x

Iklan

Zdavir Andi Muhammad

Penulis merupakan alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Hasanuddin angkatan tahun 2012 dan kini tengah mengampuh Studi S2 untuk jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan di Sekolah Pasca Sarjana Unhas
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seperti Kopi

Tulisan ini merupakan salah satu tulisan pendek penulis di samping tulisan esais dan puisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa memang senyummu selalu Seperti kopi? Dua cangkir kopi joss Lek Man tersaji tak lama setelah kita menapaki Jogja. Apa perjalanan ini masih melelahkan? Aku ingat perkataanmu satu ketika. Aroma kopi merebak memenuhi udara. Orangorang lalu lalang di pinggir jalan. Perut mungkin diredam lapar, kau memilih menebusnya dgn secangkir kopi seperti yg sudahsudah.
 
Kau mengamati kopimu, menimbangnya, menikmati bau aroma kopi menyeruak. Kau terdiam tak menjawab. Tentu. Menjawab apa? Terdengar konyol. Aku menatapmu tajam, menyapu pandangan pada jalanan. Orangorang berkomatkamit tak karuan. Kita hanya berdua.
 
Kau mungkin lelah. Kopi selalu membangkitkan hasrat dan gairahmu. Bukan frape atau macchiato. Atau bagiku cappucino. Cangkir kopimu terangkat, tenggorokanmu dialiri cairan kopi. Aroma kuat masih menyelinap. Membaui."Apa katamu tadi?" kau ganti tak menyimak. Kemarin, di Malang, kau tak mendengar sedikitpun di saat kita melintas di Suhat. Sesaat pulang kuliah dari Brawijaya. Selepas jum'at memutuskan untuk kembali ke Jogja. Adzan isya bertalu menyambut kita di stasiun tugu.
 
Matamu menyimpan penat. Aku hendak mengusirnya. Bagaimana? Jika penat adalah kopi, akan ku tikam dengan aren atau gula. Masih lelah? Tanyaku. Kau mengangguk lemah. Aku mengambil buku yang tertimbun di tas, menguntit di belakangku daritadi. Kau suka buku puisi?
 
Kau menggeliat dari tempatmu. Aku lebih suka kau membacanya, kau mencoba menahan diri. Walau aku tahu jika saja ini bukan keramaian, kau akan meloncat ke sampingku seketika. Meja membatasi kita. "Maria sangat sedih melihat anaknya..." aku mencoba membacakan. Kau tersenyum, itu pasti bukan buku Pinurbo. Kau mengganti senyummu dengan cemberut.
 
Jika saja aku peramal cuaca, aku pasti sudah kelabakan membaca suasana hatimu yg selalu berubah seketika. Tak terbaca. Kau memang pernah terbahak mendengar puisi "Celana" Pinurbo ketika aku mengajakmu ke TogaMas suatu ketika, Pinurbo membacakan.
 
Itu buku apa? Kau mencoba mengintip. Seperti hendak beranjak dari tempatmu. Mendongakkan kepala lantas menyasar benda yg sedang ku pegang. Bukunya masih ku tanam di bawah meja, di balik magnum opus Irene Nemirovski, yang terbuka. Aku memang membaca puisi Pinurbo tadi di luar kepala.
Kau tak akan menjawab? Kau masih penasaran. Sekarang gantian aku tak menyimak, jawabku setengah bercanda. Kopimu sudah habis setengah gelas. Aku lebih memilih menyeruputnya perlahan. Sebentar, aku kembali meneruskan. Kau masih memandangiku lekat. Aku menutup wajahku dengan buku. Habisi dulu kopimu dan kita pesan nasi kucing, aku meneruskan.
 
Kau menyambar buku yg berada di balik Suite Franchise, tak sadar ku sembunyikan di situ dari tadi. Lidahmu kau julurkan setengah mengejek. Hei. Aku mencoba mengambil. Kau menghindar. Jadi ini buku yang kamu beli? Lumayan. Kau mencoba menggodaku dgn selalu tak terpukau. Setengah meremehkan. Ku baca wajahmu memerah. Atau hanya sekadar pantulan sinar neon lampu pinggir jalan.
 
Di kepalaku masih berkelindan kau yg menyimpan sejuta ceria. Tawamu yg selalu menggoda. Persis aroma kopi. Buyar. Aku dengar orang tuamu sudah mendapatkan jodoh yang layak untukmu. Bukan aku.

Ikuti tulisan menarik Zdavir Andi Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler