x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anand Krishna, Eggi Sudjana, dan Ketuhanan yang Maha Esa

Memperdebatkan konsep ketuhanan tak akan pernah selesai. Faktor keyakinan adalah internalisasi yang berlangsung dalam ruang privat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awal tahun 2000-an, rak-rak jaringan toko buku besar di tanah air sempat dihiasi oleh buku-buku karya Anand Krishna. Buku tersebut bertema spiritualisme juga beberapa praktik reiki. Ketika itu, saya masih duduk di sekolah menengah atas. Tapi minat baca yang mulai tumbuh dan melahap apa saja yang menarik, saya pun membeli beberapa buku karya Anand. Buku-buku Anand memiliki tampilan yang khas karena ukurannya yang simpel dan praktis. Pada salah satu bukunya yang saya beli, Anand mengangkat spritualisme Bung Karno. Ia menahbiskan Bung Besar sebagai sosok religius. Meski beragama Islam, Bung Karno cenderung membuka diri terhadap semua ajaran agama –begitu kira-kira yang ingin disampaikan Anand. Buku itu berjudul Bersama Bung Karno Meraih Jiwa yang Merdeka terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Pada karyanya yang lain, Kembara Bersama Mereka yang Berjiwa Sufi, Anand mengangkat beberapa tokoh spiritual yang baginya memiliki pemikiran dan spiritualisme universal. Ia, antara lain, mengangkat sosok sufi Hazrat Inayah Khan, Jalaluddin Rumi, Baba Nanak, Krishnamurti,  dan tak jarang mengutip kata-kata pujangga Kahlil Gibran. Bagi Anand, beragama ibarat jalan, bisa berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: Ketuhanan. Pada awal 2000-an pula ashram miliknya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, banyak dikunjungi oleh para pegiat spiritual lintas agama. Tak mengherankan jika terdapat musala, kapel, merajan (bangunan suci umat Hindu), dan berbagai simbol lintas agama di dalam ashramnya ketika itu. Anand sendiri merupakan pengagum Sai Baba, spiritualis India –yang ajarannya serupa dengan Anand dalam memandang agama-agama.

Nama Anand sempat tenggelam setelah terbelit kasus asusila. Tapi gagasan-gagasan seperti Anand terus tumbuh di berbagai tempat. Mengapa? Pemikiran ini menarik minat individu yang gelisah dengan pertentangan antaragama. Bagi mereka, agama justru menyeret mereka pada rasa saling curiga dan bertentangan satu sama lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kaum agamawan biasanya membidikkan tuduhan gerakan seperti Anand dengan ajaran teosofi. Gerakan teosofi sendiri mulai memberikan pengaruh ke Nusantara pada akhir abad ke-19. Gerakan teosofi sendiri memiliki pandangan yang kritis terhadap eksistensi ajaran agama. Dalam pandangan teosofi, keberadaan agama yang berbeda-beda justru memantik konflik yang tiada berkesudahan. Ajaran teosofi menitiberatkan pada pentinganya persaudaraan antarmanusia tanpa memandang agama, ras, jenis kelamin, dan perbedaan manusiawi lainnya. Sekat perbedaan, terutama agama, dianggap menjadi pemicu konflik di belahan dunia. Namun, teosofi tetap percaya pada Ketuhanan itu sendiri.

Gerakan teosofi di Indonesia pertama kali berdiri di Pekalongan, Jawa Tengah pada 1883, 8 tahun setelah pendirian gerakan di Amerika. Loji teosofi sendiri berdiri di kota pesisir Jawa Tengah itu. Pemimpinnya Baron van Tengnagel. Gerakan teosofi baru benar-benar tumbuh pada awal abad ke-20. Kongres pertama digelar di Yogyaarta pada 1907. Salah satu figur penting dalam teosofi pada masa itu adalah Radjiman Wedyodiningrat, tokoh pergerakan sekaligus priyayi Jawa. Bisa dikatakan, mengutip M.C. Ricklefs, teosofi adalah gerakan yang menyatukan elite Jawa, orang Indo-Eropa, dan orang Belanda pada masa itu. Gerakan Boedi Oetomo pada 1908 juga tidak terlepas dari pengaruh teosofi. Radjiman adalah tokoh penting dalam menyusun kerangka dasar Republik Indonesia melalui BPUPKI. Gerakan kejawen, kebatinan Jawa, yang dihayati oleh Presiden Suharto, juga tidak lepas dari persinggungan dengan teosofi.

Islam sendiri berkembang jauh sebelum gerakan teosofi masuk dan memandang kritis keberadaan agama itu sendiri. Banyak teori yang menjabarkan masuknya Islam ke Nusantara, seperti teori Gujarat hingga Teori Sino-Islam (Islam datang dari daratan Tiongkok). Ketika masuk ke Nusantara, Islam diyakini membuka ruang yang besar untuk akulturasi budaya. Eksistensinya tidak menihilkan budaya yang ada. Sejumlah literatur sejarah menyebut para penyebar Islam di Jawa seperti Wali Songo adalah figur yang luwes dalam berdakwah. Luwes di sini dapat dimaknai dengan terbuka untuk akulturasi budaya. Salah satunya dengan menggunakan produk kebudayaan lokal untuk berdakwah. Islam tidak bisa masuk dengan memaksakan kehendak atau kekerasan. Islam hadir dengan wajah yang lembut.

Setelah Hindu, Budha, lalu Islam, kedatangan orang-orang Eropa menambah khazanah baru dalam kehidupan beragama di Nusantara. Jangan lupakan Kong Hu Cu yang eksistensinya sempat diabaikan oleh rezim Orde Baru, juga keyakinan-keyakinan lokal yang tumbuh lama di berbagai wilayah di Indonesia.

Memperdebatkan konsep ketuhanan tak akan pernah selesai. Faktor keyakinan adalah internalisasi yang berlangsung dalam ruang privat. Termasuk di antaranya adalah memperdebatkan konsep monoteisme, Tuhan yang tunggal. Perdebatan ranah privat inilah yang mestinya dihindari karena memperlebar konflik antarumat beragama. Memori kolektif yang harus diingat adalah bagaimana heroisme keagamaan memerdekakan negeri ini –tanpa harus bersandar pada nilai-nilai ala teosofi.

 

Heroisme Bukan Milik Satu Agama

Heroisme di negeri ini tidak menjadi klaim satu agama. Tentu, kita ingat juga bagaimana Pendiri NU, Kiai Haji Hasyim Asyari, menyerukan jihad melawan penjajah. Beliau juga yang merasakan penganiayaan Jepang karena menolak membungkukkan diri ke matahari.

Heroisme juga milik agama lain. Pertempuran Puputan Margarana, di mana I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya bertempur hingga titik darah penghabisan. Jangan lupakan pula umat Kristiani bernama Robert Wolter Monginsidi atau Kolonel Slamet Riyadi yang gugur di ujung bedil demi tegaknya Republik. Semuanya berjuang dengan semangat yang sama, berjuang demi bangsa sambil melafalkan kalimat Tuhan. Mereka berjihad, menjadi martir, atau puputan.

Seperti halnya heroisme, Pancasila sebagai produk kebangsaan kita, tak bisa diklaim sebagai pengejawantahan hanya satu agama. Jika Eggi Sudjana mengklaim Islam lebih Pancasila daripada agama yang lain, kita perlu bertanya motifnya, “Ia ingin membela atau justru ingin menggembosi Pancasila?”

***

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler