x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Akal Sehat Beristirahat di Bulan September

Akhirnya, bulan September berlalu. Mari kembali menggunakan akal sehat. Saatnya mempelajari sejarah, termasuk peristiwa 1965, dengan kritis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alhamdulillah. Mungkin itu kata yang tepat untuk diucapkan melepas berlalunya bulan September ini. Bagaimana tidak, sejak rejim militeristik Orde Baru berkuasa, di setiap bulan September selalu muncul ritual mengistirahatkan akal sehat.

Ritual mengistirahatkan akal sehat itu dimulai dengan desas-desus bangkitnya komunisme di Indonesia. Puncak dari ritual itu adalah menonton bareng (nobar) film G30S/PKI. 

Kenapa desas-desus bangkitnya komunisme di Indonesia setiap bulan September dikatakan sebagai ritual mengistirahatkan akal sehat? Ya, karena ini sudah 2017, bukan lagi tahun 1960-an, saat perang dingin antara blok kapitalisme dan komunisme sedang sengit bertarung. Peristiwa 1965 tidak bisa dilepaskan dari perang dingin antar kedua blok tersebut, selain tentu saja konflik internal di tentara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rejim komunisme di Rusia sudah runtuh. Di China, komunisme sudah mulai bergeser ke kapitalisme. Bahkan China dan Vietnam meskipun sama-sama mengklaim sebagai negara komunis, juga saling bertikai merebutkan sumberdaya alam di kawasan lautnya.

Kapitalisme telah memenangkan pertarungan itu. Dan kini, kapitalisme merasuk hampir di seluruh denyut kehidupan. Kapitalisme ini lah yang membuat anak-anak buruh tak bisa sekolah, orang-orang miskin tak bisa berobat. Kapitalisme ini pula yang membuat nelayan-nelayan tak bisa melaut karena lautnya direklamasi untuk pembangunan perumahan mewah dan kawasan komersial bagi segelintir orang-orang kaya.

Kapitalisme pula yang membuat segelintir orang-orang kaya menguasai sebagian besar tanah sementara kaum tani tidak lagi punya tanah. Kapitalisme pula yang membuat anak-anak muda di perkotaan terancam menjadi tuna wisma karena harga tanah dan rumah tak lagi terjangkau karena sebagaian besar tanah sudah berada di bawah penguasaan segelintir kaum kaya. Kapitalisme ini pula yang membuat kerusakan lingkungan hidup meluas hampir di seluruh penjuru nusantara.

Jika kapitalisme diibaratkan sebagai ideologi kanan, dan komunisme sebagai ideologi kiri, maka ancaman sebenarnya justru dari kanan bukan dari kiri. Musuh datang dari kanan, kita mengejarnya ke arah kiri. Bukankah ini hanya bisa terjadi bila kita sedang mengistirahatkan akal sehat kita?

Lantas, kenapa pula nonton bareng (nobar) film G30S/PKI dikatakan sebagai puncak dari ritual mengistirahatkan akal sehat? Ya. Dari sisi konten, film G30S/PKI, kurang tepat dikatakan film dokumenter sejarah. Ada beberapa kebohongan dalam film itu, seperti penyiksaan para jenderal.

Prof Dr Arif Budianto, seperti ditulis TEMPO, memberikan fakta berbeda. Menurut Arif, memang pada semua tubuh jenderal ditemukan bekas tembakan dari jarak dekat. Namun penyiksaan dengan mencungkil bola mata, menurut para dokter, tidak ada. Mereka yakin 100 persen kondisi mata para korban terjadi karena pembusukan. "Tidak ada bekas pencungkilan secuil pun pada rongga mata para korban." Kesaksian tersebut sama dengan laporan visum et repertum yang diperoleh Tempo tahun 2002. Dokumen tersebut merupakan salinan asli yang bersumber dari berkas pada persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa perwira intelijen Angkatan Udara, Heru Atmodjo, pada 1966-1967.

Selain terkait dengan persoalan penyiksaan para jenderal, film itu juga mengandung konten yang tidak pantas dilihat oleh anak-anak. KPAI sudah memperingatkan bahwa film G30S PKI tidak layak ditonton oleh anak-anak. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy melarang anak-anak yang masih berusia di bawah 13 tahun menonton film penumpasan pengkhianatan G30S/PKI.

Tapi apa yang terjadi di lapangan? Anak-anak pun ikut gabung dalam nobar film G30S PKI. Bahkan anak-anak berteriak bunuh di nobar film G 30 S PKI di kelurahan Paseban, Jakarta Pusat. Celakanya meski KPAI dan Mendikbud sudah mengatakan bahwa film G30S/PKI tidak ramah anak, tetap saja nobar digelar dan dikampanyekan di media massa dan juga media sosial. Kesehatan psiklogi anak-anak dikorbankan dalam nobar film G30S/PKI ini. Bahkan orang-orang dewasa yang mengorbankan kesehatan psiklogi anak itu merasa tak berdosa. Partai-partai politik yang seharusnya memiliki tugas melakukan pendidikan politik juga menggelar nobar film yang tak ramah anak ini. Bukankah ini puncak dari ritual mengistirahatkan akal sehat?

 

Alhmadulillah, September segera berlalu. Saatnya kita semua kembali memfungsikan lagi akal sehat kita. Sudah waktunya mempelajari lembar-lembar sejarah, termasuk peristiwa 1965, dengan kritis. Sejarah akan bermanfaat bagi kita untuk bisa memahami apa yang terjadi saat ini dan menjadi pandu kita untuk melangkah di masa depan. Tapi hal itu hanya bisa dilakukan bila kita tidak sedang mengistirahatkan akal sehat kita.

sumber foto https://news.detik.com/berita/d-3652143/anak-anak-ikut-nobar-film-g30spki-di-banda-aceh

 

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler