x

Iklan

Jusman Dalle

Praktisi Ekonomi Digital, Tulisan-tulisan telah diterbitkan di 38 media massa : Tempo, Kompas, Jawa Pos, Kontan, Republika, dll.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ini Dia Biang Deklinasi Daya Beli

Hal itu terekam dalam riset yang belum lama ini dirilis oleh BCA Sekuritas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Deklinasi daya beli masih jadi teka-teki. Berbagai teori coba diajukan untuk meraba ihwal musabab megapa sejumlah pusat perbelanjaan sepi. Hingga kini, fenomena deklinasi tersebut belum mendapat jawaban pasti.

Di beberapa mal, pada bagian-bagian tertentu suasananya memang mirip gedung tak berpenghuni. Cukup beralasan jika jaringan ritel moderen Seven Eleven mengakhiri operasi. Bahkan menagguk rugi dan dibayang-bayangi tumpuka utang.

Tak ‘ketinggalan’, ritel merek nasional, yaitu Matahari Departemen Store terpaksa turut menutup beberapa gerai. Demikian pula Ramayana, nasibnya setali tiga uang. Belum lagi dengan toko-toko milik personal, yang juga terpukul sepi pengunjung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Upaya mendiagnosa penyebab deklinasi daya beli malah jadi liar. Saling lempar dan tangkis tudingan berkelindan. Pemerintah berkali-kali melontarkan pernyataan panas.

Pelemahan daya beli dituding akibat masyarakat Indonesia banyak yang berbelanja di Singapura. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.

Lain lagi dengan Presiden Joko Widodo. Jokowi berpendapat bahwa penurunan daya beli hanya isu dan gorengan politik belaka. Maklum, dua tahun lagi Indonesia kembali menggelar pesta demokrasi. Jadi, diduga ada yang sengaja menyemburkan isu kelesuan ekonomi untuk menjatuhkan muruah (baca : marwah) pemerintah.

Pernyataan-pernyataan tidak penting itu, tentu saja jadi santapan gurih kritikus. Terutama oleh kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Ekonom kritis dan analitik ikut angkat bicara menanggapi alibi pemerintah.

Diagnosa sekaligus otokritik menarik justru diajukan oleh pelaku usaha. Fenomena penurunan daya beli yang tercermin oleh mal yang sepi ditengarai akibat strategi developer yang ketinggalan zaman. Yaitu kebanyakan membangun mal dan salah menerapkan konsep. Hal itu seperti disampaikan oleh Marketing Director Green Pramuka City, Jeffry Yamin.

Oleh karena itu, lanjut jeffry, Green Pramuka City menerapkan strategi berbeda. Pengembang ini membangun pusat perbelanjaan yang terintegrasi dengan pusat-pusat aktivitas dan juga didukung oleh konektivitas. Dalam mengembangkan kawasan Green Pramuka City, developer ini menggabungkan hunian, pusat perbelanjaan, akses ke lokasi perkantoran, dan berbagai sarana lain yang saling melengkapi sehingga membuat warganya betah beraktivitas di dalam kawasan superblok tersebut.

Tak hanya itu, Green Pramuka City juga mengadopsi konsep transit oriented development (TOD). Pengembangan hunian yang terintegrasi dengan moda transportasi publik. Salah satunya adalah halte busway yang persis di depan superblok. Akses ke pusat-pusat bisnis seperti ke Sudirman atau Kuningan lebih ringkas. Hanya butuh setidaknya 15-30 menit.

Singkatnya, dengan konsep TOD dan triple play : housing, working dan shopping, developer mengkanalisasi aktivitas warga di dalam superblok, atau populer dengan istilah one stop living. Menerapkan konsep tersebut, pusat perbelanjaan di dalam superblok diyakini tak akan kehabisan pengunjung. Selalu ada warga apartemen atau pekerja di kawasan tersebut yang meluangkan waktu ke mal. Sekadar untuk bersantap siang maupun malam, juga untuk merebahkan pikiran, rehat after hours.

Memang terbukti, beberapa pusat perbelanjaan di kawasan superblok atau dengan aksesabilitas memadai serta tematik, masih tetap bersinar. Bahkan tumbuh positif di tengah himpitan yang mendera mal lain yang masih menggunakan gaya lama. Hal itu terekam dalam riset yang belum lama ini dirilis oleh BCA Sekuritas.

Riset BCA Sekuritas itu menyimpulkan bahwa mal-mal baru yang tematik dan mendukung gaya hidup kaum urban, tetap diminati dan menguntungkan.

Jadi jelas, bahwa penurunan kinerja sejumlah pusat perbelanjaan memang karena masalah daya saing (competitive value). Tidak mampu berkompetisi dengan mal-mal baru yang mengusung konsep menarik dan tematik. Juga terkendala oleh aksesabilitas yang kurang memadai dan minim nilai tambah.  

Ikuti tulisan menarik Jusman Dalle lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler