x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Emas di Tumpang Pitu, Tanda Cinta atau Malapetaka?

Tumpang Pitu, salah satu hutan tersisa di Jawa. Akankah hutan itu akan berubah menjadi kawasan tambang emas?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari menjelang siang. Jarum jam menunjukan pukul 10.35 wib. Mall di kawasan Jakarta Selatan baru saja buka. Namun, beberapa orang sudah mulai berbelanja. Salah satu tempat yang dikunjungi orang-orang hari itu adalah sebuah toko emas.

Nampak sepasang kekasih sedang memesan sepasang cincin emas. "Untuk mas kawin, bro," kata si lelaki kepada saya, "Sebentar lagi saya mau nikah dengan pacar saya. Dan saya membelikan perhiasan emas untuk mas kawin sebagai tanda cinta saya kepadanya."

Emas adalah tanda cinta. Ya, mungkin itu bagi orang-orang kota, tampat yang jauh dari lokasi tempat emas ditambang. Bagi orang-orang sekitar tambang, mungkin emas bukan lagi sebagai tanda cinta, namun malapetaka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu kawasan yang akan dijadikan pertambangan emas itu adalah Tumpang Pitu di Banyuwangi, Jawa Timur. Semua berawal ketika Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan mengubah status hutan lindung Tumpang Pitu sebagai hutan produksi. Pengubahan status ini dilakukan Zulkifli Hasan pada tanggal 19 November 2013 dengan menerbitkan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.826/Menhut-II/2013. Dalam surat tersebut, Zulkifli Hasan sebagai menteri kehutanan mengalihfungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi produksi seluas 1.942 hektar.

Mengapa status hutan lindung Tumpang Pitu perlu diturunkan? Sebab jika Tumpang Pitu statusnya masih hutan lindung, maka rencana penambangan emas di dalamnya akan terganjal dengan larangan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Warga Tumpang Pitu pun protes. Beberapa tindak kekerasan pun terjadi. Dua aksi massa dalam jumlah besar terjadi pada bulan Oktober dan bulan November 2015. Benturan pun tidak dapat dihindarkan. Benturan di bulan Oktober 2015 telah mengakibatkan penangkapan 3 orang warga.

Sementara benturan yang lebih besar terjadi pada bulan November 2015. Benturan ini mengakibatkan 4 orang warga tertembak. Beberapa hari setelah tertembaknya warga, beberapa ibu memberi kesaksian bahwa dusun Pancer (Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi) telah menjadi dusun “tanpa lelaki”. Komnas HAM pun memiliki catatan investigatif atas benturan bulan November 2015 ini.

Warga tetap melawan. Namun, alih-alih menanggapi substansi yang menjadi keberatan warga, aparat keamanan justru menuduh warga yang protes sebagai orang-orang yang menyebarkan paham komunisme. Akibat hantu komunisme itulah Budi Pego, salah seorang warga yang protes terhadap rencana tambang emas di Tumpang Pitu ditahan dengan tuduhan menyebarkan paham terlarang.

Kekerasan fisik dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua sisi mata uang yang sekarang menjadi ancaman warga Tumpang Pitu. Ironisnya, di saat warga Tumpang Pitu keselamatannya terancam oleh kekerasan dan kerusakan alam, sebagian orang-orang di kota masih menganggap emas sebagai tanda cinta. Bagi warga Tumpang Pitu, emas mungkin bukan sebagai tanda cinta, namun tanda malapetaka? Lantas, apakah kita membiarkan kerusakan alam di hutan Tumpang Pitu? Apakah kita membiarkan warga, satu per satu ditangkapi hanya karena mereka ingin alamnya tetap lestari? Entahlah, semoga kemilau emas tidak membutakan mata hati kita.

Sumber foto:https://www.change.org/p/presiden-indonesia-presiden-jokowi-mohon-tutup-tambang-emas-di-hutan-lindung-tumpang-pitu

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler