x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ustadz “Seleb” dan Proliferasi Media Sosial

Saya cenderung menyebutnya dengan istilah “ustadz seleb”, karena memang dirinya diposisikan bak artis yang segala tingkah lakunya menjadi perhatian publik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin bukan lagi sebuah hal yang aneh, jika belakangan fenomena “ustadz nyeleb” justru terlampau lebih dikenal dan populer ditengah masyarakat dibanding tokoh agama lainnya yang menghindari hingar-bingar dunia publik. Media Sosial (medsos) menjadi semacam “ruang akrobatik” para ustadz “seleb”, entah karena memang sekadar ingin menunjukkan eksistensinya ke ruang publik soal kehidupan dirinya atau memang kebetulan dicitrakan oleh media kemudian menjadi informasi yang dikonsumsi publik. Bukan hanya ceramah-ceramahnya yang memenuhi lini medsos, diakses ratusan ribu orang dan memiliki ribuan penggemar. Medsos sepertinya telah menggeser fenomena keagamaan yang sebelumnya “sakral” menjadi “profan” bahkan tak jarang menampilkan sikap hedonistik yang dibungkus “baju agama”.

Belum hilang kegaduhan publik soal situs nikahsirri yang kemudian dipolisikan, muncul fenomena menggelikan yang viral di medsos foto salah satu ustadz beken yang “nyeleb” dengan ketiga istrinya yang tampak akur. Menggelikan karena ternyata seorang tokoh agama yang selalu mengisi ruang publik keagamaan yang bernuansa “sakral” justru mempertontonkan sikap hedonisme yang didukung oleh klaim kebenaran agama. Ya, beristri lebih dari satu dalam syariat Islam “dibolehkan” selama mampu berbuat adil kepada istri-istrinya, jika tidak, maka keadilan memang hanya akan terwujud jika seorang laki-laki hanya memiliki satu istri.

Ada benarnya penelitian yang dilakukan Meyer dan Moors dalam bukunya, Religion, Media, and the Public Sphere, yang menyebutkan bahwa ruang publik agama menjadi bentuk baru dalam proses meditasi, proliferasi di ranah publik, dan mengaburkan beberapa batasan antara hiburan dan agama (Meyer & Moors, 2001). Saya kira, keberadaan ustadz-ustadz “seleb” yang lebih memanfaatkan medsos sebagai peningkatan citra dirinya adalah bagian dari proses proliferasi di ranah publik sehingga mengaburkan batasan agama yang dinilai “sakral” dengan hiburan yang justru sangat “profan” bahkan hedonistik. Mereka dengan sadar memanfaatkan medsos untuk mendongkrak kepupuleran mereka, masa bodo dengan soal penilaian publik nantinya seperti apa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya cenderung menyebutnya dengan istilah “ustadz seleb”, karena memang dirinya diposisikan bak artis yang segala tingkah laku dan ucapannya menjadi perhatian bahkan panutan publik. Yang ngefans terhadap ustadz “seleb”-pun rasanya banyak sekali, bahkan terkadang para pengikutnya seperti mengkultuskan karena apapun yang dikatakan ustadz mereka seluruhnya adalah kebenaran. Berapa banyak mereka yang memposting ulang ungkapan-ungkapan ustadz “seleb” yang bertebaran di medsos? Bahkan tak segan-segan para netizen membanding-bandingkannya dan bahkan ada juga yang mendiskreditkan ustadz-ustadz lainnya karena saking ngefans-nya terhadap ustadz yang digandrungi oleh dirinya.

Soal fenomena ustadz seleb yang beristri banyak, pernah ada sebuah postingan jenaka dari sebuah warganet yang berasal dari Timur Tengah. Dalam unggahannya yang berbahasa Arab, warganet ini menyindir soal makna ayat Al-Quran yang artinya, “nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat..”, yang diterjemahkan secara berbeda menjadi, “gaulilah istri-istri kamu, dua, tiga, atau empat..”. Makna nikah secara bahasa memang artinya “bersetubuh’ atau menggauli”, bukan pada pemaknaan prosesinya. Bagi saya, ini bisa menjadi kritik yang cukup menohok namun jenaka, kepada mereka yang memang gemar berbangga dengan mempunyai istri lebih dari satu dan mengunggahnya di ranah medsos.

Medsos telah menjadi ruang proliferasi para ustadz “seleb” untuk mendongkrak kepopulerannya di ranah publik. Hampir semua ustadz—baik yang berwatak salafi maupun sunni—seperti berlomba-lomba mengunggah berbagai ceramah keagamaannya di ranah medsos, bahkan seringkali sepertinya saling kritik, saling sahut dan tak jarang saling mempertentangkan “ideologi”nya masing-masing. Para netizen penikmat ceramah medsos ini-pun seakan terpolarisasi menjadi kelompok pro dan kontra yang terkadang saling nyinyir bahkan tanpa sadar mereka justru menjadi komunitas-komunitas mirip fans club yang akan hadir dimana ustadz selebritisnya “manggung”. Disinilah kaburnya batasan antara ruang agama dan ruang hiburan, sehingga terkadang ustadz yang gak lucu dalam memberikan ceramah agamanya dianggap kosong “nilai” dan tak berbobot di hadapan publik.

Kemunculan medsos memang telah menggeser secara nyata wilayah-wilayah “privat” menjadi “publik” dalam hal apapun, termasuk agama. Jangankan soal ceramah agama, debat publik atau kajian ilmiah lainnya, sampai soal ustadz yang menikahi istri lebih dari satu-pun bukan lagi wilayah privat, tetapi publik harus tahu karena hal ini dianggap penting. Seakan seperti hendak menyatakan, “kalau anda belum jadi ustadz, maka belum layak beristri lebih dari satu”. Mindset seperti inipun pada akhirnya bersemayam dalam setiap pikiran mereka yang mulai moncer karir keustadzannya dan menjadi selebritas dalam bidang agama. Saya yakin, jika anda sudah mulai dikenal sebagai ustadz-pun, rasanya sudah siap-siap harus mengikuti prosesi menjadi ustadz “seleb”, memanfaatkan medsos, dikenal media, diperhatikan publik dan mengunggah hal-hal privat menjadi publik.

Bagi saya, sebutan “ustadz” yang disematkan oleh masyarakat bukanlah semata-mata bentuk penghormatan, tetapi justru terdapat beban tanggung jawab yang besar secara agama karena setiap umatnya melakukan kekeliruan, ustadz itu akan menanggung “dosa” nya. Saya membayangkan, betapa Nabi Muhammad adalah sosok sempurna tetapi paling peduli terhadap hal kecil apapun yang terjadi dengan umatnya. Bahkan, hingga di detik-detik kepulangannya kehadapan sang Maha Agung, Nabi Muhammad bahkan beberapa kali menyebut-nyebut umatnya, karena merasa khawatir, bahwa apa yang diperbuat dirinya selama hidup disalahartikan dan menjadi bencana bagi umatnya sendiri. Betapa sayangnya Rasulullah kepada umatnya, hingga seakan-akan dirinya tak punya urusan pribadi kecuali urusan yang berkait dengan kebaikan umat.

Para ustadz “seleb” sepertinya hanya mempertontonkan kepiawaian berorasi, public speaking secara mantap, menggiring setiap emosi massa untuk membangun “pengkultusan” pada dirinya, tanpa sadar maupun tidak. Agama sepertinya sedang “diperdagangkan” di ranah publik, melalui medsos, televisi atau media apapun yang mengusung banyak sponsor didalamnya. Para pengusaha aksesoris keagamaan pun ikut mengeruk keuntungan yang luar biasa dari sebuah penampilan ustadz “seleb” yang “manggung” di berbagai saluran media. Lalu, jika keagamaan marak diberbagai lini media, berbanding luruskan dengan sikap keagamaan masyarakat yang semakin baik? Karena asupan “gizi agama” yang hampir setiap hari mereka dapatkan secara bebas di ranah publik? Anda-pun bisa menilai, mana ustadz yang menjadi selebritis dan mana ahli agama yang sesungguhnya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler