menemani Presiden Sukarno saat berkunjung ke Jawa Tengah. Dalam perjalanan itu terjadilah obrolan yang menarik di antara keduanya. Kolonel Suharto coba angkat bicara terkait eksistensi Partai Komunis Indonesia (PKI) di wilayah Jawa Tengah. Sang kolonel resah karena pascapemilu 1955, PKI berhasil menguasai Jawa Tengah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “PKI sudah menang, Pak. Apakah PKI tidak membahayakan daripada Pancasila?” tanya Suharto kepada Bung Karno.

“Ini kenyataan, PKI mendapatkan dukungan daripada rakyat. Adalah kekuatan yang harus kita perhatikan dan perhitungkan. Karena itu kita harus berjuang untuk menjadikan PKI itu PKI Pancasila,” tanggap Bung Karno.

“Apa mungkin, Pak?” tanya Suharto lagi.

“Ini perjuangan Bapakmu. Serahken kepada saya. Kamu jangan turut-turut,” tegas Bung Karno. Suharto, pemegang teguh falsafah Jawa ‘mikul duwhur mendem jero’, manggut-manggut mendengar sasmita Presidennya.

Tak lama setelah obrolan itu, setahun kemudian, pada 17 Oktober 1959 Kolonel Suharto dicopot dari posisinya sebagai Panglima Diponegoro oleh Jenderal Nasution. Pencopotan itu berkaitan dengan penyalahgunaan institusi militer untuk menarik uang dari perusahaan-perusahaan. Ia nyaris dipecat bahkan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani –juniornya. Namun, karier Suharto diselamatkan oleh Gatot Subroto. Suharto disekolahkan di Bandung sekaligus memulihkan kariernya.

Jalan hidup memang tak ada yang tahu. Seorang yang berperan penting dalam peristiwa Serangan Umum Satu Maret pada 1949 jatuh terjerembab dalam karier keprajuritannya. Serangan Umum adalah batu pijaknya. Heroisme yang kemudian terekam dalam film Janur Kuning dan cerita bergambar Merebut Kota Perjuangan –dua karya yang lahir saat ia berkuasa kelak.  

Sebagai prajurit yang terbiasa dengan bau mesiu dan palagan, duduk di balik meja belajar pasti sangat membosankan. Namanya tercatat saat memadamkan pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan. Namun, ia mengikuti kursus C Sekolah Staf dan Komando AD di Bandung, Jawa Barat. Konon, keterbatasan berbahasa Inggris menjadi salah satu sandungannya.

Tak lama, ia ditarik ke Jakarta. Apa yang terjadi kemudian adalah titik balik. Setelah memperoleh satu bintang di pundaknya, kariernya yang sempat redup perlahan membaik. Setelah diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) pada 1962, Suharto pun ditunjuk sebagai Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat.

Ia adalah seorang lelaki pecinta keluarga. Ketika jam makan siang, ia lebih memilih kembali ke rumahnya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, demi menikmati masakan khas Jawa buatan sang istri yang sedap –plus sambil ulek yang tiada tandingan. Sementara beberapa pejabat, termasuk petinggi militer setingkatnya, memilih memarkirkan mobilnya di Hotel Indonesia.

Momentum besar itu terjadi pada 30 September 1965. Seorang bawahannya, Kolonel Latif memberitahu akan  pergerakan mengambil sejumlah jenderal untuk dibawa menghadap Presiden Sukarno. Jenderal-jenderal yang ada di daftar itu adalah rekan sekaligus rivalnya dalam karier militer. Tapi, ia lebih memilih mengabaikan informasi itu dan sibuk mengurus anak lelaki bungsunya yang tersiram kuah panas. Anak itu istimewa. Ada ‘Mandala’ dalam penamaan si bungsu–diambil dari Operasi Mandala, titik penting bagi pemulihan kariernya.  

Apa yang terjadi kemudian, berdasarkan tuturannya, adalah hari-hari penuh perhitungan. Ia mengambil alih pimpinan Angkatan Darat karena Ahmad Yani belum ditemukan –Bung Karno sendiri sejatinya menunjuk Pranoto sebagai pelaksana tugas. Tiga hari kemudian, ia memimpin sendiri operasi pengangkatan jenazah koleganya dari sebuah sumur maut di Lubang Buaya.

Di hadapan corong RRI, ia meluapkan kegeramannya atas tindakan biadab tersebut. “Mungkin apa yang diamanatkan oleh bapak Presiden Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi yang sama-sama kita cintai ini bahwa AU tidak terlibat dalam persoalan ini “mungkin ada benarnya”, akan tetapi tidak mungkin tidak ada hubungan daripada peristiwa ini dengan oknum-oknum daripada Angkatan Udara,” ujarnya pada saat penggalian jenazah. Kata-kata yang bijak meski tampak jelas bersayap. Ia nencintai Panglima Tertinggi setengah hati: memuji tapi menafikan pendapatnya di muka publik. Pada pengangkatan jenazah itu, ia sudah membidik PKI sebagai dalang penculikan.    

Apakah Suharto membangkang? Kembali lagi pada falsafah Jawa mikul duwur mendhem jero. Ia adalah figur yang sangat bersandar pada nilai-nilai kebatinan Jawa. Patuh kepada orang tua adalah kewajiban. Apalagi, dalam sebuah kesempatan, ia mengakui Bung Karno dia anggap sebagai “Bapak sendiri”.  Hubungan antara ia dan Bung Karno kian intens. Ia telah memegang jabatan strategis sebagai Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Langkahnya sangat penuh perhitungan. Alon-alon asal kelakon. Meski, ia mengakui bahwa ada tuntutan dari sekelilingnya untuk segera mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno. Ia justru menolak gagasan itu karena ingin peralihan berlangsung secara konstitusional.

Sebagai prajurit, Suharto amat menjaga wibawa Presiden Panglima Tertinggi Panglima Besar Pemimpin Besar Revolusi. Ia membujuk Bung Karno untuk membubarkan PKI, seperti tuntutan massa saat itu. Bung Karno merasa pembubaran PKI bertolak belakang dengan cita-cita Nasakom yang terlanjur ia perkenalkan ke panggung dunia. Lalu, ia mengambil tanggung jawab Bung Karno itu dengan membubarkan PKI, sehari setelah ia mendapatkan surat perintah pada sebelas maret 1966.

Berjalan

Konon, lelaki itu adalah pendengar dan pencatat yang baik. Ia pembelajar yang cepat. Pada 25-31 Agustus 1966, diadakan Seminar Angkatan Darat kedua di Bandung, Jawa Barat. Seminar ini mengundang sejumlah pakar dan akademisi untuk membicarakan persoalan negara yang terpuruk akibat krisis ekonomi yang parah. Pada seminar itu, lelaki itu terpesona pada angka-angka yang dipaparkan oleh ekonom muda bernama Widjojo Nitisastro.

Pada seminar itu, Widjojo hadir bersama dengan ekonom UI lainnya seperti Sadli, Sarbini, Subroto, dan Emil Salim. Sang Jenderal pun terpesona pada pemaparan-pemaparan para akademisi lulusan Amerika Serikat itu. Ia terpesona dengan gagasan-gagasan yang selama ini mungkin asing di tengah konsepsi Manipol-Usdek hingga Nasakom. Ya, memang pada 1966 ia belum berkuasa sepenuhnya. Namun, secara de facto, ia telah mengalihkan kekuasaan Bung Karno kepadanya.

Pada sebuah kesempatan, Bung Karno berpidato yang menyoroti Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang berpotensi membuatnya kehilangan kekuasaan. Namun, di sisi lain, Bung Karno menyampaikan rasa terima kasih kepada Jenderal Suharto yang mampu mengendalikan gonjang-ganjing pasca Gerakan 30 September yang diduga kuat didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada saat yang sama, peristiwa pembersihan PKI hingga ke akar-akarnya terus terjadi di berbagai pelosok negeri.

Dua tahun kemudian, lelaki itu meraih kekuasaan sepenuhnya menggantikan “seseorang yang sudah dianggapnya Bapak sendiri”. Dengan rasa hormat, Sang Proklamator diminta menjalankan purnatugasnya di sebuah wisma. Demi kebaikan Sang Proklamator pula, ia menjaga pendahulunya itu dengan sangat baik agar tak mendapat pengaruh buruk dari luar. Pada 1970, “seseorang yang sudah dianggapnya Bapak sendiri” itu pun mangkat. Bung Karno dimakamkan di Blitar, di mana sang proklamator dibesarkan, meski ia berwasiat ingin dimakamkan di bumi priangan. Alangkah bijaknya sang penerus memakamkan pendahulunya jauh dari kota yang menyemai pemikirannya di masa muda, karena ia tahu pengaruh Bung Karno tak serta-merta hilang di kalangan nasionalis.

Berlari

Kini, waktunya berlari. Konsepsi Nasakom, Manipol-Usdek, dan lain-lain tak lagi ia digarap. Dalam politik, tak perlu banyak partai di negeri ini, gagasnya. Cukup tiga kekuatan politik: dua partai politik dan satu Golongan Karya. Stabilitas dan pembangunan menjadikan semua konsep Orde Lama usang. Kita tahu, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Bung Karno berkuasa selama 20 tahun, ia sebagai penerusnya, berkuasa selama 32 tahun. ****

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler