x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelajaran dari Ilmuwan Bodong

Mengutuk Dwi habis-habisan tak ada gunanya lagi. Apalagi dia bukan pejabat publik yang layak dihukum karena membohongi rakyatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

KASUS ilmuwan abal-abal Dwi Hartanto harus menjadi pelajaran penting. Klaim palsu kandidat doktor di Technische Universiteit Delft, Belanda, itu menunjukkan bahwa kebohongan bisa datang dari tempat tak terduga. Bila kebenaran bisa datang dari tempat yang tak disukai, kebohongan bisa saja datang dari orang yang dikagumi.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama berbulan-bulan, klaim Dwi atas segudang prestasi di kancah aeronautika dunia menyebar luas melalui media massa. Cerita “kehebatan” pemuda itu pun viral di media sosial. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag pun sampai memberikan penghargaan khusus untuk dia. Selama itu, nyaris tak ada yang mempertanyakan kebenaran cerita Dwi.

 

Orang ramai baru terperenyak ketika tahu bahwa semua klaim Dwi itu ternyata bualan belaka. Dia pun mengaku bersalah dan meminta maaf. Tapi nasi telah menjadi bubur. Mengutuk Dwi habis-habisan tak ada gunanya lagi. Apalagi dia bukan pejabat publik yang layak dihukum karena membohongi rakyatnya.

 

Khalayak yang turut memviralkan kisah rekaan Dwi pun tak perlu dipersalahkan. Gairah mereka berbagi cerita hanyalah cermin kerinduan sekaligus euforia atas prestasi orang Indonesia yang membanggakan di level internasional. Hal yang perlu diperbaiki adalah pemahaman atau literasi publik bahwa berita di media bisa saja salah.

 

Otokritik justru harus dilakukan kalangan media. Wartawan semestinya tak sulit mendeteksi kebohongan Dwi bila memegang teguh disiplin verifikasi. Pada era digital, tak sulit mengecek kebenaran klaim Dwi ke kampus tempatnya kuliah, panitia yang disebut-sebut memberikan penghargaan, atau asosiasi ilmuwan aeronautika.

 

Media harus lebih ketat menguji silang setiap informasi. Bahkan, ketika mendapat informasi dari sumber pertama seperti Dwi, media perlu menyisakan sikap skeptis. Keinginan untuk menjadi yang “tercepat dalam memberitakan” tak boleh mengorbankan kewajiban untuk “memberitakan dengan benar”.

 

Ketika berita bohong telanjur menyebar, media wajib membuat koreksi sekaligus memuat versi cerita sesungguhnya. Media juga sebaiknya meminta maaf karena gagal menyajikan informasi yang akurat. Tanpa rasa tanggung jawab dan kerendahan hati seperti itu, yang tercoreng bukan hanya reputasi media penyebar berita bohong. Kepercayaan khalayak atas media secara keseluruhan bisa menjadi taruhan.

 

Di luar media, pemerintah Indonesia juga harus introspeksi. Sulit dimengerti mengapa pemerintah dan KBRI Den Haag mengabaikan verifikasi ketika memberikan penghargaan kepada Dwi. Kedutaan besar punya banyak instrumen dan saluran untuk mengecek siapa sesungguhnya Dwi. Pembatalan penghargaan untuk Dwi memang penting sebagai langkah koreksi. Namun hal itu tak menghapus kesan soal buruknya sistem informasi dan jaringan kedutaan besar kita di luar negeri. Bila dalam hal sederhana saja kebobolan, apa jadinya ketika mengurus hal yang lebih rumit lagi. *

Editorial Koran Tempo edisi 12 Oktober 2017

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler