x

Iklan

Don Gusti Rao

Rileks sejak dalam pikiran | donirao14@gmail.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Film G30S/PKI dan Perspektif Milenial

Polemik film G30S/PKI -- dan isu kebangkitan PKI sebagai embrionya -- selalu muncul di tiap September. Ternyata, September tak selalu ceria.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti tahun-tahun sebelumnya, September ini tetap penuh dengan polemik seputar PKI. Paling tidak, yang menjadi pembeda adalah instruksi Panglima TNI Gatot Nurmantyo, yakni agar lingkup internal institusinya menggelar nonton bareng film kontroversial G30S/PKI. Instruksi tersebut memang menjadi pemantik rutinitas perdebatan tiap September.

Isu seputar G30S/PKI memang fenomena yang takkan lekang ditelan zaman, itulah values pembeda gerakan ini dari kasus terduga makar lain seperti DI/TII dan PRRI/Permesta. Meminjam KH. Said Aqil Siradj, isu PKI menjadi rentan muncul kali ini menjelang tahun politik. Statement ketua umum PBNU tersebut tentu ditengarai dari mudahnya isu ini menggelinding di media sosial dengan sangat brutal, mulai dari tuduhan partai politik yang berafiliasi dengan PKI, hingga Presiden Jokowi yang ditantang tes DNA untuk membuktikan tidak ada gen PKI dalam darahnya. Tentu, isu PKI sangat mudah dimanfaatkan dengan aroma politik yang begitu kental, dengan sensitifnya isu ini, integrasi bangsa pun dipertaruhkan.

Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menilai, polemik G30S/PKI yang kemudian diflimkan memang sarat dengan kelemahan, baginya seperti diwartakan berbagai media tanah air, ada sejumlah cerita di film tersebut yang tidak sesuai dengan fakta dan berpihak pada kelompok tertentu. Misalnya, terlalu menonjolkan peran Soeharto dan mengesankan Sukarno sebagai pengkhianat bangsa dan diatur oleh PKI. Hingga masalah film ini sampai ditelinga Jokowi, yang menyarankan agar ada revisi film yang sesuai dengan generasi milenial, tentunya tanpa menghilangkan substansi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hemat saya, pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI justru tak perlu ditanggapi dengan serius dan berlebihan hingga menguras energi perdebatan. Meski tak sepenuhnya mengamini, kita harus pandai betul mengambil angle dari film itu. Misalnya dari substansi, perkara banyak adegan yang diluar batas kewajaran, politis, dan tendensius, biarlah generasi milenial yang menilainya. Sampai disini ternyata ada efek positif film itu diputar, di era demokrasi, generasi milenial tak harus – dan tak mudah –  dimobilisasi perspektifnya menjadi arus utama seperti jaman Orba dulu. Jadi, tak perlulah Panglima TNI repot-repot menginstruksikan agar film ini ditonton sebagai bahan pengetahuan sejarah generasi muda, sebab, sebagai ciri generasi milenial yang “selalu ingin tahu”, kritis, dan cenderung progresif, film tersebut tentu laris ditonton dan diunduh di Youtube bila kita melihat tren dan statistik viewer-nya.

Kita pun mafhum, bahwa sebagai bagian dari sistem hegemoni kekuasaan yang dominan, film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah bagian dari alat propaganda rezim. Fenomena tersebut, dalam konteks politik, tentu tak salah dan lumrah. Dimana film sebagai instrumen doktriner yang lebih mudah dicerna ketimbang menjelaskannya dengan buku.

Film antitesis G30S/PKI seperti Jagal (The Act of killing) dan Senyap (The Look of Silence) juga tak perlu ditanggapi berlebihan. Film karya Joshua Oppenheimer itu – yang beberapa kali pemutarannya dilarang oleh FPI dan TNI – harus dianggap sebagai proses dialektika bagi kaum milenial. Akan lebih bijak lagi penyelenggaraan nobar film G30S/PKI dibarengi dengan pemutaran Jagal dan senyap, lantas membedah dan mendiskusikannya, atau membuat seri pemutaran untuk menyiasati durasi film yang lama. Keadilan dalam menyikapi dinamika film tentang  Komunisme juga harus diberikan pada lingkup lain, misalnya kajian dan seminar – di LBH, tak perlulah menanggapinya seakan menjadi phobia dan racun bagi generasi muda. Biarlah generasi milenial, yang akrab dengan gawai dan media sosial itu yang menilainya.

Semangat demokrasi harus dimaknai dengan bebasnya karya dan “perspektif turunan” dari karya tersebut sebagai konsekuensi logis. Tentu dengan batas koridor yang konstitusional. Komunisme sudah bangkrut sebagai ideologi dan hanya menjadi bahan kajian akademik di kampus dan ruang diskusi, PKI hancur lebur, tak guna membuatnya seakan-akan menjadi ancaman utama negeri ini. Individu atau kelompok tak waras mana yang mau bunuh diri dengan ingin menjadi PKI? Secara sosial sudah terdiskreditkan, dan secara konstitusional sudah dilarang. Tak perlu TNI-Polri yang pertama turun tangan bila ada indikasi kebangkitannya, masih ada ormas nasionalis macam Pemuda Pancasila, FKPPI, ormas Islam kebangsaan macam Ansor-Banser, Pemuda Muhammadiyah-Kokam, gerakan pemuda keagamaan lain, gerakan mahasiswa dan lainnya yang akan – meminjam Jokowi –  menggebuknya.

Kampung Rambutan, 27 September 2017.

Pict : Istimewa

Ikuti tulisan menarik Don Gusti Rao lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler