x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Poligami di Antara Darurat Kemanusiaan dan Hedonisme

Poligami tentu saja sangat kondisional, terkait dengan banyak hal yang mendorong kemudian kenapa seseorang dianjurkan untuk berpoligami.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Membicarakan poligami belakangan ini menjadi hal yang menarik, terutama ditengah pro-kontra masyarakat yang menilai poligami secara berbeda-beda. Bagi sebagian orang, yang menganggap poligami adalah “fakta agama” menganggap bahwa seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu merupakan bagian dari perintah agama dan faktanya, Nabi Muhammad sebagai panutan umat muslim kenyataannya juga berpoligami. Namun, bagi sebagian lainnya, poligami justru lebih cenderung sekadar memenuhi keinginan duniawiah yang tentu saja secara psikologi merupakan bentuk hedonisme manusia untuk menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bermartabat. Pertentangan soal poligami ini kemudian semakin ramai dan menjadi pembicaraan publik, terutama setelah banyak fenomena para pemuka agama yang terang-terangan menjalankan hal ini.

Dalam ajaran Islam, poligami memang disebutkan secara tegas dalam kitab suci Al-Quran, dimana seorang laki-laki dibolehkan menikahi perempuan lebih dari satu, walaupun konteksnya dimulai dari persoalan hedonis dimana keinginan yang kuat untuk menguasai harta dan kekayaan seorang perempuan yang kemudian akan dinikahinya lagi, menjadi latar belakang dirinya berpoligami. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat” (QS An Nisa: 3). Dari ayat soal poligami ini, apakah kemudian bahwa berpoligami itu merupakan “perintah” agama ataukah darurat kemanusiaan?

Dalam beberapa kajian tafsir yang menjelaskan ayat soal poligami ini, pemaknaan poligami selalu dikaitkan dengan kondisi ketidakadilan terhadap hak-hak perempuan,apalagi sekadar ingin menguasai hartanya atau “bersenang-senang” sehingga berdampak secara psikologis terhadap istri sebelumnya. At-Thabari dalam kitab tafsirnya “Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an” bahkan menyebut bahwa membaca ayat poligami harus didahului dari soal ketiadaan keadilan sebagaimana disebut, “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil…” bukan pada bacaan atas kalimat, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…”. Berdasarkan asumsi ini, At-Thabari berkesimpulan bahwa poligami sejatinya adalah “larangan” jika berimbas secara psikologis, baik itu menyakiti atau ketidakrelaan, terhadap istri yang pertama (an-nakih).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejauh ini, banyak umat muslim beranggapan bahwa poligami justru menjadi “syariat” agama karena terdapat anjuran yang disebutkan dalam kitab suci Al-Quran. Padahal, kata At-Thabari, kalimat “nikahilah (fankihuu)” yang disebut dalam ayat 3 surat An-Nisa, bukanlah “perintah” agama apalagi syariat, karena berdasarkan pengamatan simantik Arab, kalimat perintah terkadang bermakna “larangan”, “peringatan” atau bahkan “ancaman”. Inilah kemudian yang membawa pendapat seorang pakar tafsir Al-Quran, Syekh Muhammad Toha ad-Durroh, juga sama dalam hal poligami yang bukanlah syariat Islam, tetapi kondisi darurat kemanusiaan (dlarurah insaniyyah) atas dorongan pemenuhan hedonistik (dluruful hayah) dan sikap gaya hidup seseorang zaman kekinian.

Memang, kita semestinya memahami lebih jauh dan mengkaitkan dengan sisi historis kenapa kemudian poligami itu disebut secara khusus dalam kajian agama. Penting untuk mengetahui latar historis turunnya ayat Al-Quran (asbabun nuzul) untuk mengungkap lebih jauh makna dibalik soal dibolehkannya praktik poligami ini. Konteks historis ayat ini berdasarkan informasi kesejarahan yang diungkap para ahli tafsir bahwa Aisyah meriwayatkan sebuah hadis yang berhasil direkam dalam kitab Shahih Muslim, dimana ayat ini jelas terkait dengan sebuah larangan untuk menikahi wanita-wanita lain kecuali memang dengan tujuan benar-benar hendak berlaku adil atau mengangkat derajat terbaik bagi perempuan lain yang akan dinikahinya tersebut.

Dalam kajian fiqh klasik, sebuah kitab bermadzhab Syafi’i, “Al-Majmu’ wa Takmilatuhu” ketika menyoal poligami menyebutkan, bahwa menikah secara sunnah hanya berlaku untuk satu wanita, karena kekhawatiran tidak adil dan berbuat dosa jika menikahi lebih dari satu. Sementara Nabi Muhammad, terjamin dari hal-hal tersebut (tidak adil atau perbuatan dosa). Masih dalam kajian fiqh Imam Syafi’i yang terangkum dalam kitab “Al-Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam as-Syafi’i”, menyebutkan poligami memang dasarnya dibolehkan dalam syariat, namun hal itu bisa berubah menjadi “sunnah” (anjuran), atau “makruh” (pencegahan) atau bahkan bisa menjadi “haram” (larangan) yang disesuaikan dengan konteks dan tujuan kenapa seseorang berpoligami.

Poligami tentu saja sangat kondisional, terkait dengan banyak hal yang mendorong kemudian kenapa seseorang dianjurkan untuk berpoligami. Berdasarkan kajian fiqh madzhab Syafi’, kondisi tertentu, seperti ketika istri pertamanya sakit-sakitan atau tidak memiliki keturunan (mandul), maka berpoligami menjadi sunnah hukumnya. Sedangkan jika tujuannya sekadar meraih kenikmatan atau bersenang-senang (hedonisme) serta masih diragukan soal adil atau tidaknya kepada istri lainnya, maka jelas hukumnya adalah makruh atau tercegah untuk berpoligami. Dengan demikian, saya kira menyoal poligami menjadi sangat penting saat ini, ditengah beragam pendapat yang justru masih ada yang menganggap praktik ini adalah “fakta keagamaan” bahkan “syariat” yang harus diikuti tanpa mempertimbangkan sisi kesejarahan, kaidah-kaidah hukum dan tujuan lainnya.

Munculnya beragam persoalan hukum atas praktik poligami, membawa sebuah kesimpulan bahwa praktik ini justru dipicu oleh kondisi darurat kemanusiaan, dimana ketika khawatir tidak adil, atau muncul niat tersembunyi hanya sekadar menguasai harta orang lain yang akan dipoligami, maka kebijakan berpoligami dengan mencari wanita yang diminati merupakan solusi terakhir bagi kondisi darurat. Poligami bukan syariat Islam—sebagaimana saya sepakat dengan Muhammad Thaha—ketika melihat pada konteks historis diturunkannya ayat “kebolehan” berpoligami dalam Al-Quran. Lagipula, praktik poligami masa lampau justru identik dengan raja-raja atau tokoh-tokoh masyarakat yang identik dengan nuansa kesenangan duniawi, sedikit sekali mereka mempraktekkannya dalam tataran sebuah keadilan yang berdampak pada sisi lain kemanusiaan. Juga perlu diingat, Nabi Muhammad selama 25 tahun tetap tidak berpoligami, hingga istri pertamanya, Khadijah kemudian wafat. Seandainya Khadijah tetap ada, maka dipastikan Nabi Muhammad tidak akan berpoligami. 

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu