x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Harga Diri dari Korea

Susah kalau harus menjawab banyak pertanyaan soal harga diri bangsa. Ini bisa jadi bahan renungan tentangnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“KAMU semua bangsa Indonesia kan dijajah oleh Belanda? Berabad-abad lagi. Kenapa tidak ada kalian yang bisa berbahasa Belanda? Aneh…,” cecar seorang kolega Korea kepada teman saya, Noni.

 

Noni hanya bengong. Ia tidak bisa menangkis serangan itu dengan spontan. Ia sendiri tak tahu sedikitpun bahasa Belanda, sebagaimana mayoritas anak-anak muda milenial Indonesia zaman sekarang. Ia juga hendak mengatakan bahwa mereka tidak berabad-abad dijajah Belanda, karena VOC hanyalah perusahaan yang kebetulan dari Belanda. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Belum cukup di situ, si kolega Korea melancarkan serangan lagi,“Kenapa kalian hanya bisa berbahasa Inggris? Bukan Belanda?”

 

Lidah Noni kelu. Ia tidak bisa menjawab lagi. Ia hanya bisa tersenyum kecut. Otaknya berputar mencari jawaban yang logis.

 

Ia menyusun kalimat dan menjelaskan dengan perlahan,”Generasi seperti saya sudah tidak bisa berbahasa Belanda. Tapi generasi kakek nenek saya bisa.”

 

Dalam hatinya, ia juga tidak yakin kakek neneknya bisa berbahasa Belanda. Karena mereka hanya di Sekolah Rakyat alias Volkschool. Hanya tiga tahun masa pendidikannya dan cuma diajari baca, tulis, dan berhitung.

 

"Lagipula, menurut nenek , presiden pertama kami tidak membolehkan kami menggunakan elemen budaya bangsa asing terutama Belanda begitu kami lepas dari penjajahan mereka. Jadi, itulah kenapa kami tidak belajar bahasa Belanda lagi. Dan ditambah lagi dengan makin kuatnya pengaruh bahasa Inggris di pergaulan dunia, akhirnya kami tidak pernah merasakan adanya urgensi lagi untuk belajar bahasa Belanda, apalagi mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari," tukas Noni. Ia lega bisa menuntaskan bantahannya.

 

"Lalu kenapa kalian seperti tidak ada rasa benci ke Belanda? Masih menerima bantuan-bantuan mereka, proyek-proyek hibah Belanda dengan senang hati diterima. Mereka pusing-pusing mendokumentasikan warisan budaya dan segala macam punya kamu. Bangsa kamu malah masa bodoh," imbuh kolega Korea itu lagi. 

 

Noni terdiam lagi. Ia masih ingat kolega Koreanya itu selalu berang jika ditawari makan di restoran Jepang. Semula ia tidak paham. Ia menduga karena makanan Jepang bukan termasuk selera sang kolega. Ia tidak menerima usulan makan semacam itu meski jika hanya makanan Jepang yang tersisa di muka bumi ini untuk disantap. Ia mungkin lebih memilih puasa sama sekali.

Ia juga ingat kegeraman sang kolega Korea saat jika melihat barang-barang merek Jepang. Misalnya, jika ia sedang ada di lift, ia mengomel kenapa yang dipakai si kontraktor gedung bukannya Samsung yang merek Korea tapi Mitsubishi yang punya Jepang. 

 

Noni menimang ponsel Samsungnya sendiri. Ia bertanya kepada dirinya, kenapa tidak membeli Evercoss, Polytron, atau Advan yang notabene produksi dalam negeri. Tentu saja karena gengsi. Atau sirnanya harga diri? "Ah, sudahlah. Itu semua kan urusan pejabat-pejabat tinggi," batinnya menyergah pikiran sendiri. Padahal yang di atas juga tak peduli. Karena terlalu sibuk memperkaya diri dan segenap kroni. (*)

 

Kredit fotoa: korea.net

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler