x

Iklan

Zdavir Andi Muhammad

Penulis merupakan alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Hasanuddin angkatan tahun 2012 dan kini tengah mengampuh Studi S2 untuk jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan di Sekolah Pasca Sarjana Unhas
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa itu Kegilaan? Apa itu Abnormalitas?

Tulisan ini mencoba membedakan antara kegilaan yang struktural dengan kegilaan alami

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa Itu Kegilaan? Apa Itu Abnormalitas?

Beberapa waktu yang lalu di Kota Makassar, beredar video yang menampilkan seorang petukang parkir yang mencoba menyerang petugas keamanan. Tersiar kabar bahwa pelaku merupakan orang yang stres, gila—kehilangan kewarasannya.

Masih di kota yang sama: beberapa bulan yang lalu, seorang petukang becak menikam adiknya sendiri. Masalahnya “tampak” sepele, setidaknya bagi sebagian khalayak ramai. Juga, tersiar kabar bahwa pelaku merupakan orang yang stres, gila, dan berbagai macam sebutan lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alih-alih menelisik fenomena sosial, masyarakat acap terjebak pada kabar permukaan yang nampak. Hasilnya, pola-pikir masyarakat cenderung dangkal dalam mengeruk fenomena serta mengentaskan masalah-masalah yang ada. Pada akhirnya, kita terjebak pada masalah yang sama.

 

 

Sejarah Kegilaan

Pada beberapa abad yang lampau, orang-orang gila acap dikurung, dikarantina dalam satu tempat yang sama. Tempat-tempat tersebut termasuk rumah sakit dengan rumah sakit tersendiri, gereja, atau bahkan pulau. Ketidakmampuan sains dan ilmu pengetahuan atas munculnya fenomena kegilaan berakhir pada kegagalan penanganan dan penggunaan metode yang tepat dalam menangani kasus ini.

Sehingga, metode-metode yang digunakan dalam kasus ini acap “gila”, out of the box. Sebut saja seperti orang-orang gila serta kusta—kedua penyakit ini dikategorikan sebagai penyakit yang sama dan kemudian diberikan atas satu tempat yang sama guna diawasi dan dikontrol—coba disembuhkan dengan cara diurapi dengan air kudus serta asap wewangian.

Bahkan, orang-orang gila acap dibiarkan berlayar melintasi laut dengan harapan angin laut dapat mengangkat penyakit tersebut. Hal ini terekam dalam tulisan Foucault dalam “Madness and Civilization” yang menyadur kisah ini dengan kalimat “Kapal kebodohan (Ship of fools, pen.)”.

Gagalnya menemukan metode untuk menyembuhkan penyakit kegilaan kemudian menciptakan rumah sakit-rumah sakit yang ruangannya didesain disengaja agar orang-orang yang mengisi rumah tersebut mudah dan gampang diawasi—observed, diteliti. Hal ini dapat kita lihat dari rumah sakit yang acap memiliki koridor berbentuk jalan yang lurus serta pintu kamar berjendela kecil yang menghadap tepat posisi pasien di mana pasien dapat diobservasi.

 

 

Apa Itu Kegilaan—dan Siapa yang Berhak Mengatakannya?

Lepasnya masyarakat dari metafisika Barat mengantarkan masyarakat Eropa pada sebuah babad baru yang disebut fase Aufklarung, di mana metafisika dan kungkungan gereja tak lagi mengurung ilmu pengetahuan, melainkan menjadikan akal atau rasio dijadikan sebagai pusat kebenaran.

Namun, bagi Foucault yang acap curiga dengan gelagat modernisme—di mana melalui “akal” manusia “menemukan” “terpisah” dari alam, hadirnya rasio tak membuat kekuasaan “rela” melepaskan kekuasaannya.

Belakangan, produk-produk modernisme—atau yang diklaim demikian—sering mendikotomikan serta menuntut antara apa yang wajar—rasional—dan tidak wajar—irasional. Yang wajar merupakan norma dan disebut sebagai normalitas. Sedangkan, di sisi lain, yang tidak normal disebut sebagai abnormalitas dan berakhir pada penyebutan kata gila.

 

Apa yang logis atau masuk akal diterima sebagai kebenaran dalam masyarakat. Sedangkan yang sebaliknya disebut tidak logis dan tidak masuk akal.

Bagi Foucault, kegilaan tidak hadir begitu saja. Bahkan, baginya kegilaan itu terbentuk oleh fenomena kekuasaan dalam usahanya menggali fenomena tersebut. Foucault menyelami sastra, literasi, serta bahan bacaan sejarah pembentukan kata “gila” pada subjek yang nampaknya arbitrer. Pendedahan ini dalam rangka mencoba mengupas bahwa fenomena tersebut merupakan fenomena yang tidak terbentuk secara alami, melainkan melalui kuasi kekuasaan.

Jika kuasi kekuasaan dulunya acap dipancangkan melalui paksaan dan larangan, dalam modernisme, kuasi kekuasaan terjadi melalui sebuah hubungan yang kompleks. Oleh karena kekuasaan tidak lagi melalui sebuah larangan, aturan, serta paksaan, kekuasaan diharapkan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama.

 

Dalam usaha mencapai cita-cita tersebut—mempertahankan kekuasaan, kekuasaan menjadikan apa yang diimpikan menjadi sebuah normalitas. Dan oleh karenanya menjadi familiar serta dicita-citakan oleh banyak orang: menjadi mapan, berpendidikan, serta menjadi umum yang acap digambarkan melalui pendidikan serta media.

 

 

Apa yang Membentuk Abnormalitas, Kegilaan?

Fenomena yang banyak merebak belakangan di masyarakat sejatinya merupakan sebuah hubungan kompleks yang gagal dibangun oleh pemerintah; kesejahteraan masyarakat.

Di mana ketika masyarakat “ribut” akibat menyempitnya ruang hidup, masyarakat kemudian menemukan masyarakat lain sebagai pesaing atau ancaman. Ketika “yang lain” dilihat sebagai pesaing, bukan sebagai kawan kolaboratif dalam membangun, tak jarang dapat memantik serta memercik bunga-bunga konflik ketika keinginan masyarakat atau individu tak tercapai.

Dalam contoh yang paling umum, kegagalan pemerintah serta institusi pasar yang serakah di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, serta berbagai negara maju lainnya kemudian menyalahkan imigran sebagai musuh bersama—common enemy, alih-alih kapitalisme yang terus memperlebar kesenjangan.

Dalam kasus lebih umum, atau lokal, kegagalan pemerintah serta masyarakat sendiri dalam menggerakkan institusi-institusi sosial menciptakan masyarakat yang chaotic, saling bersaing, alih-alih saling bahu-membahu serta bergotong-royong dalam membantu “yang lain”.

Kegagalan ini bahkan lebih kompleks daripada yang kita duga. Kegilaan ini dibentuk oleh gagalnya institusi pendidikan menciptakan individu yang kreatif dalam memberdayakan dirinya sendiri. Institusi sosial dan agama gagal dalam merangsang dan membentuk masyarat madani.

 

Kegagalan ini diperparah ketika kegilaan dibawa ke aras “medis” dan mencoba mendedahnya pada sebuah fenomena “saraf apa yang membuatnya gila serta hilang akal”. Alih-alih “yang lain” ini menyuarakan suaranya akibat kegagalan yang kita sebut tadi, institusi serta kemandulan pemerintah dalam menciptakan regulasi yang pro-rakyat. Hasilnya, kita sibuk mencibir akibat gagal mengikuti transmisi yang diakibatkan kegagalan ini. Bukan saling merangkul.

Ikuti tulisan menarik Zdavir Andi Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler