x

Iklan

Rinsan Tobing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Isu PKI: Strategi Politik Sia-sia

Isu PKI diangkat, diduga untuk memunculkan romantisme militerisme yang dulu pernah berjaya selama hampir 32 tahun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Membangkitkan sesuatu yang sudah mati adalah pekerjaan yang sia-sia. Seseorang yang melakukan pekerjaan yang sia-sia merupakan orang yang putus asa. Orang yang putus asa tidak akan berfikir bahwa apa yang dikerjakannya tidak lagi membawa manfaat. Segala sesuatu yang tidak membawa manfaat adalah kerugian besar.

Tetapi itu yang dilakukan beberapa waktu belakangan ini. Suasana yang mulai dipanaskan dengan berbagai isu terkait pemilihan presiden. Meskipun masih 18 bulan lagi 17 April 2019, tetapi ancang-ancang sudah mulai dilakukan.

Setidaknya sudah ada tiga sosok yang sepertinya akan melakukan perebutan kursi kekuasaan itu. Prabowo Subianto masih berminat menjadi presiden negara ini. Negara yang menurut beliau rakyatnya masih bodoh. Meskipun sudah merasakan jerihnya kalah dari beberapa kali pertarungan, tetapi semangat dan ambisi untuk meraih posisi presiden masih tinggi. Terlebih lagi dalam pemilihan presiden lalu, Prabowo dikalahkan Jokowi. Jokowi yang dari segala sudut dipercayainya tidak memiliki ‘tampang’ menjadi presiden. Tetapi, itulah faktanya, Prabowo kalah dalam pertarungan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dukungan untuk Prabowo sudah disampaikan partainya, Gerindra. Teman sekondan dalam banyak pertarungan tampaknya tidak akan mendukungnya. Mereka lebih melirik Gatot Nurmantya yang segera pensiun dan dapat dicalonkan menjadi presiden.

Tampaknya gayung ini pun bersambut. Gatot, meskipun belum tepat waktunya, sudah mulai melakukan manuver untuk meraih ambisi menjadi presiden. Tidak ada yang salah dengan menjadi presiden. Tetapi ini soal politik praktis. Undang-undang menyatakan TNI aktif tidak boleh melakukan politik praktis.

Tetapi waktu ternyata tidak bisa menunggu. Waktu seperti berlari. Waktu yang mepet untuk melakukan ‘promosi’ hanyalah akan sia-sia. Terlebih lagi, saat ini lawan sangat tangguh. Baik dari elektabilitas, tingkat kepercayaan rakyat dan kecintaan rakyat serta dukungan partai politik. Rasanya, melawan Jokowi seperti melawan raksasa yang tidak terkalahkan.

Bukankah perjuangan harus dilakukan untuk mendapatkan keinginan. Segala hal bisa terjadi. Hidup adalah sesuatu yang tidak teramalkan. Cara-cara bisa diupayakan untuk mencapai cita-cita. Meskipun tidak sesuai dengan aturan yang ada, tetapi kembali waktu yang sempit memaksa Gatot  untuk berlomba dengan waktu.

Perhitungan harus dilakukan. Waktu yang tersisa dengan modalitas elektabilitas yang belum bisa bahkan menyaingi Prabowo pun harus diperhitungkan. Waktu yang sempit, jika dilakukan setelah pensiun, rasa-rasanya tidak akan cukup.

Langkah-langkah strategis pun dilakukan untuk mendorong upaya ini. Tidak banyak waktu. Tetapi kembali, segala sesuatu bisa terjadi. Sama seperti ketika Prabowo begitu percaya diri dengan pencalonannya. Bahkan, DPR pun ketika itu sudah dikuasai, maka kemenangan hanya tinggal menunggu waktu.

Apa daya, cerita tidak seperti skenario yang sudah dituliskan. Dengan angka tipis, Jokowi membalikkan keadaan. Kemenangan yang sudah sepertinya di dalam genggaman diambil Jokowi dengan langkah yang gontai, karena dia sangat kurus dan mungkin kelelahan.

Realitas tidak selalu linier dengan impian dan cita-cita. Itulah yang terjadi dengan Prabowo dan para pendukungnya. Tetapi, ambisi untuk menjadi nomor satu pun bisa membakar semangat untuk terus mengejar posisi presiden.

 

Romantisme Militerisme

Lamanya Indonesia berada dalam bayang-bayang militer, mungkin menyimpan memori betapa militer memiliki peran penting dalam kehidupan manusia Indonesia. Selama hampir 32 tahun lamanya, hidup setiap masyarakat dekat dengan militer. Seluruh pejabat pimpinan daerah adalah militer aktif. Perangkat militer bahkan hadir di tengah masyarakat dengan adanya Bintara Pembina Desa. Dulu, militer seperti bagian dari hidup dan lekat dengan keseharian masyarakat Indonesia.

Kejayaan ini tentunya masih membekas dalam benak banyak orang dan kalangan. Hingga pada satu titik tertanam kepercayaan bahwa hanya militer yang mampu untuk memimpin negara ini. Logika ini bisa ditelisik pada pemerintahan sipil pasca lengsernya Soeharto.

Habibie hanya memerintah selama satu tahun. Alasannya, karena tidak lewat pemilu, maka harus dipilih presiden dengan pemilu. Gus Dur naik ke tampuk pimpinan, tetapi di lengserkan. Megawati naik ke permukaan, tetapi tidak bertahan. Dengan berbagai kegaduhan yang ada selama pemerintahan sipil, gema bahwa militer perlu menjadi pimpinan negara ini, ditalu.

Itu pun terjadi lagi. Susilo Bambang Yudhoyono naik menjadi presiden pada pemilihan presiden lewat demokrasi alias pemilihan langsung pada 2004. Dalam masa pemerintahannya, negara tentram dan tidak ada keriuhan dan juga politik adem ayem. Mungkin beliau punya ‘mantra’ untuk ini. Pesan bahwa militer harus memimpin negara ini pun terpatri lagi. Bahkan Ruhut Sitompul salah satu ‘pengikut setia’ SBY mengatakan bahwa kalau tidak dipimpin militer, maka negara ini akan hancur.

Lalu, dengan kekalahan Prabowo yang calon berlatar-belakang militer, tampaknya isu keriuhan dan kegaduhan itu terjadi. Sayang sekali, presiden tidak menanggapinya. Presiden Jokowi memakai teknik diam dan hanyutkan. Satu persatu lawannya tunduk dan sosoknya berhasil mengambil hati rakyat dengan pola micro management yang ciamik.

Politik sepedanya mengena hingga ke relung anak-anak dan masyarakat yang dulu sepertinya membayangkan presiden seperti apa itu pun tidak mampu. Tetapi, Jokowi hadir sebagai sosok manusia apa adanya. Tidak mengambil jarak dengan rakyatnya. Pembangunan juga digencarkan demi membangun fundametal perekonomian rakyat. Jokowi membangun infrastruktur secar masif. Penggunaan uang rakyat lebih tepat sasaran. Gangguan tetap dijalankan para pihak, Jokowi tetap melenggang.

 

Isu PKI pun diangkat

Dengan segala modalitas yang dimiliki Jokowi, para calon penantangnya di pemilihan presiden yang akan datang tentunya berfikir keras untuk mendapatkan ‘mantra’ yang mujarab untuk mengalahkan Jokowi.

Uji gelombang harus dilakukan untuk melihat kemungkinan, dampaknya dan peluang untuk memajukan calon. Terpikir dalam benak para penantang dan juga pendukungnya suatu romantisme militer. Militer harus menjadi presiden lagi. Latar belakang militer akan membuat negara ini aman. Tidak gaduh seperti pemerintahan yang sekarang. Kegaduhan yang ditimbulkan ketidaktegasan dan kesipilan Jokowi.

Untuk memunculkan sosok militer, maka militer harus diposisikan dalam benak rakyat lagi. Dulu pernah dibangun sedemikian rupa. Lalu sekarang pun ada kemungkinan bisa dibangun lagi. Lalu caranya seperti apa? Terpikir lagi untuk mengangkat isu PKI.

PKI yang digambarkan sebagai kelompok yang brutal dan tidak mengenal tuhan harus dibasmi dari muka bumi ini. Cerita soal ini dibangkitkan lagi dengan isu munculnya PKI dengan anggota hingga 15 juta orang. Militer yang berjasa besar dalam proses menghilangkan PKI dan antek-anteknya dari bumi Indonesia. Militer penting bagi negara. Itu pesan yang hendak dimunculkan.

Untuk melesakkan lebih dalam lagi citra militer sebagai penolong, maka masyarakat diminta menonton film G30 S PKI yang sejak jaman reformasi sudah dilarang. Sebab, filmnya banyak mengalami distorsi sejarah. Bahkan beberapa pihak mengatakan itu sama sekali bukan film sejarah. Tetapi itu terlebih sebagai alat propaganda.

Lalu, isu ini dihembuskan terus hingga akhirnya momentumnya pada peringatan G30S PKI yang dikenal sebagai hari Kesaktian Pancasila. Lalu setelah lewat masa itu, isu PKI pun mereda hilang tak terbilang. Spanduk-spanduk diturunkan dan anjuran menonton bareng pun mereda. Isu PKI yang hendak disorongkan pun tidak laku. Masyarakat pun tidak merespon. Sosok militer yang ingin dimajukan menjadi mengambang lalu turun perlahan dan hilang.

Tidak masalah sebenarnya siapa pun yang memimpin bangsa ini, militer atau sipil. Tetapi, penting bagi rakyat negara ini maju dan terbangun.

Di sisi lain, keinginan untuk mendapatkan kekuasaan bisa mendorong para pihak untuk melakukan berbagai trik dan strategi politik. Tetapi, menyorongkan isu PKI, yang sudah lama mati, sepertinya sebuah strategi yang sia-sia. Setidaknya, bisa dilihat dari tidak adanya respon dari masyarakat.

Kembali lagi, ini seperti wajah buruk dari demokrasi Indonesia ketika para calon pemimpin dalam mengejar kekuasaan lebih menciptakan citra dari pada performa sosok. Performa sosok yang layak menjadi pemimpin tertinggi negeri ini.

Strategi isu PKI yang digunakan hanya menjadi strategi yang sia-sia. Sepertinya para penantang Jokowi harus berfikir ulang untuk menciptakan momentum yang tepat untuk mengangkat sosok yang ingin bertanding dengan isu-isu yang dapat diterima rakyat. Tidak seperti mengangkat cerita PKI yang sudah lama mati. Sejatinya itu sama dengan menegakkan benang basah. Sia-sia dan mengakibatkan putus asa. Strateginya harus diubah. Lalu, kira-kira isu apa yah yang menarik hati rakyat sekaligus bisa menaikkan sosok? Ada yang bisa jawab? Apakah tandem Prabowo-Gatot akan menarik dan menang?

Seribu analisa bisa dikembangkan. Tetapi, realitaslah yang penting. Realitas pada 17 April 2017. Jadi, babak isu PKI harus ditutup. Layar sudah diturunkan. Penonton tidak banyak. Sia-sia.

Ikuti tulisan menarik Rinsan Tobing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler