x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perbedaan Ulama Nusantara, Dulu dan Zaman 'Now'

Para ulama Nusantara terdahulu, misalnya, cenderung menjadi silent majority, tetapi menjaga tradisi keilmuannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini mungkin hanya sekadar refleksi, soal cara pandang saya secara pribadi terhadap kondisi keulamaan Nusantara dulu dan sekarang yang memiliki banyak nuansa perbedaan. Di Indonesia, ulama terdahulu memiliki “jaringan” yang satu dan lainnya saling berkontribusi dalam mata rantai pengetahuan (sanad), bahkan jaringannya meluas bukan hanya dalam lingkup lokal, tetapi juga regional bahkan internasional. Tradisi saling melengkapi (hasiyah) atau mengeksplorasi (syarah) dalam pembacaan terhadap berbagai karya ulama, berjalan sangat dinamis, hingga pada akhirnya, para ulama Nusantara memiliki tradisi keilmuan dan pemikiran yang kuat, bahkan masyarakat-pun pada akhirnya tercerahkan oleh pelbagai karya ulama Nusantara, baik itu kajian fiqh (yurisprudensi Islam), tashawwuf (asketisisme) atau kajian tauhid dan akhlaq (teologi dan etika Islam).

Entah sejak kapan hilangnya tradisi keilmuan dan jejaring antarulama di Nusantara ini, sebab di zaman now, penyebutan “ulama” yang kerapkali dialamatkan kepada para ustadz, sama sekali tak memiliki tradisi transmisi keilmuan (sanad) yang satu sama lain saling mendukung membuat karya-karya tulis yang bisa dipersembahkan kepada masyarakat. Kita tahu, yang disebut “ulama” belakangan kental dengan nuansa “ustadz” yang sekadar menjadi pendakwah di berbagai lini media dan bukan pembuat karya-karya tulis yang bermanfaat besar bagi dunia literasi. Hampir tak ditemukan jejak karya ulama zaman now yang menggugah tradisi berpikir masyarakat, sehingga wajar, jika kajian keagamaan hanya sebatas “gizi” pelengkap yang kurang memberikan pencerahan, selain hanya melahirkan polarisasi yang saling “mengkultuskan” antara satu kelompok dan lainnya.

Untuk menyebut sedikit saja, bagaimana tradisi keilmuan ulama terdahulu, sejarah mencatat dimana sebuah kitab fiqh klasik Matan Taqrib, kemudian diberi syarh oleh ulama lainnya dengan membuat karya tulis berupa kitab Fath al-Qarib, bahkan dibuat juga hasiyah-nya oleh ulama lain dalam kitab al-Bajuri. Dalam tradisi keulamaan Nusantara, sederet nama ulama besar, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Soleh Darat Al-Samarangi, atau Syekh Yasin al-Padangi yang keseluruhannya selalu membuat karya tulis yang diakui menjadi kajian-kajian keagamaan Islam yang satu dan lainnya saling melengkapi. Tradisi keilmuan para ulama terdahulu tumbuh subur, sehingga setiap perbedaan pendapat ditradisikan dalam membuat karya-karya tulis yang mencerminkan dinamisasi pemikiran mereka soal kajian-kajian keislaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tradisi ini juga kemudian mengindikasikan sejarah panjang keilmuan antara seorang ulama dan muridnya yang melintasi berbagai generasi. Walaupun banyak pengamat yang kemudian menilai terdapat kemunduran dalam tradisi pemikiran Islam, diakibatkan oleh kebiasaan para ulama yang mengulas atau membuat catatan pinggir dalam membahas karya-karya ulama sebelumnya, namun sebenarnya inilah frase—yang disebut oleh Prof Nadirsyah Hosen—sebagai “standing on the shoulders of giants”, dimana dalam tradisi keilmuan kekinianpun, para ilmuwan akan berpijak bahkan melakukan review terlebih dahulu terhadap karya-karya besar ilmuwan lainnya. Pada akhirnya, tradisi keilmuan Islam Nusantara justru lebih diberdayakan dalam membangun semangat literasi anak bangsa untuk terus mengikuti perkembangan pemikiran para ulamanya.

Tradisi keilmuan para ustadz zaman now, saya kira lebih bergaya “artistik” dengan menonjolkan “simbol-simbol” kekinian yang cenderung mampu menyihir masyarakat yang memang sedang senang-senangnya dengan berbagai dunia simbolik. Yang lebih mengharukan, simbolisasi justru lebih banyak ditonjolkan sebagai kekuatan solidaritas yang membanggakan, bukan soal tradisi keilmuan yang seharusnya dibuka lebih luas agar semangat literasi masyarakat semakin meningkat. Media sosial-pun sepertinya menjadi sasaran empuk sebagai penunjang eksistensinya mereka, guna mempertajam simbolisasi dan ekslusivitas kekelompokannya masing-masing.

Beberapa waktu yang lalu, tersebar beberapa meme di medsos yang membuat perumpamaan, bedanya ulama zaman dulu dan sekarang. Menohok memang, bagaimana tidak, ketika gambaran ulama dahulu yang gandrung akan tradisi keilmuan dengan membuat banyak kitab yang dikritisi oleh ulama lainnya, “ulama” zaman now malah sibuk membuat polarisasi masyarakat yang “membeda-bedakan” antara kelompok dirinya dengan yang lain. Jika ulama terdahulu berlomba-lomba dalam membuat kitab hingga berjilid-jilid, maka “ulama” zaman now berlomba-lomba berdemonstrasi hingga berjilid-jilid. Yang menggelikan tentunya ungkapan yang menyebut, bahwa ulama zaman dahulu dikenal karena kitab-kitabnya yang banyak, maka “ulama” zaman now dikenal oleh khalayak karena jumlah istrinya yang banyak.

Bagi saya, cukup menyedihkan melihat kondisi kekinian yang justru pada akhirnya “ulama” seringkali didiskreditkan dan yang muncul adalah pembelaan yang begitu membabi buta dari para “penggemarnya”. Padahal, bagaimana ulama Nusantara terdahulu, begitu dikagumi dan dihormati dan dikenal karena sikap muru’ah (sangat menjaga dari hal kemaksiatan) dan kejujurannya yang bahkan sedikitpun tak pernah mempunyai prasangka buruk terhadap pihak atau kelompok lain. Tidak hanya itu, kadar keilmuan agamanya yang begitu luas dan mumpuni, menjadikan para ulama terdahulu saling mengenal, menghormati dan senantiasa bertukar pikiran sekadar mencari titik temu dalam pelbagai persoalan keumatan dan kebangsaan.

Sungguh diluar dugaan, ketika saya menulis sebuah artikel dengan judul, “ustadz ‘seleb’ dan proliferasi media sosial” yang tiba-tiba menjadi viral dan saya-pun terimbas “dituduh” sebagai seseorang yang “gagal paham” membaca ulama. Saling sahut antarnetizen di ranah medsos menyoal tulisan saya ini justru melebar kemana-mana, bahkan saya sendiri “diperingati” oleh salah satu ustadz yang merasa “terganggu” dengan tulisan saya ini. Ustadz itupun menyebut, perlu ada klarifikasi soal panutannya yang saat ini sedang viral karena memamerkan foto bersama ketiga istrinya yang diunggah di medsos. Kenapa klarifikasi itu tidak dibuat saja sebuah tulisan yang “berkelas” lengkap dengan teori-teori keagamaan yang mendukung, bahwa ulama zaman now, lebih “berbobot” dibanding ulama terdahulu? Bagi saya, ini lebih baik, sehingga tradisi transmisi keilmuan melalui karya tulis akan lebih bernilai akademis, dibanding sekadar klarifikasi.

Saya sendiri merupakan produk pesantren yang selama lebih dari enam tahun berada dari satu pesantren ke pesantren lain dengan kultur yang berbeda. Saya tentu merasakan, bagaimana tradisi keilmuan ulama terdahulu sangat kuat, lengkap dengan berbagai jejak keilmuannya yang bisa diakses hingga saat ini. Kehidupan nyantri saya yang pernah besar di lingkungan Nahdliyyin sekaligus Muhammadiyah, justru menjadi “nilai lebih” dalam cara saya memahami berbagai karakteristik ulama terdahulu dalam membangun dan mengembangkan tradisi keilmuannya. Membandingkannya dengan ulama zaman now, rasa-rasanya terlampau jauh berbeda. Para ulama Nusantara terdahulu, misalnya, cenderung menjadi silent majority, tetapi menjaga tradisi keilmuannya bahkan menghasilkan banyak karya tulis yang terabadikan sepanjang zaman. Ulama zaman now, rasanya justru menjadi “spoken majority” atau bahkan “megaphone majority” yang seringkali berebut pengaruh serta “simbolisasi” yang ramai bukan karena karya-karya tulisnya, tetapi justru keinginan mereka agar “diakui” keulamaannya oleh masyarakat.      

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler