x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Percakapan dengan Diri Sendiri

Bagaimana mengendalikan percakapan dengan diri sendiri agar berbuah baik?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Apakah kamu suka berbicara dengan diri sendiri? Bukan, ini bukan berarti kamu kurang waras, melainkan tentang ‘self-talk’ dan ‘inner voice’. Kadang berbicara sembari bergumam, mungkin lebih sering bercakap-cakap dalam pikiran. “Bagaimana mungkin aku melakukan hal ini?” tanyamu pada diri sendiri. “Kamu bisa, dengan cara yang cerdas, tentu saja.”

Percakapan dengan diri sendiri bisa saja menuju jalan yang berbahaya, yang membuat kita semakin tidak bersemangat hingga akhirnya menyerah. “Sudahlah, kamu tidak akan berhasil, rintangannya terlalu besar untuk kamu atasi.” Kamu pun lunglai seakan dunia berakhir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di mata Ethan Kross, seorang neuroscientist dan research psychologist, self talk dan inner voice menjadi isu penting yang dapat mengubah hidup seseorang jadi lebih suram atau sebaliknya. Setiap orang, kata Kross—yang menjabat assistant professor di University of Michigan, AS, mempunyai inner voice yang dapat ‘memberi pertimbangan lain’ tentang sesuatu yang sedang kita pikirkan.

Selama 20 tahun, tutur Kross, ia memikirkan tentang percakapan dengan diri sendiri, tentang suara batin yang berbicara di benak kita, dan ia bertanya-tanya mengapa upaya kita untuk mengendalikan percakapan dengan sendiri dapat berhasil dan bisa pula gagal. Mengapa berhasil? Mengapa gagal?

Dalam bukunya yang belum lama terbit, Chatter: The Conversations We Have With Ourselves, Why They Matter, and How to Control Them, Kross memaparkan temuannya dalam sejumlah eksperimen. Kross membawa keluar temuannya dari Emotion & Self-Control Laboratory dan mentautkannya dengan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari di dunia nyata. Dengan cara ini, Kross ingin menunjukkan mengapa kita memiliki ‘inner voice’ dan bagaimana kita dapat mengendalikannya untuk menyalakan ‘kehidupan yang lebih sehat, lebih memuaskan, dan lebih produktif.’

Dalam percakapan dengan diri sendiri, kata Kross, kita cenderung menyalahkan diri bila berbuat kesalahan, bahkan mungkin memakai kata-kata yang buruk dan merugikan diri sendiri. “Hai, bodoh! Ngapain kamu berbuat seperti itu?” Julukan ‘bodoh’ yang kita tujukan kepada diri sendiri, kata Kross, berpotensi memicu kegelisahan dan kecemasan, membuat kita berpikir bahwa kita telah benar-benar bertindak bodoh.

Kross menunjukkan bahwa kekeliruan pemakaian ‘sebutan, julukan, atau stempel’ yang kita berikan pada diri sendiri merupakan awal kegelisahan.  Dari risetnya ia menunjukkan bahwa penggunaan sebutan yang lebih netral, yakni nama, justru berpotensi memperbaiki situasi.

Dalam salah satu eksperimennya, Kross meminta 89 pria dan wanita untuk menyiapkan pidato dalam waktu lima menit dengan topik mengapa mereka sangat layak mewujudkan pekerjaan impian mereka. Separo dari mereka diminta  memakai kata ganti untuk menggambarkan diri mereka di dokumen persiapan, separo lainnya memakai nama mereka. Kelompok pemakai kata ganti diliputi kegelisahan, mereka melihat tugas itu mustahil dikerjakan. “Bagaimana saya bisa menulis pidato hanya dalam lima menit,” adalah komentar tipikal yang muncul. Mereka yang memakai nama sendiri merasa kurang gelisah dan percaya diri. “Kamu bisa mengerjakannya, Jono.”

Dalam eksperimennya yang lain, Kross mengajak peserta riset untuk berbicara pada diri sendiri sebagai ‘orang ketiga’. Cara ini cukup ampuh untuk berefleksi mengenai perasaan kita: “Mengapa Jono marah?” (Jono adalah diri kita sendiri, bukan orang lain). Kross mendapati, reaksi emosional yang timbul ternyata lebih rendah ketimbang percakapan yang diutarakan dalam ‘orang pertama’: “Mengapa saya marah?”

Pada dasarnya, ini seperti kita memikirkan tentang orang lain, “Mengapa Jono marah?” Cara ini membantu orang menciptakan ‘jarak psikologis’ dengan pengalamannya untuk memahami dirinya sendiri dan membantu mengendalikan emosinya. Melalui ‘orang ketiga’, kita dapat mengambil jarak dari persoalan, memikirkannya dengan lebih tenang, dan menemukan jalan keluar yang lebih baik.

Dalam buku Chatter ini—yang sudah diincar banyak penerbit menjelang pembukaan Frankfurt Book Fair 2017 minggu ini, untuk diterjemahkan dan diedarkan di luar Amerika Utara, Kross menunjukkan bagaimana kita dapat membebaskan diri dari ketakutan dan membuat kita bijak terhadap diri sendiri sebagaimana terhadap orang lain. Kata-kata yang kita gunakan dalam percakapan dengan diri sendiri (self talk) dapat membantu menekan kegelisahan dan depresi. Sebaliknya, percakapan yang keliru berpotensi menjadi sumber refleksi yang menyakitkan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler